Selasa, 29 Januari 2013
Mengubur RSBI / SBI
Mengubur SBI/RSBI
Harmonika
Firdaus Komar
Wartawan
SEJAK tanggal 8 Januari 2013, tidak ada lagi yang namanya rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah bertaraf internasional (SBI). Sejak itu, SBI dan RSBI telah dikubur. Pada hari itu Mahkamah Konstitusi (MK) telah mencabut roh dari 1.300 RSBI seluruh Indonesia. Keputusan MK mengikat dan final tidak bisa ditinjau atau dikaji secara hukum lagi. Ada beberapa alasan yang membuat MK membatalkan Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Setidaknya ada tiga alasan utama yang digunakan MK dalam putusannya, yaitu diskriminasi perlakuan, kesempatan bersekolah, dan kebanggan atas budaya bangsa sendiri. Diskriminasi perlakuan, menurut MK, terjadi akibat pembedaan SBI/RSBI dengan sekolah lain.
Pembedaan tersebut menyangkut aspek sarana dan prasarana dan pembiayaan. Pembedaan perlakuan demikian bertentangan dengan prinsip konstitusi yang harus memberikan perlakuan yang sama antarsekolah dan antarpeserta didik apalagi sama-sama sekolah milik pemerintah.
Mahkamah juga berpendapat program RSBI/SBI akan lebih banyak dimanfaatkan oleleh siswa dari keluarga kaya. Beasiswa hanya disiakan untuk menampung anak-anak sangat cerdas yang jumlahnya tidak banyak.
Dengan demikian anak-anak yang tidak mampu dan kurang cerdas tidak mungkin dapat bersekolah di SBI/RSBI. Padahal, pendidikan berkualitas seharusnya bisa dinikmati oleh semua dan sepenuhnya harus dibiayai oleh negara sebagaimana diamanatkan Pasal 31 ayat (2) UUD 1945. Selain itu sekolah bertaraf internasional berpotensi mengikis kebanggaan terhadap bahasa dan budaya nasional. Berpotensi mengurangi jatidiri bangsa yang harus melekat pada setiap peserta didik, mengabaikan tanggung jawab negara atas pendidikan, dan menimbulkan perlakuan berbeda untuk mengakses pendidikan yang berkualitas sehingga bertentangan dengan amanat konstitusi.
Tentu saja dengan penghapusan SBI dan RSBI prinsip yang pertama jangan sampai merugikan anak didik. Upaya peningkatan mutu pendidikan melalui program SBI atau RSBI dapat dipertahankan. Upaya menyeluruh pendidikan sebagai implementasi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional diselenggarakan dengan acuan standar pendidikan sebagaimana tertuang di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menekankan pentingnya delapan standar pendidikan, yaitu standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.
Kematian RSBI dan SBI bukan berarti tidak bisa diambil beberapa nilai-nilai positif. Keberadaan sekolah yang selama menerapkan RSBI dan SBI dalam peningkatan kualitas memang perlu dipertahankan. Beberapa hal yang cenderung negatif adalah penentuan sumbangan sarana prasarana. Orangtua siswa diminta memilih sumbangan, tapi anehnya jumlah uang yang harus dibayar sudah ditentukan. Seperti yang terjadi di SMPN 1 Palembang. Pihak sekolah membentuk komite sekolah dalam suatu pertemuan singkat untuk memutuskan mengenai jumlah uang yang harus dibayar per siswa sebesar Rp4.000.000 dan SPP sebesar Rp300 ribu per bulan. Tentu saja dengan keputusan ini, pihak sekolah dapat saja mengembalikan kembali uang sarana dan prasarana itu. Jadi pertanyaan yang berkembang, ada satu item untuk membeli AC dan beberapa fasilitas di kelas seperti infokus dan proyektor. Bukankah tiap tahun membeli barang yang sama. Oleh karena itu yang paling penting uang sumbangan dari orangtua siswa dan bantuan dari pemerintah perlu diaudit. Jangan sampai terjadi bentuk-bentuk korupsi baru lagi.
Kita tidak menutup mata, beberapa roh positif RSBI dan SBI tetap bisa menjadi acuan.Misalnya penetapan standar kompetisi guru yang harus S2 kemudian standar penilaian kegiatan belajar yang minimal 80. Tentu saja ketentuan ini masih bisa dipertahankan dan dapat dilanjutkan. Mungkin saja roh negatif yang harus dibuang adalah ketentuan yang harus membayar mahal. Inilah yang sering dipelesetkan RSBI (rintisan sekolah bertarif internasional, bukan bertaraf). Oleh karena itu berbagai permintaan dana melalui komite sekolah harus dihilangkan. Walaupun ada dampak kepentingan dana, itupun dibicarakan dan orangtua siswa ataupun masyarakat bisa saja memberikan sumbangan ke sekolah dengan sukarela. Contoh positif yang dilakukan oleh Pemprov Sumsel dengan adanya SMAN Sumsel kerja sama Sampoerna Foundation, dimana sekolah bertaraf internasional itu tidak membebankan biaya kepada orangtua siswa. Ini yang namanya sekolah berkualitas, bertaraf internasional tapi dengan biaya pemerintah. O
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar