Jumat, 05 Desember 2008

BIDUK KEBERSAMAAN

PERTANYAAN yang memerlukan pikiran kita untuk merenung. Kemana biduk kebersamaan ini melaju? Sampai kapan kita harus bersama? Hanya waktu yang akan menentukan sampai dimana batas waktu yang kita tempu.
Kita masih yakin biduk kebersamaan kita terus berjalan. Dia telah menembus belukar, menaiki tebing, membelah laut. Adakah di antara kita yang tersayat atau terluka? Sayatan luka, rasa sakit, air mata adalah bagian dari tabiat jalan yang sedang kita lalui. Dan kita tak pernah berhenti menyusurinya, mengikuti arus waktu yang juga tak pernah berhenti.
Kita tak pernah berhenti karena menderita oleh keadaan seperti itu. Berada dalam biduk kebersamaan ini sungguh tidak mencemaskan, ketika ada di antara kita ada yang terluka dan tersayat. Karena ada juga di antara kita ada yang berbahagia, tertawa, dengan menikmati melajunya keuntungan dari biduk yang sedang kita jalani ini. Mereka bisa menghibur teman-teman yang masih dalam keadaan terluka atau pun tersayat.
Jika kita telah siap menempuh perjalanan panjang seperti ini, kita memerlukan satu bekal, yaitu sikap lapang dada, napas panjang dan mudah memaafkan.
Dengan bekal demikian akan membuat kita berbahagia. Seseorang jika kita tidak lapang dada dan tidak mudah bersabar, kita pasti akan menjadi orang yang paling menderita di dunia ini. Sebab penderitaan terbesar adalah jiwa yang cepat goyah dan bimbang saat menghadapi sesuatu yang sebenarnya remeh.
Penderitaan paling berbahaya adalah ketika tujuan hidup kita yang demikian agung, terbentur oleh keadaan hidup yang sesungguhnya sepele. Persoalan remeh, yang kita lihat secara keliru, kemudian mengakibatkan sempitnya dada, napas tersengal, kesal hati, murung wajah, hati yang bergemuruh duka cita, bahkan air mata dan dendam. Hingga istirahat terganggu, pikiran tidak tentu arah.
Jika itu yang terjadi, takkan ada amal-amal besar yang bisa dilakukan. Lantaran amal-amal besar itu, hanya lahir dari jiwa yang tenang, hati yang lapang, dengan pikiran yang jernih.
Apa rahasia lapang dada? Salah satunya adalah karena wawasan ilmu. Orang yang sempit wawasan adalah orang yang takut dengan perkara-perkara kecil, sangat takut dengan peristiwa yang remeh dan mudah marah dengan kata-kata yang tidak berkenan di hatinya. Seseorang bahkan bisa sampai terbakar puncak kemarahannya disebabkan peristiwa yang sebenarnya bisa dilewati dengan memejamkan mata. Bahkan bisa dilewati dengan senyum bila dibarengi dengan sedikit berpikir lapang dada.
Jika menghadapi dunia dengan jiwa lapang, akan memperoleh banyak kegembiraan yang semakin lama semakin bertambah, semakin luas, duka yang makin mengecil dan menyempit. Kita bisa seperti mereka. Jika kita tahu dan sadar, ada sasaran besar dan tujuan maha agung yang akan kita capai bersama di ujung jalan ini.
Karena tidak semua masalah diselesaikan dengan emosional dan marah-marah. Peristiwa kecil, mengapa harus dengan marah-marah. Karena masalah itu ternyata dapat diselesaikan dengan tidak marah-marah. Tidak satu pun yang bisa melarang orang untuk marah-marah. Marah sebagai ungkapan emosi, sah-sah saja. Tapi marah yang dilakukan dalam rangka memperbaiki yang salah dan bertujuan untuk menambah nilai spiritual baginya. Marah karena nafsu duniawi justru akan merugikan bagi seseorang. Justru kita sangat khawatir kemarahan yang memang tidak perlu akan mengancam keutuhan biduk kebersamaan. Mari kita melaju dalam biduk kebersamaan untuk mencapai satu tujuan akhir. O

BATAS AKHIR

Batas Akhir

PANJANGNYA aliran sungai berkilo-kilometer, pada akhirnya akan menemui muara. Di muara menuju laut inilah batas akhir aliran sungai yang selama ini terus hanyut ke hilir. Sepanjang waktu air sungai terus mengalir, ia dengan disiplin melaknanakan ketentuan Tuhan. Tidak ada kata mengeluh, tidak ada kata menggerutu, apalagi ingin memrotes atau pun melakukan demo. Selama ini tidak pernah aliran air itu protes, tidak mau mengalir lagi. Atau pun air itu menangis, karena bosan mengalir ke hilir. Ibarat aliran air, begitu pun kehidupan manusia. Hidup manusia pun akan seimbang dan akan mengalir sesuai dengan fungsinya. Asal dari ulu ke hilir ada keseimbangan sistem. Jika pohon-pohon ditebang, hutan berubah fungsi disulap jadi gundul. Akibatnya aliran air akan meluap ke daratan, air tidak lagi mengalir ke hilir, tapi mengalir ke pemukiman penduduk. Mengancam kehidupan. Terjadilah banjir.
Kita tersentak, tersadar sesaat, jika keseimbangan alam sangat penting. Satu tindakan yang salah, satu kebijakan ceroboh menimbulkan dampak buruk bagi semua.
Sangat penting bagi kita agar selalu bercermin. Sebuah cermin tidak akan berbohong dan tidak akan menipu, cermin akan jujur mengungkapkan fakta sebenarnya. Cermin kehidupan, cermin keseimbangan akan memantulkan satu komunitas harmoni.
Namun demikian, kita tidak hanya memerlukan satu cermin. Kita membutuhkan dua kaca sekaligus, yaitu kaca cermin dan kaca jendela. Kaca cermin menggambarkan sikap egosentris, melihat persoalan hanya dari sudut pandang diri sendiri. Sedangkan kaca jendela merupakan cara mengetahui dan melihat kepentingan orang lain, di samping diri sendiri. Kita harus mengangkat sebagian kaca cermin dan menggantinya dengan kaca jendela. Melalui kaca jendela, seseorang tidak lagi melihat dirinya sendiri, tetapi mereka juga melihat orang lain di sekitarnya dengan berbagai kebutuhannya. Mengubah kaca cermin dengan kaca jendela adalah langkah penting agar perhatian seseorang tidak hanya tertuju ke dalam, melainkan tertuju ke luar kepada orang lain.
Khalifah Umar bin Khattab merupakan salah satu tipe orang yang berusaha mengerti kondisi rakyat yang dipimpinnya. Disebutkan ia kerap memasuki pelosok-pelosok kampung yang termasuk wilayah kekuasaannya. Ini dilakukan untuk mengetahui kehidupan rakyatnya. Ia pun mengangkut sendiri karung berisi gandum untuk diberikan pada wanita tua yang mempunyai anak-anak yatim. Umar melihat wanita itu memasak batu untuk menenangkan anaknya yang menangis karena lapar. Umar bahkan pernah berujar, "Saya khawatir dimintai tanggung jawab di akhirat, jika ada seekor keledai mati di Syam karena kekeringan." Itulah jangkauan empati dan kepedulian Umar bin Khattab.

Begitulah empati. Empati sering juga disebut dengan kepedulian. Yakni kesanggupan untuk peka terhadap kebutuhan orang lain, kesanggupan untuk turut merasakan perasaan orang lain serta menempatkan diri dalam keadaan orang lain. Peduli atau empati tak berhenti sampai di situ, tapi dilanjutkan dalam tahap menanggapi dan melakukan perbuatan yang diperlukan orang lain.
Mari kita belajar belajar menanamkan rasa empati dan peduli. Kemampuan meraba dan menghayati berbagai perasaan yang berkembang dalam diri seperti sedih, gembira, kecewa, bangga, terharu dan sebagainya. Mengenali perasaan sendiri merupakan bagian dari tuntutan kecerdasan emosi. Orang yang mengenali perasaan diri, biasanya mampu mengendalikan emosinya, sehingga ia tidak melakukan tindakan gegabah saat mendapati kenyataan di luar dirinya yang berbeda dengan keinginannya.

Kemudian sediakan waktu menyendiri untuk berpikir apa yang telah terjadi. Karena biasanya orang sulit mempunyai gambaran jernih terhadap suatu persoalan dalam kondisi emosi yang bermacam-macam. Pasangan suami istri umumnya merasa lebih empati satu sama lain ketika mereka sendirian dan memikirkan pasangan mereka. Rasa bersalah biasanya muncul saat mengemudikan mobil seorang diri ke tempat kerja, di masjid saat tafakkur, menjelang tidur, saat shalat. Dalam waktu-waktu tersebut, seseorang mempunyai waktu untuk memikirkan kembali berbagai masalah yang ia alami. Selanjutnya, memulai yang lebih baik dengan memperbaiki terlebih dulu dirinya, sebelum menuntut orang lain berlaku baik kepadanya.
Di sekitar kita, banyak peristiwa yang bisa menyulut gejolak emosi. Di rumah, seorang suami bisa saja menemui segala macam hal yang berantakan. Seorang istri mendapati suaminya tak banyak memberi nafkah. Di jalanan seorang sopir bisa menemui banyak peristiwa yang memanaskan. Dalam segala kondisi, berupaya mengendalikan emosi merupakan perjuangan berat, tapi itu perlu. Pada akhirnya perjalanan panjang dinamika kehidupan, ibarat aliran sungai akan bermuara pada batas akhir. O

Kamis, 04 Desember 2008

Impian yang indah

Mimpi dan Nyata

BARACK Obama menawarkan perspektif baru bagi masyarakat Amerika Serikat untuk melihat dunia dan berhubungan dengan masyarakat internasional. Bagi dia, banyak kebijakan luar negeri AS sudah ketinggalan zaman. Karena itu, perlu berbagai perubahan dan pendekatan baru. Mimpi untuk membuat perubahan dalam kampenye Pilpres AS menjadi kenyataan. Nyatanya Obama terpilih menjadi Presiden AS pada pilpres 4 November 2008, mengalahkan saingannya McCain dari Partai Republik.
Perjalanan Obama menuju Gedung Putih, tidak sekonyong-konyong muncul dan menjadi kandidat. Mimpi Obama telah ada sejak dulu. Perjalanan karir Obama menandakan Obama adalah pemimpin yang telah ia siapkan sendiri. Boleh jadi Obama telah memberikan inspirasi bagi dunia. Satu kata ‘perubahan’ adalah mimpi Obama dalam mengimplementasikan dirinya menjadi pemimpin.
seandainya warga internasional boleh ikut memberikan suara dalam Pemilu Amerika Serikat sekarang ini, mayoritas terbesar mereka akan memberikan suara kepada kandidat Partai Demokrat, Barack Obama. Dunia mungkin tidak lagi peduli dengan politik Amerika yang masih saja berbau WASP--White, Anglo Saxon, dan Protestan. Memang, hanya pernah ada satu presiden beragama Katolik, dia adalah JF Kennedy yang Anglo-Saxon. Obama jelas bukan Anglo Saxon. Meski ibunya kulit putih (the white), ia tidak lagi murni kulit putih; ia lebih kelihatan sebagai orang hitam (the black) walau sebagian orang hitam sendiri mempersoalkannya bahwa dia tidak cukup black. Jelas, ia adalah penganut Protestan.
Tapi, di Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim, Obama juga bakal menang mutlak seandainya warga Indonesia boleh ikut memilih. Ini bukan hanya karena visi dan misinya, tapi juga karena ia pernah tinggal dan sekolah di Jakarta selama lebih dari tiga tahun; ia meninggalkan semacam ikatan emosional di sini. Apalagi, seperti diceritakan Obama sendiri dalam Dreams from My Father.
Tiket masuk ke dalam sebuah impian tidak ada yang gratis. Ada riset yang harus dilakukan, harus belajar, berlatih, berlatih, dan berlatih. Yang paling murah dan biasanya paling cepat, jalan untuk mencapai semua keinginan itu adalah dengan membayar harganya secara penuh. Lakukan semua pekerjaan dengan sungguh-sungguh.
Mereka mampu mencapai dan merealisasikan kenyataan kesuksesan berawal dari mimpi. Banyak hal yang telah membuktikan kepada kita sekarang bahwa semua itu berawal dari sebuah mimpi. Oleh karena itu, genggam impian yang telah Anda tetapkan, jangan biarkan kata-kata negatif, cemohan, hinaan, sindiran, dan kawan-kawan nya menjadi penghalang dan rintangan dalam mencapai impian. Anggaplah seolah-olah itu telah terjadi hingga suatu saat nanti itu benar-benar menjadi kenyataan.
Mimpi yang kita ungkapkan kadang-kadang dianggap sebagian orang tidak rasional dan tidak mungkin diwujudkan. Padahal impian, tidak bisa dibatasi oleh ruang dan waktu. Mimpi menjadi suatu cita-cita dan motivasi dan inspirasi untuk berbuat dalam kehidupan. Menggantungkan mimpi akan menjadikan diri kita membuat perubahan sikap dan kemampuan dalam memaknai perjalanan hidup. Mimpi yang tidak sesuai dengan kenyataan, bukanlah salah dalam merumuskan mimpi, tapi ada satu yang perlu kita koreksi dan instropeksi. Mimpi yang sempurna belum tentu akan menjadi kenyataan yang sempurna. Kesulitan merumuskan mimpi akan berbanding lurus tantangan dalam mewujudkannya. Namun demikian impian sudah seharusnya diwujudkan dengan pengorbanan.
Kita tidak melihat kesuksesan Obama mencapai tampuk kepemimpinan secara tiba-tiba. Tapi perjuangan Obama telah dilakukan sejak awal. Kita yakin tim Obama telah kerja keras untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu. Oleh karena itu, mulai sekarang kita pun jangan suka memendam mimpi. Ungkapkanlah mimpi-mimpi Anda, dan pelajarilah bagaimana cara untuk mewujudkannya. Selamat bermimpi dan berusahalah mewujudkannya. O

Jangan Biarkan Belenggu Penjara

Penjara

ADA yang pernah membayangkan rasanya terkurung dalam penjara pengap yang hanya cukup untuk dirimu sendiri? Sungguh sangat menyedihkan, rasa sesak itu akan terasa hingga ke dadamu, napasmu akan terasa tersengal seolah-olah tersumbat sesuatu.
Sama sekali tidak membayangkan, jika kehidupan ini harus dijalani dalam penjara. Tadinya saya mengagumkan beberapa tokoh perjuangan, mereka juga sering dipenjara. Keluar masuk penjara hal yang biasa bagi para pejuang. Tapi penjara masa reformasi ini beda dengan penjara masa pergerakan merebut kemerdekaan. Penjara dalam konteks perjuangan hanya satu slogan ‘merdeka atau mati’. Tapi kini kondisi sudah berubah. Kemerdekaan pun telah kita rebut, walaupun pintu penjara masih tetap dibuka. Ruang penjara disiapkan bukan untuk mengasingkan para pejuang kemerdekaan, melainkan untuk menjerat kaum koruptor yang makin merajalela menguras harta kekayaan negara.
Kerangkeng besi pun sekarang dipenuhi para pejabat negara, anggota DPR, mantan gubernur dan mantan bupati. Terlepas perbuatan sang koruptor disengaja atau tidak sengaja dilakukan. Kalau tidak demikian, apakah kondisi mereka karena larut dan ikut dalam sistem, sehingga mereka mengabaikan etika, nilai-nilai dan akibatnya tidak mampu menggebrak tembok atau pintu kebebasan.
Sebenarnya kehidupan pilihan. Kalau pun harus mengakhiri kehidupan di dalam penjara, itu merupakan konsekuensi logis sebuah pilihan. Karena ada juga yang merasakan dan mengganggap, masuk penjara, bukan berarti telah hilang suatu kebebasan. Karena kebebasan adalah hak semua orang dan telah dimiliki manusia sejak lahir. Oleh karena itu, walaupun sang pejuang, sang koruptor dalam penjara, pada dasarnya ia tetap memiliki kebebasan. Sang pejuang masih ada kebebasan untuk berjuang dalam mencapai tujuannya. Sedangkan sang koruptor, ada kebebasan untuk sadar dan bertobat bahwa perbuatannya telah merugikan banyak orang. Hanya saja perbedaannya, sang koruptor lebih sering tampil di layar TV atau pun koran dan selalu mengumbarkan senyum. Masih sempat mengenakan pakaian batik. Sebaliknya, para pejuang yang pernah merasakan dalam pengasingan di penjara. Walau pun tidak tampil di TV atau koran dan tidak terlihat lontaran senyuman, tapi mereka memiliki jiwa dan hati yang sama sekali tidak terpenjara. Hati yang mereka miliki suci dalam balutan keikhlasan untuk berjuang memperebutkan hak-hak kemerdekaan rakyat Indonesia, justru sebaliknya sang koruptor dalam penjara karena telah menginjak-nginjak hak rakyat. Uang rakyat yang semestinya digunakan untuk rakyat telah diselewengkan untuk kepentingan pribadi.
Mereka yang terpenjara akibat perbuatan korupsi, pada dasarnya tidak hanya dipenjara secara fisik. Karena hidup yang dia rasakan sebelum ia dipenjara adalah ibarat telah menjadi sebuah penjara. Karena kebanyakan melihat hidup sebagai sesuatu yang menyenangkan, sebagai kesempatan untuk bersenang-senang. Mereka rela hidup demi kenikmatan hidup. Kemudian mereka menjadi tergila-gila dan terpikat pada kehidupan. Karena mereka tergila-gila dan terperdaya oleh kehidupan inilah yang membuat kehidupan itu sendiri menjadi penjara.
Semakin orang mempertahankan dan mengejar kesenangan melalui identitas-identitas sekunder maka kekecewaan dan derita serta perasaan kalah sudah menghadang di depannya. Jika hati, pikiran, dan nafsu kita masih sangat kuat terikat dengan beban-beban topeng dan bagasi duniawi, pasti sulit untuk lari dan terbang menuju pembebasan.
Misi kerohanian adakalanya gagal ketika seseorang lebih tertarik pada perintah dan tawaran hawa nafsu yang menyajikan kesenangan dan kenikmatan sesaat yang bersifat badani dan emosi sehingga bisikan, ajakan, peringatan, dan daya ruhani untuk melakukan bakti yang lebih mulia dan meraih kebahagiaan yang lebih tinggi menjadi terbengkalai. Hatinya mengeras, telinganya menjadi tuli, dan penglihatannya buta terhadap jalan kebenaran.
Pemimpin yang dianggap sukses bukannya yang kaya raya karena canggih melakukan korupsi, melainkan justru mereka yang siap hidup sederhana karena ingin memberikan seluruh potensi dan keunggulannya untuk saudara-saudara sesamanya.
Ketika orang sibuk mengumpulkan harta, bahkan dengan cara tidak halal, lalu hartanya hanya dipeluk dan dibanggakan, tetapi tidak ditaklukkan untuk sarana amal saleh, maka perasaan bahwa dirinya kaya adalah perasaan semu.
Keberhasilan menaklukkan itulah yang disebut orang kaya, bukannya mereka yang ditindas oleh harta untuk selalu menjaga dan bahkan membawanya dalam mimpi, seakan semua itu akan membuatnya abadi. O

Terasa Air Mata Bahagia

Menangis

SAYA juga heran mengapa tiba-tiba saat menyampaikan sambutan pelepasan keberangkatan orangtua menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci, pada Kamis (27/11) saya menangis. Padahal sesungguhnya suasana hati saya begitu bahagia, karena niat orangtua untuk menunaikan ibadah haji kesampaian. Hal lain yang membuat bahagia karena niat saya dan istri untuk memberangkatkan orangtua ke Tanah Suci tercapai. Pertanyaannya, mengapa saya menangis? Padahal sebelumnya, jika melihat orang menangis ketika mengantar kerabatnya berangkat haji, dalam hati saya selalu mengatakan, masak sih itu saja sampai menangis.
Kini kondisi seperti ini terjadi dengan saya. Mengapa sampai menangis? Ketika ditanya demikian. Saya yang bisa merasakannya. Pertama terus terang niat dari awal untuk memberangkatkan orangtua melaksanakan ibadah haji sungguh perjuangan keihlasan hati. Betapa saya dan istri ditantang oleh suatu keadaan yang memang butuh jawaban. Mampukah ikhlas dari awal untuk memberangkatkan orangtua melakukan ibadah haji.
Jawaban demi jawaban dari hari ke hari kami keluarkan. Jalan untuk mengimplementasikan niat kami pun terasa jadi mudah. Hampir semua perubahan dan peristiwa yang kami alami, yang kami rasakan terasa memang suatu petunjuk bahwa inilah jalan yang diberi-Nya. Saya sangat yakin berangkat haji memang bukan segala-galanya, karena memang yang punya segala-galanya itu adalah Allah. Haji adalah sebuah proses ibadah yang diharapkan akan menjadi motivasi dan kekuatan dalam menambah keimanan dan ketakwaan. Perjuangan yang kami rasakan bukan tanpa tantangan. Tantangan dan kendala tetap ada dan kami temui, tapi atas kekuatan pertolongan-Nya selalu ada jawaban.
Bagi saya tangisan itu tiba-tiba muncul, adalah suatu getaran suatu puncak perjuangan yang selama ini kami rasakan. Memantapkan hati dalam keikhlasan, bukan suatu yang mudah dilaksanakan. Selama manasik haji, saya yang mengantar dan menjemput. Kadang juga saya ikut menunggu kegiatan manasik. Selama perjalanan, banyak cerita soal ibadah haji yang dibicarakan. Sesungguhnya tangisan itu adalah tangis kebahagiaan buah dari perjuangan panjang, bertahun-tahun. Hanya kekuatan yang luar biasa, yang mampu memberikan petunjuk pada kami. Semoga selamanya akan mendapat petunjuk di jalan yang benar.
Kini saya semakin mengerti mengapa tiba-tiba menangis. Sebenarnya sejak dari keluar dari perut ibu, kita telah mengenal tangisan. Betapa tangis itu tidak bisa dipisahkan dengan dinamika dalam hidup.
Tangisan itu tiba-tiba datang pada saat kesedihan melanda seseorang. Tapi dia bisa juga datang pada satu kegembiraan . Airmata adalah tanda dimana ungkapan rasa disebut tangis. Tapi tangisan tak selalu dibarengi airmata , sebuah hati pun bisa menangis.
Tangisan adalah tanda kekuatan untuk mengakui kelemahan kita. Kekuatan untuk proses mengerti atau menerima kenyataan.
Tangis bahagia terjadi jika kita menerima berkat atau kebahagiaan yang lebih daripada yang bisa kita bayangkan. Tangis yang terjadi yang saya rasakan ini, ketika hati dipenuhi rasa syukur yang mendalam.
Dan akhirnya sebuah tangisan ternyata memiliki makna yang lebih kompleks dari sebuah kelemahan dan sekadar identitas gender. O firdaus komar

KEBERADAAN KITA

Mengapa Kita Ada?


MARI kita renungkan puisi Andreas Harefa dalam buku “ Menjadi Manusia Pembelajar ” berikut ini :
Aku adalah pembelajar di Universitas Besar kehidupan”
Dimana aku belajar untuk menerima tanggung jawab.
Dengan pertama-tama berusaha menjadi diri sendiri, bukan yang lain
Untuk menolak ditentukan, didikte, dipaksa oleh yang bukan diriku siapapun atau apapun itu
… Dan kepada siapa aku percaya kalau bukan kepada-MU?
***
ORANG sering menanyakan soal keberadaan kita. Suatu pertanyaan mengenai posisi kita. Mengapa kita ada? Jawabnya sangat panjang, karena pada akhirnya pertanyaan itu akan bermuara pada jawaban mengenai hakikat keberadaan dan tujuan kita di muka bumi ini.
Seandainya kita tak tidak ada. Kita pun tak akan menemui persoalan-persoalan kehidupan ini. Kita tidak akan menghadapi krisis global yang melanda dunia saat ini, kita tidak akan menghadapi keterpurukan Indonesia, kita tidak akan menghadapi kemiskinan dan kemelaratan, kita tidak akan mengenal maraknya korupsi, kita tidak akan tahu jika ada masalah dalam penyaluran pupuk bersubsidi, penyaluran raskin, penyaluran subsidi-subsidi lainnya. Kita tidak akan menghadapi mahalnya biaya pendidikan anak, biaya berobat yang mahal, dan kita tidak akan melihat kebajatan dan keberingasan kaum penjahat, kita tidak akan melihat adanya suap, kita tidak akan melihat pejabat yang munafik, tidak jujur, pejabat yang tidak amanah.
Kenyataannya kini kebaradaan kita ada. Benarkah keberadaan kita telah mampu memberikan manfaat bagi orang lain. Karena sebaik-baiknya manusia, manusia yang dapat memberikan bermanfaat bagi orang lain.
Atau sebaliknya keberadaan kita justru ikut arus dalam persoalan tersebut. Dan tenggelam dalam arus persoalan itu. Alangkah tidak bermanfaatnya kita, seandainya kita distributor pupuk, kita pun ikut menyelewengkan pupuk subsidi. Seandainya kita penyalur beras miskin, kita pun menjual beras itu untuk kepentingan kita. Seandainya kita pejabat, justru kita ikut melakukan korupsi, kita pun manafik, kita pun tidak jujur, kita pun jadi pejabat yang tidak amanah.
Mungkin keberadaan sebenarnya ada dalam ketiadaan, kita telah menjadi sosok mayat hidup yang tidak mampu lagi berperan sempurna. Peran yang kita tunjukkan hanya untuk merusak tatanan, hanya untuk memenuhi ambisi pribadi, dan hanya untuk kepentingan sesaat. Sungguh keberadaan manusia itu ibarat jadi manusia bodoh. Tidak mampu lagi membedakan yang hak dan batil, tidak bisa membedakan lagi posisi jalan yang lurus dan jalan tidak benar. Atau kita berada dalam posisi di persimpangan jalan, yang tidak tahu arah tujuan jalan. Mungkinkah jalan tujuan yang sudah ditetap sudah hilang atau kita masih dalam keadaan tersesat. Seorang teman pernah membuat pernyataan yang isinya “kalau mau berbuat baik, jalan yang lurus jadi kiai sajalah”. Pernyataan itu mungkin guyon, tapi pernyataan itu cukup serius. Karena apa pun namanya perbuatan baik dan posisi di jalan yang benar bukan persoalan kiai. Tapi adalah sudah menjadi tugas dan tanggung jawab semua manusia. Secara nurani manusia tentu saja mencita-citakan kebaikan, tidak mau ada kejahatan.
Patut kita syukuri kita memang ada. Pernahkah kita berpikir? Setiap manusia pasti dapat berpikir, tetapi berpikir yang bagimana yang bisa dilakukan. Manusia adalah mahluk yang sempurna, dilengkapi akal dan pikiran, namun sayang kebanyakan dari mereka tidak menggunakan sarana yang teramat penting ini sebagaimana mestinya. Bahkan kenyataannya manusia hampir tidak pernah berpikir walaupun manusia memiliki tingkat kemampuan untuk berpikir mendalam yang seringkali tidak menyadarinya. Banyak fakta-fakta di sekeliling kita masih belum diketahui, hal tersebut membutuhkan proses berpikir yang mendalam.
Seseorang yang tidak berpikir dengan akal sehat dan nuraninya berada sangat jauh dari kebenaran dan menjalani kehidupan penuh dengan kepalsuan. Akibatnya tidak mengetahui tujuan penciptaan alam dan tujuan keberadaan diri kita sendiri dimuka bumi ini, yang akhirnya hidup dipenuhi keserakahan, kemunafikan, kejahiliyahan, dan hidup dipenuhi fatamorgana yang menipu.
Setiap orang tidak saja dapat memikirkan (akal) apa dan siapa dirinya, tetapi juga dapat merasakan (hati) apa dan siapa dirinya itu dan bahkan mengekpresikan (kemauan) apa yang dipikirkan dan dirasakannya dalam kehidupan. Untuk mensinkronisasikan atau mensinergikan kekuatan pikiran (akal) dan perasaan (hati) kita perlu menjadi manusia yang jujur, memiliki integritas, akuntable sehingga benar-benar otentik dan original.
firdaus komar

HARAPAN BARU TERHADAP PWI SUMSEL

Reposisi & Aktualisasi Peran PWI

Firdaus Komar

PERJALANAN panjang sejarah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) tidak terlepas dari kehidupan pers di Tanah Air yang searah dalam melingkupi perjuangan bangsa Indonesia. Tak dapat dipungkiri kenyataan sejarah, PWI lahir 9 Februari 1946 di Solo adalah tuntutan peran perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan.
Tentu saja pahit getir, dan manis romantisme sejarah PWI dalam kehidupan pers dari rentang panjang perjalanan bangsa Indonesia tidak terlepas dari perubahan sosial politik di Tanah Air.
Kalau pun saat ini pers Indonesia menikmati suatu ranah pers yang bebas ditambah lagi dengan gampangnya orang mendirikan perusahaan pers. Itu pun tak terlepas dari kondisi sosial politik di Indonesia ketika memasuki era reformasi.
***
Tulisan Arpan Rachman, dalam rubrik opini di BeritaPagi ‘Budaya (Restu-Merestui) Konferensi PWI Sumsel’ saya melihat lebih mengedepankan bagaimana posisi PWI sebagai organisasi independen tidak terpengaruh dengan tarikan kepentingan politik tertentu.
Beberapa hal yang perlu dicermati berkaitan dengan reposisi dan aktualisasi peran PWI dalam konteks kekinian tentu saja bukan hanya persoalan siapa yang akan dipilih menjadi ketua dalam arena Konfercab PWI Sumsel. Satu hal yang tidak kalah penting dan strategis adalah persoalan visi, misi dan langkah-langkah PWI ke depan.
Pada dasarnya tidak ada yang salah dalam organisasi ke-PWI-an. Karena PWI bukanlah organisasi pinggiran yang tiba-tiba muncul hanya untuk kepentingan sesaat seseorang. Kita sadari PWI lahir dalam napas perjuangan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, sampai kapan pun PWI adalah organisasi wartawan yang memiliki tujuan agar tercapainya cita-cita rakyat Indonesia sesuai yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945.
Tentu saja visi PWI agar terwujudnya kehidupan pers yang merdeka, profesional, dan bermartabat. Serta terpenuhinya hak masyarakat untuk mengetahui dan memperoleh informasi yang obyektif dan terwujudnya tugas pengawasan, kritik, koreksi terhadap hal-hal kepentingan publik.
Guna mencapai visi dan misi PWI yang sangat mulia itu, maka dibutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang andal memiliki kemampuan manajerial, pengalaman organisatoris, berjiwa leadership, memiliki integritas, moralitas, profesional. Tidak kalah penting sosok pemimpin PWI sudah teruji dalam kepengurusan PWI yang memiliki komitmen untuk kemajuan PWI.
Oleh karena itu dengan memiliki SDM yang andal, maka posisi dan aktualisasi peran PWI dalam konteks kekinian tetap dibutuhkan. Dilihat secara eksternal, maka sepanjang denyut nadi dan napas bangsa kita masih ada, maka PWI tetap penting menjadi organisasi dalam berperan dan kehidupan bernegara. Jika era perjuangan PWI dibutuhkan untuk turut berperan dalam mempertahankan kemerdekaan, maka tentu saja posisi dan aktualisasi peran PWI kekinian lebih kompleks. PWI diharapkan mampu untuk mengawal proses demokratisasi yang sedang kita jalani saat ini. Pers sebagai bagian dari salah satu pilar demokrasi, sangat menentukan dalam perjalanan demokratisasi dalam berbagai sendiri kehidupan. PWI tetap mendorong pers sebagai industri agar tidak semata-mata mengedepankan kepentingan bisnis. Satu tanggung jawab besar pers yang sejak dulu diperankan adalah menyelamatkan bangsa Indonesia dari berbagai ancaman dan tantangan.
Sedangkan secara internal, PWI sebagai organisasi besar yang memiliki struktur sampai ke daerah kabupaten dan kota memiliki tanggung jawab terhadap eksistensi keorganisasian ke-PWI-an dan tanggung jawab terhadap keanggotaan PWI.
Eksistensi PWI secara organisatoris, tentu saja harus didukung SDM yang andal dalam struktur kepengurusannya. Olah karena itu, seleksi bagi keanggotaan PWI harus benar-benar memperhatikan kapasitas seseorang sebagai wartawan. Jangan sampai kecolongan, misalnya seseorang mengaku sebagai wartawan. Padahal dia sama sekali tidak ada karya jurnalistik yang dibuktikan dengan kegiatan kejurnalistikannya. Sudah seharusnya PWI memiliki filter untuk tidak menerima anggota yang tidak memenuhi kriteria. Karena saat ini dengan gampang orang mendirikan perusahaan surat kabar sebagai hak warga negara untuk menerbitkan sebuah media. Bayangkan, asal saja penerbitan tersebut berbadan hukum maka orang tersebut sudah bisa membikin usaha penerbitan dan dapat menerima atau merekrut wartawan.
Karena kran usaha media ini dibuka sedemikian besar, hal ini sesuai dengan UU No 40 tahun 1990 tentang Pers. Akibatnya bukan tidak mungkin orang bekeinginan masuk PWI dengan mudah. Sekarang filter pengawasan dan seleksi bagi calon anggota PWI tetap ada dalam kepengurusan PWI tingkat cabang.
Di tengah tuntutan pengembangan keorganisasian ke-PWI-an, maka dibutuhkan kesekretariatan atau kantor PWI Sumsel yang refresentatif. Seiring dengan pengembangan media yang tidak hanya meliputi media cetak, elektronik, ada lagi media digital melalui web-site internet, maka seharusnya dibutuhkan modernisasi organisasi PWI. PWI ke depan saatnya memanfaatan teknologi informasi komunikasi yang notabene merupakan keterpaduan yang sejalan dalam perkembangan dan kemajuan pers.
Tanggung jawab PWI terhadap keanggotaan PWI terutama tanggung jawab untuk mewujudkan wartawan yang profesional, tangguh, dan berwawasan luas, berintegitas dan bermoral. Untuk mewujudkan wartawan yang profesional, maka PWI Sumsel perlu menyelenggarakan pendidikan secara reguler. Membentuk grup fokus diskusi membahas isu-isu sentral. Melalui forum grup diskusi ini dapat mengundang seluruh pemred guna membahas berbagai isu di luar pemberitaan media.
Untuk mewujudkan kesejahtaraan bagi anggota PWI, maka sudah saatnya agar PWI mengaktifkan dan memaksimalkan koperasi anggota PWI. PWI dapat juga kerja sama dengan memberdayakan ikatan keluarga wartawan Indonesia (IKWI) untuk mengelola koperasi wartawan. PWI perlu menjalin kerja sama dengan pihak luar untuk pengadaan kredit rumah subsidi bagi anggota PWI atau wartawan yang memang membutuhkan.
Di luar pendidikan dan peningkatan kesejahteraan, maka PWI perlu menyiapkan dengan memaksimalkan lembaga bantuan hukum untuk advokasi anggota PWI yang berurusan dengan persoalan hukum. Lembaga bantuan hukum PWI dengan menjalin kerja sama dengan para pengacara melalui lembaga ikatan pengacara dapat membentuk tim advokasi bantuan hukum kepada wartawan. O
Calon Ketua PWI Sumsel, Redpel BeritaPagi