Jumat, 02 Agustus 2013

LEBARAN

Lebaran by Firdaus Komar LEBARAN. Demikian orang Indonesia menyebutkannya. Sejatinya adalah Idul Fitri. Pada momentum Lebaran inilah banyak hal yang menyertainya termasuk momen-momen yang tidak terlewatkan. Dari proses menjalankan ibadah puasa selama bulan Ramadhan, kemudian ada peristiwa membayar zakat, serta berbagai tradisi atau budaya yang menyertainya. Termasuk tradisi mudik, tradisi menyiapkan makanan dan minuman serta digelarnya halal bihalal. Dalam kontek Lebaran, kenyataannya memang momentum yang luar biasa. Namun yang perlu digarisbawahi momentum yang sebenarnya menjadi perintah Allah dalam rukun Islam yaitu perintah menjalankan puasa dan membayar zakat. Sedangkan Lebaran, semestinya dampak dari menjalan ibadah puasa. Bagaimana mungkin, jika umatnya tidak menjalankan perintah puasa juga ikutan merayakan Idul Fitri. Semestinya mereka yang merayakan kemenangan setelah menahan dan mengendalikan hawa nafsu selama Ramadhan adalah mereka yang menjalankan ibadah puasa. Daya magnet Lebaran memang luar biasa. Miliaran umat muslim se-dunia bersiap merayakan Lebaran. Betapa magnet Lebaran seakan-akan telah membius berbagai tingkatan masyarakat. Dari masyarakat tingkat bawah hingga kelas elit atas begitu disibukkan dengan persiapan Lebaran. Tidak bisa dibantah Lebaran yang menjadi ajang silaturahmi dan menjadi ukuran saat kembali suci dalam perayaan Idul Fitri. Pada sisi agama, sebelum Lebaran, umat muslim yang menjalankan ibadah puasa juga akan melaksanakan membayar zakat. Kekuatan pengumpulan zakat ini juga secara pembangunan ekonomi umat akan mengharmonisasi antara kaum kaya dan miskin. Karena di antara harta orang kaya adalah hak dan kepunyaan orang miskin. Seharusnya demikian. Magnet Lebaran juga secara ekonomi telah menghidupkan perekonomian, dari masa pelaksanaan puasa di bulan Ramadhan telah muncul pasar-pasar bedug dan pasar Ramadhan. Belum lagi pasar-pasar tradisional dan mal-mal pada ramai dikunjungi pembeli. Walaupun pada sisi berbeda, kesulitan ekonomi yang dialami masyarakat saat ini di tengah kenaikan harga-harga barang memang telah mempengaruhi warga terutama warga tingkat bawah dalam mepersiapkan Lebaran. Walaupun mereka tetap berusaha untuk tersenyum dan bergembira, senyum dan kegembiraan itu mungkin hanya manis di bibir tapi pahit di hati. Bayangkan saja untuk membeli dan memasak bumbu air ketupat saja mungkin sudah sulit. Apalagi jika harus memilih baju-baju di mal yang harganya lebih mahal. Bagi pengusaha di mal tidak khawatir, karena barang-barang di mal tetap laku terjual, karena memang banyak masyarakat yang diberi rezeki lebih. Lihat saja mal-mal dipadati pengunjung. Tempat parkir kendaraan selalu penuh tidak menyisahkan lagi tempat parkir. Kita mau melewati jalan-jalan yang dekat kases mal juga dipastikan akan mengalami macet. Sebanyak mal dibangun, sebanyak itu pula pengunjung memadati lokasi-lokasi mal. Selain magnet Lebaran yang telah menggerakkan ekonomi walaupun kenyataannya adalah perilaku konsumtif yang muncul. Pada sisi positif, Lebaran juga telah memunculkan semangat bersilaturahmi. Semangat silaturahmi ini juga akan meningkatkan rasa kekeluargaan dan saling memaafkan. Mungkin saja selama di antara keluarga yang jauh karena faktor geografis tetapi dengan melalui Lebaran akan meningkatkan keakraban dan saling memberikan ruang maaf melalui silaturahmi. Apalagi dengan silaturahmi akan memperpanjang umur dan akan menambah rezeki. Tentu saja dengan silaturahmi yang begitu bermanfaat semoga dapat dijadikan momentum untuk saling memamafkan. Apalagi urusan dengan manusia memang harus dengan saling memaafkan di antara manusia. Lebih jauh dari perspektif sosiologis pada momentum Lebaran yang dikenal dengan tradisi mudik Lebaran. Mudik Lebaran ialah mendekatkan dan merekatkan kembali hablun minannaas yaitu hubungan antara perantau yang mudik lebaran dengan sanak keluarga yang menetap di kampung. Melalui medium Idul Fitri, dibangun dan diperbaharui kembali hubungan sosial. Manusia sebagai makhluk sosial, yang disebut manusia tabiatnya bersosialita atau bermasyarakat. Dalam kenyataan, manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan manusia lainnya. Sejak lahir sampai wafat, memerlukan sanak keluarga, family dan atau masyarakat luas. Oleh karena itu, Idul Fitri selalu dijadikan momentum untuk mudik atau pulang kampung. Dari perspektif sosiologis, momentum Idul Fitri memiliki makna untuk membangun kembali, memelihara, menjaga, merawat dan meningkatkan silaturrahim dengan komunitas di kampung halaman. Dengan demikian, warga yang di perantauan tidak lupa dari mana dia berasal. Dengan demikian akan memunculkan semangat untuk bersedeka dan berinfak di daerah asal kampung halamannya. O