Selasa, 29 Januari 2013
Mau Enaknya
Harmonika
Firdaus Komar
Wartawan
Mau Enaknya!
SAAT ditanya apa yang masih membuat Anda bangga hidup di Indonesia? Kita menjawab negeri Indonesia kaya dan dengan budaya yang beragam! Kekayaan yang mana? Mengapa kekayaan kita hanya didikmati segelintir orang. Orang tertentu yang mendapat akses dengan pejabat dan aparat! Kita bangga dengan dengan kebudayaan yang beragam, unik! Tapi sayang kebijakan soal membangun budaya ini belum menjadi hal utama bagi pemerintah.
Lantas apa yang menjadikan kita bangga? Nyaris anak negeri ini tidak lagi punya kebanggaan. Hampir semua yang kita miliki sudah ‘tergadaikan’. Utang luar negeri yang menjerat sampai kepada cucu kita nanti. Bukankah negeri kita pun tergadaikan di saat-saat kita tidak mandiri, daya saing rendah, peringkat pendidikan terendah di dunia. Apalagi yang mau kita jual?
Ketika anak-anak tidak ada pilihan lain. Sistem yang memaksa dengan kondisi anarkis yang amburadul makin membuat anak-anak kehilangan arah. Kaum terdidik pun tidak mau untuk belajar keras dan kerja keras. Karakter malas mengakibatkan menjadi mau enaknya aja!
Kekhawatiran itu muncul, ketika faktor kemalasan menjadi alasan masuk dalam perangkap hedonisme dan materialisme. Inilah muara kungkungan neokolonialisme.
Tentu saja diperlukan dukungan kebijakan untuk tidak terperosok ke dalam perangkap neokolonialisme. Fenomena neokolonialisme cenderung mencerabut nilai-nilai budaya lokal. Betapa neokolonialisme sudah merasuk ke dalam sum-sum dan sendi-sendi masyarakat kita. Dari pakaian, aksessoris, makanan, sampai kepada perilaku yang mengutamakan kekuatan merek. Merek asing telah menjerembab perilaku gaya hidup yang kadang-kadang tidak substansial. Contoh saja di Kota Palembang, baru-baru ini didirikan gerai kuliner sejenis donat. Waw… luar biasa baru-baru buka sampai-sampai memacetkan jalan. Saya juga heran, apa yang menjadi istimewa makanan sejenis donat ini. Saya tidak tertarik untuk mampir dan membeli donat itu bukan saya tidak suka donat. Tapi inilah saya pikir, mengapa saya harus dijajah lewat makanan oleh pihak asing. Justru saya masih bangga dengan istilah donat kampung buatan ibu-ibu yang dijual keliling kampung. Donat dengan gula halus, terasa lebih gurih dan membanggakan sekaligus membangkitkan ekonomi rakyat.
Bila kita keliling tanah air pandangan mata tidak akan lepas dari logo-logo kuliner asing di tepi jalan, baik di kota besar, sedang, bahkan juga kota kecil. Di antaranya Kentucky Fried Chicken/KFC, Pizza Hut, Mac Donald dan lain-lain. Kita dapat menebak apakah itu sebagai wujud neo-kolonialisme dalam bidang kebudayaan, atau ekonomi?
Keduanya bisa dijawab. "Kalau Anda setuju" baik kebudayaan maupun ekonomi. Menikmati kuliner asing ketimbang kuliner asli, bagi yang menyukainya membawa rasa bangga tersendiri. Merasa lebih tinggi gengsinya, dibandingkan dengan makan di warung gado-gado, pecal, nasi uduk atau bubur ayam.
Tentu saja masih ingat slogan Bung Karno yang terkenal dan hingga kini tetap dikagumi. "Berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan." Slogan itu dicetuskan untuk menghadapi apa yang disebut Bung Karno sendiri sebagai neo-kolonialisme.
Menurut Bung Karno, kolonialisme dalam bentuk barunya tidak lagi berupa kolonisasi secara militer, tapi juga dalam bidang politik, ekonomi dan kebudayaan dengan cara-cara yang lebih halus. Itulah yang disebut neokolonialisme. Kita masih dapat mencamkan pesan Bung Karno itu dengan konteks sekarang.
Kalau kita perhatikan kecenderungan menikmati kuliner asing sudah merupakan kebudayaan baru bagi sebagian orang Indonesia. Itulah segi budayanya. Dari aspek ekonomi, dipastikan setiap potong daging ayam atau donat merek asing yang dimakan, sudah tentu akan menambah kocek perusahaan-perusahaan kuliner internasional yang pusatnya entah di AS atau salah satu negara besar di Eropa. Apa boleh buat, bisa saja kita berpendapat peringatan Bung Karno sekian puluh tahun yang lalu itu benar. Dari segi ini neokolonialisme bidang ekonomi dan kebudayaan telah menyerbu rumah kita, entah melalui serambi depan atau belakang.
Kita cukup khawatir generasi yang akan datang, makin meninggalkan budaya-budaya asli yang sebenarnya memiliki bobot dan kualitas. Mungkin saja pada generasi akan datang tidak kenal lagi mau kong-kow ke warung gado-gado, pecel, atau loteks. Mereka lebih suka ke kuliner asing yang menyediakan hotspot 24 jam dan bukanya pun 24 jam. Menghadapi tantangan ini, sebenarnya kita tidak bisa menyalahkan juga pada tataran kebijakan bisnis. Pengusaha dan pemerintah perlu juga mendorong membuka gerai-gerai makanan khas Indonesia dengan fasilitas yang tidak kalah tentu saja. Oleh karena itu sangat penting membuat gerai-gerai yang lebih nyaman dengan makanan khas lokal Indonesia. O
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar