Selasa, 29 Januari 2013

Ruang Kebahagiaan

Ruang Kebahagiaan HARMONIKA Firdaus Komar Wartawan PERTANYAAN yang selalu muncul. Apa yang dicari di dunia ini? Mungkin saja seseorang mencari harta yang banyak. Wajar saja, karena tidak ada larangan jika seseorang bercita-cita ingin jadi kaya raya. Kaya tentu saja dengan indikator yang sederhana dengan mengumpulkan harta banyak. Masalahnya harta yang dikumpulkan apakah diperoleh dengan cara yang halal dan juga digunakan untuk kebaikan bukan untuk maksiat. Lantas apakah dengan menumpukkan harta yang banyak seseorang sudah mencapai rasa kebahagiaan . Mungkin juga seseorang itu bahagia. Boleh jadi kebahagiaan itu sama-sama dirasakan dengan kelompok syetan. Karena biasanya syetan paling suka ada temannya. Selain harta mungkin juga orang mencari jabatan. Demi sebuah jabatan atau kekuasaan atau tahta seorang biasanya siap melakukan apa saja. Tidak peduli lagi dengan etika, hanya satu yang dipikirkannya untuk mendapatkan kekuasaan dan jabatan. Motivasi dan ambisi mendapatkan jabatan, tentu saja tidak ada larangannya. Lantas cara mendapatkan kekuasaan itu yang perlu dikritisi. Wajar saja jika kekuasaan perlu direbut, tapi untuk apa. Merebut kekuasaan tentu saja bukan untuk kepentingan dirinya atau golongannya saja. Apa yang terjadi ketika orang merebut kekuasaan yang dipikirkannya untuk melipatgandakan kekuasaannya. Apa yang terjadi betapa dahsatnya virus kekuasaan juga ada di Sumsel. Seorang kepala daerah tidak lagi malu, menginginkan istrinya atau anaknya untuk merebut kekuasaan lagi. Soal kapasitas building dan kemampuan kepemimpinan menjadi nomor sekian, tapi siapa yang memiliki akses kekuasaan dan uang itu akan lebih mudah mendapatkan kekuasaan. Lantas apakah mereka yang menikmati kekuasaan itu telah bahagia. Belum tentu. Seandainya Anda sudah menonton film Ainun & Habibie yang saat ini masih diputar di bioskop, betapa dalam film itu digambarkan kesulitan untuk mendapatkan waktu bersama dengan keluarga menjadi sulit, ketika Habibie setelah menjadi Menteri dan diangkat menjadi Presiden. Belum lagi ancaman dan godaan begitu terus menghampiri dari sebuah kekuasaan. Praktis Habibie yang sedang berkuasa tidur pun hanya satu jam. Kebahagiaan Ainun dan Habibie dapat menjaga integritas sebagai pejabat dan istri pejabat, ketika ada rekanan pengusaha yang memaksa untuk memenangkan perusahaannya. Suap berupa uang dan jam tangan ditolak mentah-mentah oleh Ainun. Dalam kondisi saat ini sosok tegas dan tegar seperti yang dilakukan Ainun sangat diperlukan. Jangan sebaliknya, justru istrinya yang makin menuntut dan menoleransi menerima suap. Sekelumit melalui lensa film, mungkin kebahagiaan diperoleh oleh Habibie dan Ainun, tapi benarkah demikian? Hanya Habibie dan Ainun yang bisa merasakan dalam ruang kebahagiaan yang dia miliki. Walaupun klise bahwa ruang kebahagiaan tidak ditentukan berapa materi dan harta, tahta serta wanita yang dia miliki. Tahta, harta, wanita adalah satu sisi yang dapat memberikan inspirasi dan mencapai kebahagiaan dengan memenuhi ruang-ruang kebahagiaan. Tapi tiga ‘ta’ itu juga dapat menjatuhkan seseorang. Kasus Aceng Fikri dan beberapa pejabat yang nekat kawin cerai, bisa jadi dapat menjatuhkannya. Tapi dalam ruang bahagia, mungkin juga pejabat itu justru merasa bahagia ketika dalam pelukan wanita yang lebih muda. Baru-baru ini diberitakan di Kompas, yang mengutip survei dari Gallup menunjukkan uang tidak dapat membeli kebahagiaan. Itulah yang terlihat ketika warga negeri jiran yang kaya, Singapura, menempati urutan pertama di dunia sebagai yang paling tidak gembira dan positif dalam menjalani kehidupan. Walaupun menempati urutan kelima negara dengan GDP perkapita tertinggi di dunia, mungkin terlalu banyak hal yang dipikirkan dan dikeluhkan warga Singapura. Survei menunjukkan hanya 46% % warga Singapura yang menjawab merasa gembira dgan hidupnya. Persentase itu bahkan lebih rendah dari warga Irak dan Afganistan yang negaranya diporak-porandakan oleh perang. Sebanyak 50 dan 55% warga Irak dan Afganistan menyatakan hidup mereka bahagia. Artinya yang kita bayangkan, nyawa dalam ancaman, pada kenyataannya mereka bahagia. Pertanyaan survei sendiri mencakup apakah memiliki tidur yang cukup dan nyenyak, apakah sering tersenyum atau tertawa, apakah memiliki banyak kegembiraan dalam hidup. Survei dilakukan di 148 negara pada 2011 di mana hasil survei baru dipublikasikan 19 Desember 2012. Negara Amerika Tengah, Panama menempati urutan pertama sebagai yang paling gembira dan positif. Sebanyak 85% responden negeri itu menyatakan merasakan hidup yang positif walaupun GDP perkapita mereka hanya berada di urutan 90 di dunia. Sementara itu, Indonesia sendiri berada di urutan ke-19 dengan 79% responden merasa gembira dan positif. Survei ini sendiri mengundang reaksi di Singapura. Pakar ternama sosiologi dari National University of Singapore (NUS), Profesor Paulin Straughan meragukan hasil survei tersebut. O

Tidak ada komentar: