Mengapa Kita Ada?
MARI kita renungkan puisi Andreas Harefa dalam buku “ Menjadi Manusia Pembelajar ” berikut ini :
Aku adalah pembelajar di Universitas Besar kehidupan”
Dimana aku belajar untuk menerima tanggung jawab.
Dengan pertama-tama berusaha menjadi diri sendiri, bukan yang lain
Untuk menolak ditentukan, didikte, dipaksa oleh yang bukan diriku siapapun atau apapun itu
… Dan kepada siapa aku percaya kalau bukan kepada-MU?
***
ORANG sering menanyakan soal keberadaan kita. Suatu pertanyaan mengenai posisi kita. Mengapa kita ada? Jawabnya sangat panjang, karena pada akhirnya pertanyaan itu akan bermuara pada jawaban mengenai hakikat keberadaan dan tujuan kita di muka bumi ini.
Seandainya kita tak tidak ada. Kita pun tak akan menemui persoalan-persoalan kehidupan ini. Kita tidak akan menghadapi krisis global yang melanda dunia saat ini, kita tidak akan menghadapi keterpurukan Indonesia, kita tidak akan menghadapi kemiskinan dan kemelaratan, kita tidak akan mengenal maraknya korupsi, kita tidak akan tahu jika ada masalah dalam penyaluran pupuk bersubsidi, penyaluran raskin, penyaluran subsidi-subsidi lainnya. Kita tidak akan menghadapi mahalnya biaya pendidikan anak, biaya berobat yang mahal, dan kita tidak akan melihat kebajatan dan keberingasan kaum penjahat, kita tidak akan melihat adanya suap, kita tidak akan melihat pejabat yang munafik, tidak jujur, pejabat yang tidak amanah.
Kenyataannya kini kebaradaan kita ada. Benarkah keberadaan kita telah mampu memberikan manfaat bagi orang lain. Karena sebaik-baiknya manusia, manusia yang dapat memberikan bermanfaat bagi orang lain.
Atau sebaliknya keberadaan kita justru ikut arus dalam persoalan tersebut. Dan tenggelam dalam arus persoalan itu. Alangkah tidak bermanfaatnya kita, seandainya kita distributor pupuk, kita pun ikut menyelewengkan pupuk subsidi. Seandainya kita penyalur beras miskin, kita pun menjual beras itu untuk kepentingan kita. Seandainya kita pejabat, justru kita ikut melakukan korupsi, kita pun manafik, kita pun tidak jujur, kita pun jadi pejabat yang tidak amanah.
Mungkin keberadaan sebenarnya ada dalam ketiadaan, kita telah menjadi sosok mayat hidup yang tidak mampu lagi berperan sempurna. Peran yang kita tunjukkan hanya untuk merusak tatanan, hanya untuk memenuhi ambisi pribadi, dan hanya untuk kepentingan sesaat. Sungguh keberadaan manusia itu ibarat jadi manusia bodoh. Tidak mampu lagi membedakan yang hak dan batil, tidak bisa membedakan lagi posisi jalan yang lurus dan jalan tidak benar. Atau kita berada dalam posisi di persimpangan jalan, yang tidak tahu arah tujuan jalan. Mungkinkah jalan tujuan yang sudah ditetap sudah hilang atau kita masih dalam keadaan tersesat. Seorang teman pernah membuat pernyataan yang isinya “kalau mau berbuat baik, jalan yang lurus jadi kiai sajalah”. Pernyataan itu mungkin guyon, tapi pernyataan itu cukup serius. Karena apa pun namanya perbuatan baik dan posisi di jalan yang benar bukan persoalan kiai. Tapi adalah sudah menjadi tugas dan tanggung jawab semua manusia. Secara nurani manusia tentu saja mencita-citakan kebaikan, tidak mau ada kejahatan.
Patut kita syukuri kita memang ada. Pernahkah kita berpikir? Setiap manusia pasti dapat berpikir, tetapi berpikir yang bagimana yang bisa dilakukan. Manusia adalah mahluk yang sempurna, dilengkapi akal dan pikiran, namun sayang kebanyakan dari mereka tidak menggunakan sarana yang teramat penting ini sebagaimana mestinya. Bahkan kenyataannya manusia hampir tidak pernah berpikir walaupun manusia memiliki tingkat kemampuan untuk berpikir mendalam yang seringkali tidak menyadarinya. Banyak fakta-fakta di sekeliling kita masih belum diketahui, hal tersebut membutuhkan proses berpikir yang mendalam.
Seseorang yang tidak berpikir dengan akal sehat dan nuraninya berada sangat jauh dari kebenaran dan menjalani kehidupan penuh dengan kepalsuan. Akibatnya tidak mengetahui tujuan penciptaan alam dan tujuan keberadaan diri kita sendiri dimuka bumi ini, yang akhirnya hidup dipenuhi keserakahan, kemunafikan, kejahiliyahan, dan hidup dipenuhi fatamorgana yang menipu.
Setiap orang tidak saja dapat memikirkan (akal) apa dan siapa dirinya, tetapi juga dapat merasakan (hati) apa dan siapa dirinya itu dan bahkan mengekpresikan (kemauan) apa yang dipikirkan dan dirasakannya dalam kehidupan. Untuk mensinkronisasikan atau mensinergikan kekuatan pikiran (akal) dan perasaan (hati) kita perlu menjadi manusia yang jujur, memiliki integritas, akuntable sehingga benar-benar otentik dan original.
firdaus komar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar