Rabu, 05 Maret 2008

PEMANDU SORAK

Pemandu Sorak

Firdaus Komar


SEBELUM pertandingan bola basket dimulai, panitia telah menyiapkan suguhan acara yaitu penampilan pemandu sorak. Satu tim pemandu sorak biasanya terdiri dari 5-10 orang. Menariknya lagi pemandu sorak terdiri dari cewek-cewek kece, dengan busana rame. Pastinya penampilan mereka melengkapi suatu even dan menjadi daya tarik para penonton.
Biasanya juga panitia pelaksana kejuaraan basket selain menggelar pertandingan basket juga lomba pemandu sorak. Cukup sering kan kita menyaksikan penampilan para pemandu sorak.
Pemandu sorak ini menampilkan teknik Cheerleading meliputi motion, partner stunts, pyramids, tumblings, jumps. Satu hal yang ditampilkan para pemandu sorak ini yaitu teriakan. Betapa mereka mengajak penonton untuk bersorak dengan lengkingan teriakan. Ibarat suatu kepuasan, mereka akan puas dengan penampilan mereka yang berteriak dan menunjukkan konfigurasi kekompakan.
Layaknya pemandu sorak kadang-kadang tanpa sadar kita ikut berteriak di depan pesawat TV. Lihat saja ketika kita menonton bintang sepakbola sedang berlaga di lapangan hijau. Atau pun ketika kita nonton aksi Valentino Rossi saat melakukan manuver di tikungan dan akhirnya meraih juara balap motor. Kemudian muncul rasa puas sendiri. Dengan bangganya kita akan bercerita kepada orang lain tentang kehebatan Rossi di arena balap, atau cerita soal kehebatan Kaka mengocek bola kemudian menciptakan gol.
Sama halnya yang dirasakan warga Sumsel baru-baru ini, mereka bagaikan terhipnoptis atas penampilan klub Sriwijaya FC. Sebut saja bintang para pemain asing di antaranya Zah Rahan, Kayamba, Obiora cukup dikenal oleh masyarakat Sumsel. Ketiga pemain asing inilah yang menciptakan gol ketika melawan PSMS Medan pada laga final Liga Indonesia 2007.
Untuk bersorak melihat bintang di TV ini kita rela meninggalkan tugas yang telah menjadi kewajiban kita yang lain. Siapakah Zah Rahan, Kayamba, Obiora, Lenglolo, Renato yang menjadi pilar SFC ini. Siapakah Rossi ini sehingga kehadirannya sanggup mengganggu jadwal kerja kita? Toh jika pemain sepakbola ini memenangkan klub SFC, kita tak kebagian hadiahnya. Begitu pun jika Rossi menang balapan, kita tak kebagian medali dan hadiahnya. Jika mereka juara, kita juga tak ikut menjadi berprestasi karenanya. Apapun yang dia kerjakan mestinya tak dipedulikan karena mereka juga tak mengenal kita. Pertanyaannya, kenapa orang yang sama sekali asing ini sanggup menghentikan kegiatan kita.
Mestinya kita lebih berkonsentrasi pada prestasi diri sendiri katimbang prestasi mereka. Saya pikir, betapa banyak dari kita ini lebih suka berkonsentrasi pada prestasi orang lain. Orang lain yang balapan, main sepakbola kita yang teriak-teriak di pinggir jalan dalam acara nonton bareng. Padahal asal tahu saja, orang asing yang bekerja sebagai pemain sepakbola di Tanah Air kita telah menghabiskan uang rakyat, uang APBD. Duh kasihan rakyat kita, lagi susah, mau beli sembako saja sulit. Semuanya menjerit dan mencekik.
Tapi ini wajah rakyat kita, orang lain yang lomba nyanyi, kita yang menghabiskan pulsa untuk kirim SMS. Sudah harus rugi waktu, rugi tenaga, rugi biaya pula. Sudah rugi demikian rupa, jika orang lain itu kalah, kita masih harus ikut berduka. Jika dia menang, kita ikut gembira seolah-olah ikut kebagian hadiahnya. Padahal tidak. Ia sama sekali tidak mengerti kita, kenal pun tidak. Susah payah kita mendukungnya hingga ke puncak juara, sementara prestasi kita sendiri tetap seperti sedia kala. Sementara orang lain menjadi juara, kita tetap di sini, cukup sebagai pemandu sorak saja.
Sudah puaskah kita? Tentu saja yang perlu kita ingat dalam menjadi pemandu sorak. Jangan hanya puas pada satu titik muara saja. Saatnya pun kita membangun kesadaran bersama, bahwa dari posisi kita sebagai pemandu sorak agar dapat mengambil inspirasi dari penyitaan waktu yang kita korbankan untuk mendukung prestasi orang lain.
Kita boleh bangga dengan prestasi bintang kita, tapi saat itu pula kita juga harus menata diri menggapai meningkatkan kualitas diri demi mencapai prestasi. Omong kosong orang akan meraih prestasi tanpa mimpi dan obsesi. Lihat saja seorang bintang tenis lapangan Martina Navratilova telah memberikan inspirasi kepada orangtua dari Martina Hingis. Orangtua Hingis ingin anaknya menjadi bintang seperti Martina Navratilova. Akhirnya anaknya diberi nama Martina. Mimpi dan obsesi orangtua Hingis menjadi kenyataan. Semoga kita begitu. O

Tidak ada komentar: