Jumat, 05 Desember 2008

BIDUK KEBERSAMAAN

PERTANYAAN yang memerlukan pikiran kita untuk merenung. Kemana biduk kebersamaan ini melaju? Sampai kapan kita harus bersama? Hanya waktu yang akan menentukan sampai dimana batas waktu yang kita tempu.
Kita masih yakin biduk kebersamaan kita terus berjalan. Dia telah menembus belukar, menaiki tebing, membelah laut. Adakah di antara kita yang tersayat atau terluka? Sayatan luka, rasa sakit, air mata adalah bagian dari tabiat jalan yang sedang kita lalui. Dan kita tak pernah berhenti menyusurinya, mengikuti arus waktu yang juga tak pernah berhenti.
Kita tak pernah berhenti karena menderita oleh keadaan seperti itu. Berada dalam biduk kebersamaan ini sungguh tidak mencemaskan, ketika ada di antara kita ada yang terluka dan tersayat. Karena ada juga di antara kita ada yang berbahagia, tertawa, dengan menikmati melajunya keuntungan dari biduk yang sedang kita jalani ini. Mereka bisa menghibur teman-teman yang masih dalam keadaan terluka atau pun tersayat.
Jika kita telah siap menempuh perjalanan panjang seperti ini, kita memerlukan satu bekal, yaitu sikap lapang dada, napas panjang dan mudah memaafkan.
Dengan bekal demikian akan membuat kita berbahagia. Seseorang jika kita tidak lapang dada dan tidak mudah bersabar, kita pasti akan menjadi orang yang paling menderita di dunia ini. Sebab penderitaan terbesar adalah jiwa yang cepat goyah dan bimbang saat menghadapi sesuatu yang sebenarnya remeh.
Penderitaan paling berbahaya adalah ketika tujuan hidup kita yang demikian agung, terbentur oleh keadaan hidup yang sesungguhnya sepele. Persoalan remeh, yang kita lihat secara keliru, kemudian mengakibatkan sempitnya dada, napas tersengal, kesal hati, murung wajah, hati yang bergemuruh duka cita, bahkan air mata dan dendam. Hingga istirahat terganggu, pikiran tidak tentu arah.
Jika itu yang terjadi, takkan ada amal-amal besar yang bisa dilakukan. Lantaran amal-amal besar itu, hanya lahir dari jiwa yang tenang, hati yang lapang, dengan pikiran yang jernih.
Apa rahasia lapang dada? Salah satunya adalah karena wawasan ilmu. Orang yang sempit wawasan adalah orang yang takut dengan perkara-perkara kecil, sangat takut dengan peristiwa yang remeh dan mudah marah dengan kata-kata yang tidak berkenan di hatinya. Seseorang bahkan bisa sampai terbakar puncak kemarahannya disebabkan peristiwa yang sebenarnya bisa dilewati dengan memejamkan mata. Bahkan bisa dilewati dengan senyum bila dibarengi dengan sedikit berpikir lapang dada.
Jika menghadapi dunia dengan jiwa lapang, akan memperoleh banyak kegembiraan yang semakin lama semakin bertambah, semakin luas, duka yang makin mengecil dan menyempit. Kita bisa seperti mereka. Jika kita tahu dan sadar, ada sasaran besar dan tujuan maha agung yang akan kita capai bersama di ujung jalan ini.
Karena tidak semua masalah diselesaikan dengan emosional dan marah-marah. Peristiwa kecil, mengapa harus dengan marah-marah. Karena masalah itu ternyata dapat diselesaikan dengan tidak marah-marah. Tidak satu pun yang bisa melarang orang untuk marah-marah. Marah sebagai ungkapan emosi, sah-sah saja. Tapi marah yang dilakukan dalam rangka memperbaiki yang salah dan bertujuan untuk menambah nilai spiritual baginya. Marah karena nafsu duniawi justru akan merugikan bagi seseorang. Justru kita sangat khawatir kemarahan yang memang tidak perlu akan mengancam keutuhan biduk kebersamaan. Mari kita melaju dalam biduk kebersamaan untuk mencapai satu tujuan akhir. O

Tidak ada komentar: