Selasa, 29 Januari 2013
Tersakiti
Firdaus Komar
Harmonika
Tersakiti
MEMBICARAKAN isu perempuan memang tidak ada habisnya. Seiring makin tuanya zaman dan sudah diisukan akan kiamat, membahas perempuan tidak ada habisnya. Isu gender juga melekat berkaitan dengan pembagian peran antara perempuan dan laki-laki. Di Indonesia tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai hari Ibu secara nasional. Ibu menggambarkan sosok perempuan dalam melakukan peran saat menjadi ibu. Karena posisi sebagai ibu, seorang perempuan memiliki tugas dan tanggung jawab besar. Bukan hanya fungsional secara bilogis yang dimiliki perempuan yaitu menstruasi, hamil, dan melahirkan. Tetapi kadang-kadang di luar kodrati dan secara tradisi tugas perempuan tidak hanya melakukan ketiga hal kodrati. Tradisi yang cenderung menempatkan perempuan dalam posisi sub-ordinasi di bawah laki-laki. Padahal dalam melaksanakan peran, tugas, tanggung jawab, dan fungsi di luar kodrati merupakan konsesi yang dapat dinego antara perempuan dan laki-laki. Di luar kodrati yaitu, menentukan keputusan dan pilihan dari ekonomi, sosial, budaya, dan pendidikan serta termasuk kehidupan seksks antara perempuan dan laki-laki seharusnya memiki kesamaan hak dalam mengatur dan menentukan pilihan. Ya ibarat dalam musyawarah, dalam proses pengambilan keputusan perlu win-win solution. Artinya keberimbangan dan keselarasan perlu dijaga. Ibarat dikata, perempuan itu bekerja di rumah dari matanya bangun tidur sampai mata suami tidur lagi. Hal ini menggambarkan betapa tugas dan pembagian peran dilakukan oleh perempuan. Saya masih ingat di desa, betapa pekerjaan perempuan dari dinihari telah bangun dan berada di dapur sampai menyiapkan makanan dan minuman. Bandingkan suaminya, bangun tidur mandi kemudian langsung menikmati makan dan minum. Urusan penyiapan sarapan pagi sudah selesai ditambah urusan anak sekolah kemudian belum lagi mencuci pakaian. Mungkin saja perempuannya ikhlas dalam melaksanakan peran demikian, lantas apakah dasar ikhlas itu memang sudah tradisi atau karena hegemoni laki-laki?
Kita tidak menutup mata ada juga sosok ibu jauh dari gambaran ideal yang diharapkan. Apa yang menjadi sosok ibu yang ideal. Media massa banyak kita baca sosok ibu yang tega membunuh anaknya, menganiaya hingga anak cedera dimana-mana, menjual bayinya, memberikannya pada pelacur, memperkerjakan anak dibatas kemampuannya tanpa memberikan haknya secara layak. Maka, bagaimana mungkin seorang ibu akan bisa mencetak generasi emas peradaban, jika sedikit sekali seorang ibu yang layak menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya. Bagaimana mungkin pula akan tercipta generasi yang bijak dalam menghadapi hidup, jika sososok ibu yang diharapkan ada di sampingnya selalsibuk dengan karir dan mengabaikan tugas utama bersama keluarga. Tentu saja kekuatan seorang ibu perlu didukung oleh laki-laki.
Satu sisi kita memberikan harapan bahkan menjunjung tinggi kehormatan ibu sebagai pencetak generasi andalan ini, jika seorang ibu lebih memilih dirinya disibukkan hanya dengan hal-hal yang hanya menunjang ekonomi keluarga, atau sekadar eksistensi diri dan pengakuan masyarakat saja. Oleh karena itu, tugas utama seorang ibu tetap dilaksanakan. Tentu saja perlu pembagian peran, tugas dan tanggung jawab bersama.
Bagaimana posisi laki-laki? Kasus Aceng Fikri (Bupati Garut, Jabar) yang menikah kilat dapat menjadi contoh. Kasus ini menjadi sorotan publik, mengingat Aceng adalah pejabat publik. Betapa kaum perempuan gampang dan tentu menjadi sosok perempuan yang tidak mampu menjadi panutan. Sama halnya ketika pejabat publik tertinggi di Kota Palembang juga berniat dan telah menceraikan istri pertamanya, dan diketahui sang pejabat telah kawin lagi dengan wanita lain menjadi istri mudanya. Kita tidak menyalahkan seseorang mau kawin lagi atau cerai lagi. Tapi yang lebih penting jangan sampai landasan menceraikan itu pada akhirnya terjadi kasus kekerasan rumah tangga dan tidak bisa menjaga dan menempatkan kehormatan perempuan. Apalagi hal itu dilakukan oleh pejabat publik yang memiliki peran penting dan bukan sembarangan.
Ada kecenderungan seseorang yang telah memiliki tahta, harta pada akhirnya yang selalu dicarinya adalah wanita. Rumus tiga ‘ta’ ini sering menjatuhkan seseorang tidak lagi menjadi referensi, tapi ketiga ‘ta’ ini juga yang dikejar. Seakan-akan beriring menjadi satu kesatuan, setelah mendapatkan tahta, harta, dan cenderung akan lebih gampang mendapatkan wanita. Karena satu kondisi yang memprihatinkan juga wanita tidak memiliki pendidikan yang cukup, kemudian terbelit dengan kemiskinan. Kecuali dengan cara kawin dengan sudut pandang tahta dan harta itu juga yang akan membuatnya jadi berharta. Mungkin bisa tampil ke publik dan bahkan dapat mengakses pendidikan dengan kuliah. Tapi pada sisi berbeda ada satu perempuan lagi yang tersakiti dan terjatuh. O
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar