Rabu, 24 Juli 2013

Carmuk CARI MUKA, inilah tabiat yang cenderung negatif. Sikap yang mengandalkan kemampuan menjilat pimpinan dan terkadang memfitnah kawan atau lawan. Betapa jeleknya sifat cari muka ini. Tidak mau ngomong yang sebenarnya di depan pimpinan. Justru saat depan pimpinan atau bos ngomong yang menyenangkan dan selalu bicara bisa melakukannya, walaupun itu sudah jelas melanggar aturan. Ini juga yang kadang-kadang membahayakan pimpinan itu sendiri. Cari muka cenderung selain punya sifat suka memfitnah orang lain juga akan mengorbankan pihak lain, terkadang juga bisa mengakibatkan merugi bagi bos atau pimpinan itu sendiri. Biasanya orang cari muka untuk mendapatkan sesuatu, bisa jadi berupa untuk mempertahan kan jabatan yang ia emban atau bisa juga untuk mendapatkan imbalan entah itu berupa reward atau pun minta mau dikatakan bahwa dialah yang benar-benar bekerja untuk bosnya. Lebih fatal lagi, sang bos cenderung percaya dan senang dengan tertawa terbahak-bahak dengan laporan asal bapak senang (ABS) ini. Sang bos juga langsung percaya dengan apa yang dilaporkan dan langsung menghakimi orang yang difitnah itu. Inilah bahaya yang bia merasuk siapa saja yang sering dianggap bos dan pimpinan. Bahayanya lagi yang difitnah menjadi korban dan tidak ada sama sekali untuk membela diri. Motivasi mereka-mereka yang selalu cari muka cenderung ke arah yang negatif. Bisa jadi karena faktor mencari materi atau duniawi semata-mata/ Biasanya karena harta dan jabatan (kedudukan). Keduanya sering disebut-sebut sebagai dua sekawan yang tak terpisahkan. Harta bisa mengantarkan seseorang kepada posisi atau jabatan tertentu. Bahkan hari ini posisi yang seharusnya diisi secara alami oleh orang-orang berkompeten pun bisa dibeli dengan harta. Posisi atau jabatan pun bisa membuat orang mampu mengeruk harta sebanyak-banyaknya. Tanpa ada rasa puas. Tidak ada rasa malu. Apalagi secuil peduli, perhatian dan keberpihakan terhadap masyarakat. Banyak contoh dalam kasus pemberian suap, kasus korupsi seperti yang ditangani KPK saat ini. Sebuah konsekuesnsi kerusakan, saat seseorang meraih jabatan dengan menggunakan hartanya. Seperti halnya dalam kaidah jual-beli karena dia telah mengeluarkan sekian banyak rupiahnya, maka ia pun harus mendapatkan lebih banyak saat telah menjabat. Jika orang yang seperti itu diberi gelar khusus maka ada yang lebih dari itu. Yaitu orang yang mendapatkan posisi karena jerih payah orang lain dan tidak ada dari hartanya yang dikeluarkan kemudian daya rusaknya sama dengan mereka yang mengeluarkan hartanya guna merengkuh suatu jabatan. Entah gelar apa yang tepat untuk orang yang seperti ini. Oleh karena itu jabatan tidak jauh lepas dari uang. Dengan harta dan uang mereka cenderung membeli jabatan, dan dengan jabatan mereka dapat mengeruk harta. Mereka yang punya sifat seperti ini mungkin namanya lebih dari serigala. Karena sifat serigala hanya merusak sekawanan kambing, sebaliknya manusia bisa menghancurkan sistem sebuah negara dan menyebabkan kemiskinan terstruktur. Setelah itu semua, agama pun bisa dirusak oleh kerakusan terhadap harta dan jabatan. Karena bahkan agama pun bisa dimangsanya dengan cara dijual ayatnya, ditunggangi nama besarnya, ditumbalkan, diabaikan. yang penting harta dan jabatan didapatnya. Maka dia telah berubah menjadi manusia serigala yang sangat rakus dan berbahaya. Mereka yang cari muka untuk menggapai harta dan kekuasaan memang cenderung tidak lagi memegang etika. Kita tahu memang banyak yang jatuh akibat harta dan jabatan. Karena keduanya sesuatu yang sangat menggiurkan bagi manusia. Sebab di situlah terdapat kemasyhuran, ketenaran, kehormatan, dan kemapanan sosial ekonomi. Sebab tidak jaraang ambisi seseorang terhadap harta dan kekuasaan akab menutupi akal sehatnya. Bahkan bisa meredupkan keimanannya. Pada saat ini kita justru kesulitan memilih pemimpin yang memang benar-benar mampu dan memiliki integritas. Kecenderungan mereka yang akan mendapatkan kekuasaan tidak memiliki intergritas apalagi mau jujur. Kekuasaan selalu didapatkan dengan memfitnah pihak lain. Ketika amanah itu tidak berlabuh kepada dirinya, justru akan menyalahkan pihak lain dan menganggap dirinyalah yang benar dan dia juga mengaku dicurangi. Sungguh manusia tidak menyadari jika ada kelemahan. Ketidaksadaran ini juga menimbulkan sikap nganar dan tidak punya visi sebagai pemimpin yang seharusnya memperjuangkan dan menegakkan kebenaran. Pada dasarnya permasalahan bukanlah pada jabatan atau kepemimpinan itu sendiri, akan tetapi pada cara untuk mendapatkannya. Sah saja jika seseorang ada keinginan dan meyakini mampu menduduki jabatan dan memimpin. Tapi tentu saja cara mendapatkannya haruslah dengan cara yang benar. O

Tidak ada komentar: