Selasa, 29 Januari 2013

Guyon

Berguyon Firdaus Komar Wartawan SEKS bukan lagi urusan personal, ketika salah seorang anggota Komisi III DPR RI saat melakukan fit and proper test terhadap calon Hakim Agung Daming Sanusi. Saat itu Anggota Komisi III dari Fraksi PAN, Andi Azhar menyampaikan pertanyaan ke Daming Sanusi. Kira-kira pertanyaan begini, bagaimana menurut Anda, apabila kasus perkosaan ini dibuat menjadi hukuman mati?" Lantas Daming menjawab, yang diperkosa dengan yang memerkosa ini sama-sama menikmati, jadi harus pikir-pikir terhadap hukuman mati. Jawaban Daming pun sontak mengundang tawa di ruangan. Namun jawaban yang tidak terduga itu berbuntut panjang. Kabanyakan orang mengecam atas jawaban Daming. Fragmentasi di ruang Komisi III itu jadi isu hot dan pembahasan di media-media. Lantas Daming pun berdalih bahwa pernyataannya itu hanya untuk mencairkan suasana. Namun apapun alasannya, pemerkosaan bukanlah sebuah lelucon. Korban pemerkosaan adalah sangat pedih dan dipastikan merasa terpukul. Saya pun heran, makhluk seperti apa Daming Sanusi ini. Padahal kita tahu, kita semua lahir dari rahim ibu yang notabene adalah perempuan. Belum lagi kita punya saudara dan anak-anak yang mungkin ada yang perempuan. Berempati dan merasakan kepedihan korban pemerkosaan, bukan berarti keluarga Daming harus menjadi korban pemerkosaan. Oleh karena bukan hanya maaf kepada rakyat dan korban pemerkosaan. Ada baiknya, Daming Sanusi mundur dari jabatan hakim dan segera mohon ampun dan kembalilah ke jalan yang benar. Dengan jawaban seperti itu, betapa rendahnya intelektual seorang hakim. Pengetahuan soal seks juga sangat minim dan dangkal. Kelihatan, sang hakim tidak tahu membedakan antara korban pemerkosaan dan berzina. Jika kita melihat lagi mundur ke belakang, kasus-kasus yang berhubungan dengan masalah seputar seks dan selangkangan tidak ada habis-habisnya di negara ini. Mulai dari video porno pejabat, pejabat yang menyuruh tes keperawanan untuk murid sekolah perempuan, hingga kasus Bupati Aceng, di Palembang cukup heboh seorang Walikota Palembang Eddy Santana Putra mengawini seorang mantan model hot. Kemudian muncul surat edaran walikota Lhoksemauwe tentang larangan perempuan duduk "mengangkang" di motor yang masih belum tuntas diselesaikan. Eh, muncul lagi kasus pemerkosaan ini. Sepertinya, persoalan seks ini memang dianggap remeh dan mudah untuk menyelesaikannya sehingga tidak pernah diperhatikan secara serius dan diselesaikan dengan benar. Seks selalu dijadikan obyek yang merupakan hasil dari subjek pemikiran kotor serta minimnya pengetahuan seks yang benar. Lagi-lagi soal guyon. Guyon itu tak boleh sembarangan. Lebih tepatnya, guyon itu harus beradab. Karena dari tutur guyon juga menunjukkan posisi dan intelektual seseorang. Atau lebih tepatnya lagi, dalam berguyon itu ada aturan-aturan yang meskipun tidak tertulis tapi (selayaknya) dipatuhi oleh siapa saja yang guyon. Dalam berguyon tentu saja harus melihat situasi dan kondisi. Ada saat-saat yang boleh dijadikan waktu untuk guyon, tapi ada pula saat-saat dimana guyon sangat (sangat) tidak dianjurkan. Dalam candaan Daming tidak memperhatikan situasi dan kondisi. Di tengah keprihatinan kita atas kematian RI –yang diduga kuat sebagai korban perkosaan– dan di tengah menggebu-gebunya usaha kita meminimalisir terjadinya tindak kejahatan pelecehan seksual, seorang calon hakim agung malah melontarkan guyonan yang sangat bertentangan dengan apa yang sedang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perlu digarisbawahi, tidak semua seisi dunia dan akhirat boleh dijadikan bahan guyonan. Atau lebih tepatnya, ada hal-hal tertentu yang tidak patut dijadikan bahan guyonan. Misalnya saja yang berkaitan dengan SARA, musibah, bendera negara atau sesuatu yang dikeramatkan –atau mungkin ada yang lain yang saya yang sifatnya soal agama. Kemudian dalam berguyon harus bisa mengukur diri. Harus bisa menilai siapa diri Anda dan siapa lawan bicara Anda. Perhatikan lawan guyon Anda, apakah dia tukang becak, sopir angkot, guru, dosen, kawan, anggota dewan, gubernur, presiden, menteri atau petani. Poin ini penting agar guyon Anda benar-benar ber-sense of guyon dan tidak menimbulkan malapetaka. Kini malapetaka itu menimpa Daming, tentu saja menjadi pelajaran bagi semua. Terutama pejabat publik yang memiliki tanggung jawab besar untuk membawa negara kita lebih baik. Ibarat kita dalam perahu, maka janganlah membiarkan perahu itu bocor. Justru kita harus menjaga perahu ini agar tetap melaju dan menuju cita-cita untuk kesejahteraan bersama. O

Tidak ada komentar: