Selasa, 29 Januari 2013

Upah Terkalahkan

Kenaikan Upah Dikalahkan Harga Firdaus Komar Wartawan 2013, tahun baru adalah sebuah harapan bagi semua orang. Tak terkecuali kaum buruh. Sangat logis harapan buruh pada tahun baru yaitu kenaikan upah. Perjuangan menaikkan upah, memang harus sabar saat menunggu momentum tahun baru. Sebaliknya, harga-harga begitu cepat naik, tak pernah sabar menunggu kenaikan gaji buruh. Harga naik terburu-buru, dan naiknya juga setiap saat. Jika gaji buruh mau dinaikkan harus pakai protes dan demo terlebih dahulu. Dari pemilik modal selalu banyak alasan untuk tidak menaikkan upah. Alasan yang paling sering dikemukakan karena perusahaan belum mampu. Tapi lain lagi dengan barang-barang, sembako atau peralatan kebutuhan rumah tangga tiba-tiba saja naik, tidak peduli kapan saja. Ekonomi pun tidak tahu jika upah buruh, upah karyawan belum juga naik. Kini di atas kertas upah buruh telah dinaikkan, tapi kebanyakan pemilik perusahaan keberatan dengan kenaikan upah. Sayangnya harga-harga tidak lagi mempedulikan kaum buruh untuk naik. Seandainya selama ini bisa membeli gula dua kg, kini gula cukup setengah kilogram. Selebihnya, jangan harap mau mendapatkan minuman manis lagi. Di tingkat lokal Sumsel, Gubernur Sumsel telah menetapkan upah minimum regional (UMR) Provinsi Sumsel sebesar Rp1.630.000. Pada hakikatnya, ketetapan ini menunjukkan keberpihakan seorang Alex Noerdin kepada kaum buruh. Bagi kalangan buruh dengan penetapan upah itu merupakan harapan baru. Artinya akan meningkatkan penghasilan buruh. Mudah-mudahan dengan kenaikan upah buruh akan membantu buruh dalam mencapai tingkat kesejahteraan. Namun demikian problem upah murah memang sangat kompleks dan tidak pernah bisa tuntas. Tak kunjung selesainya masalah upah murah, salah satunya akibat ekonomi biaya tinggi yang masih membebani para pelaku usaha. Ekonomi biaya tinggi menjadi kendala dari hulu hingga hilir, sehingga upah buruh rendah. Penyebab ekonomi biaya tinggi: pertama, masih tingginya suku bunga perbankan. Kedua, maraknya pungutan di daerah sehingga ongkos produksi membengkak. Dampak otonomi daerah banyak melahirkan peraturan daerah yang berujung pada pungutan atau pajak terhadap pengusaha. Sementara perusahaan-perusahaan di Indonesia cuma mengalokasikan rata-rata 10% untuk biaya pegawai. Bujet sebesar itu terbilang rendah ketimbang negara Asia Tenggara lain yang di atas 20%. Upah minimum sebenarnya ditujukan bagi pekerja lajang dengan masa kerja kurang dari setahun. Tapi pada praktiknya, upah minimum juga berlaku untuk pekerja yang sudah berkeluarga dengan masa kerja lebih dari setahun. Masalah upah buruh bisa kelar kalau hitung-hitungannya betul-betul berdasarkan indikator kebutuhan hidup layak. Sudah diamanahkan dalam konstitusi dasar negara kita bahwa pekerjaan dan penghidupan yang layak adalah hak setiap warga negara. Namun, fakta menunjukkan masih banyak ketidaksesuaian antara idealita dan realita, terutama terkait dengan kelayakan penghidupan. Hal ini dapat kita soroti dari salah satu indikator pengukur penghidupan yang layak, yaitu kesejahteraan buruh. Dewasa ini, telah terjadi penyempitan makna kata “buruh” itu sendiri. Setiap mendengar kata buruh, yang terpikirkan oleh kebanyakan orang adalah para pekerja kasar yang tidak berpendidikan dan bertaraf hidup rendah. Tetapi sebenarnya, menurut UU no 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, buruh itu sendiri didefinisikan sebagai setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Jadi, istilah buruh di sini tidak hanya mencakup golongan pekerja kasar melainkan juga termasuk buruh profesional yang bekerja tidak menggunakan otot melainkan dengan otak. Sudah menjadi kewajiban pemberi kerja untuk memenuhi hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan mereka. Kebijakan pemerintah dalam menentukan upah minimum regional (UMR) belum cukup mampu menjamin kesejahteraan para pekerja. Upah minimum yang ditentukan pemerintah tersebut hanya mampu menutupi biaya hidup sehari-hari saja, belum mampu meningkatkan taraf hidup pekerja. Padahal, mengingat jumlah buruh yang tidak sedikit dan peranan mereka yang krucial, kesejahteraan mereka merupakan suatu indikator penting yang harus diperhatikan dalam upaya pembangunan nasional. Sudah seharusnya antara pengusaha, buruh dan pemerintah sebagai stakeholder, berperan dalam mewujudkan iklim usaha kondusif, termasuk pada perekonomian industrial sehingga menghasilkan efek positif dan maksimal bagi kesejahteraan. Kita harapkan para pengusaha jangan hanya memikirkan keuntungan, tapi kepedulian dalam meningkatkan kesejahteraan buruh mutlak perlu dilakukan. O

Tidak ada komentar: