Jumat, 05 Desember 2008

BATAS AKHIR

Batas Akhir

PANJANGNYA aliran sungai berkilo-kilometer, pada akhirnya akan menemui muara. Di muara menuju laut inilah batas akhir aliran sungai yang selama ini terus hanyut ke hilir. Sepanjang waktu air sungai terus mengalir, ia dengan disiplin melaknanakan ketentuan Tuhan. Tidak ada kata mengeluh, tidak ada kata menggerutu, apalagi ingin memrotes atau pun melakukan demo. Selama ini tidak pernah aliran air itu protes, tidak mau mengalir lagi. Atau pun air itu menangis, karena bosan mengalir ke hilir. Ibarat aliran air, begitu pun kehidupan manusia. Hidup manusia pun akan seimbang dan akan mengalir sesuai dengan fungsinya. Asal dari ulu ke hilir ada keseimbangan sistem. Jika pohon-pohon ditebang, hutan berubah fungsi disulap jadi gundul. Akibatnya aliran air akan meluap ke daratan, air tidak lagi mengalir ke hilir, tapi mengalir ke pemukiman penduduk. Mengancam kehidupan. Terjadilah banjir.
Kita tersentak, tersadar sesaat, jika keseimbangan alam sangat penting. Satu tindakan yang salah, satu kebijakan ceroboh menimbulkan dampak buruk bagi semua.
Sangat penting bagi kita agar selalu bercermin. Sebuah cermin tidak akan berbohong dan tidak akan menipu, cermin akan jujur mengungkapkan fakta sebenarnya. Cermin kehidupan, cermin keseimbangan akan memantulkan satu komunitas harmoni.
Namun demikian, kita tidak hanya memerlukan satu cermin. Kita membutuhkan dua kaca sekaligus, yaitu kaca cermin dan kaca jendela. Kaca cermin menggambarkan sikap egosentris, melihat persoalan hanya dari sudut pandang diri sendiri. Sedangkan kaca jendela merupakan cara mengetahui dan melihat kepentingan orang lain, di samping diri sendiri. Kita harus mengangkat sebagian kaca cermin dan menggantinya dengan kaca jendela. Melalui kaca jendela, seseorang tidak lagi melihat dirinya sendiri, tetapi mereka juga melihat orang lain di sekitarnya dengan berbagai kebutuhannya. Mengubah kaca cermin dengan kaca jendela adalah langkah penting agar perhatian seseorang tidak hanya tertuju ke dalam, melainkan tertuju ke luar kepada orang lain.
Khalifah Umar bin Khattab merupakan salah satu tipe orang yang berusaha mengerti kondisi rakyat yang dipimpinnya. Disebutkan ia kerap memasuki pelosok-pelosok kampung yang termasuk wilayah kekuasaannya. Ini dilakukan untuk mengetahui kehidupan rakyatnya. Ia pun mengangkut sendiri karung berisi gandum untuk diberikan pada wanita tua yang mempunyai anak-anak yatim. Umar melihat wanita itu memasak batu untuk menenangkan anaknya yang menangis karena lapar. Umar bahkan pernah berujar, "Saya khawatir dimintai tanggung jawab di akhirat, jika ada seekor keledai mati di Syam karena kekeringan." Itulah jangkauan empati dan kepedulian Umar bin Khattab.

Begitulah empati. Empati sering juga disebut dengan kepedulian. Yakni kesanggupan untuk peka terhadap kebutuhan orang lain, kesanggupan untuk turut merasakan perasaan orang lain serta menempatkan diri dalam keadaan orang lain. Peduli atau empati tak berhenti sampai di situ, tapi dilanjutkan dalam tahap menanggapi dan melakukan perbuatan yang diperlukan orang lain.
Mari kita belajar belajar menanamkan rasa empati dan peduli. Kemampuan meraba dan menghayati berbagai perasaan yang berkembang dalam diri seperti sedih, gembira, kecewa, bangga, terharu dan sebagainya. Mengenali perasaan sendiri merupakan bagian dari tuntutan kecerdasan emosi. Orang yang mengenali perasaan diri, biasanya mampu mengendalikan emosinya, sehingga ia tidak melakukan tindakan gegabah saat mendapati kenyataan di luar dirinya yang berbeda dengan keinginannya.

Kemudian sediakan waktu menyendiri untuk berpikir apa yang telah terjadi. Karena biasanya orang sulit mempunyai gambaran jernih terhadap suatu persoalan dalam kondisi emosi yang bermacam-macam. Pasangan suami istri umumnya merasa lebih empati satu sama lain ketika mereka sendirian dan memikirkan pasangan mereka. Rasa bersalah biasanya muncul saat mengemudikan mobil seorang diri ke tempat kerja, di masjid saat tafakkur, menjelang tidur, saat shalat. Dalam waktu-waktu tersebut, seseorang mempunyai waktu untuk memikirkan kembali berbagai masalah yang ia alami. Selanjutnya, memulai yang lebih baik dengan memperbaiki terlebih dulu dirinya, sebelum menuntut orang lain berlaku baik kepadanya.
Di sekitar kita, banyak peristiwa yang bisa menyulut gejolak emosi. Di rumah, seorang suami bisa saja menemui segala macam hal yang berantakan. Seorang istri mendapati suaminya tak banyak memberi nafkah. Di jalanan seorang sopir bisa menemui banyak peristiwa yang memanaskan. Dalam segala kondisi, berupaya mengendalikan emosi merupakan perjuangan berat, tapi itu perlu. Pada akhirnya perjalanan panjang dinamika kehidupan, ibarat aliran sungai akan bermuara pada batas akhir. O

Tidak ada komentar: