Memaafkan
MEMAAFKAN kepada orang yang mengaku kesalahannya adalah perbuatan yang mulia. Rasanya tidak mungkin, jika seseorang menyampaikan mohon maaf dan kita tidak memaafkannya. Karena itu maaf bukan hanya urusan satu orang yang berkepentingan. Tapi maaf adalah bentuk interaksi sesama manusia.
Maaf, satu kata yang memiliki makna sangat dalam. Mengacu pada kamus besar bahasa Indonesia maaf diartikan sebagai :
-pembebasan seseorang dari hukuman (tuntutan, denda,dsb) karena suatu kesalahan,
- ungkapan permintaan ampun atau suatu penyesalan
- ungkapan permintaan izin untuk melakukan sesuatu.
Pada umumnya kata maaf diungkapkan sebagai permintaan apabila seseorang melakukan suatu kesalahan, bisa juga diartikan suatu bentuk penyesalan.
Begitu dalamnya arti kata maaf maka sejak kecil, di rumah sudah mengenalkan dan mempopulerkan kata maaf ini.
Maaf itu bukan sekadar kata-kata yang berhenti di mulut. Maaf memiliki tanggung jawab berat, mencakup penyesalan yang dalam dan tulus atas kesalahan yang diperbuat. Memahami dan mengerti permasalahan yang sedang dihadapi akibat kesalahannya. Menerima risiko dari kesalahan yang diperbuat. Satu yang terberat adalah memiliki itikad baik untuk memperbaiki keadaan yang buruk menjadi lebih baik dan tidak akan mengulang kesalahan yang sama.
Bagi yang minta maaf, tentu harus dilandasi dengan keihlasan kesadaran akan kekhilafan yang diperbuat selama ini. Seseorang mengatakan untuk minta maaf lebih gampang, tapi kesadaran untuk mengubah atau memperbaiki kesalahan yang telah diperbuat mengalami kesulitan. Kesadaran untuk memperbaiki itu adalah komitmen yang memang muncul dari dalam diri seseorang. Bagi yang memberi maaf juga harus dilandasi ikhlas. Sering orang telah memberikan maaf, tapi masih saja mempersoalkan kesalahan orang lain. Padahal dengan pernyataan maaf maka proses berikutnya clear dan tidak ada lagi masalah dengan orang itu.
Kini persoalan maaf jadi pembicaraan hangat. Hal ini menyangkut kasus almarhum Soeharto. Permintaan maaf dari keluarga Soeharto disampaikan saat konferensi pers di RSPP, sesaat setelah Pak Harto dinyatakan wafat.
Rakyat bisa saja telah memaafkan Pak Harto. Buktinya, penghargaan dan penghormatan terhadap mantan Presiden ke-2 terlihat dari refleksi liputan di media massa. Betapa media memberikan porsi yang besar dan pemerintah pun seolah-olah telah melupakan posisi Pak Harto seseorang yang masih bermasalah dalam proses hukum.
Mantan Presiden Soeharto telah dimakamkan di Astana Giribangun. Maaf telah diberikan oleh rakyat Indonesia. Tapi itu tidak menghalangi permintaan mengusut dugaan korupsi penguasa Orde Baru tersebut.
Mungkin kita pernah bosan memaafkan orang lain, terutama dari orang yang sama dengan kesalahan yang sama pula. Tentu saja bikin kita kesal.
Permintaan maaf mempunyai arti bahwa kita menyesali kesalahan yang kita perbuat yang melukai hati orang lain dan kita berjanji (berkomitmen) pada diri kita untuk tidak mengulanginya meskipun dalam cara maupun bentuk lain. Yang perlu diingat, kita jangan mengobral kata maaf atau menggampangkan, misalnya kita berkali-kali berbuat salah lalu kita dengan entengnya berkali-kali minta maaf tanpa upaya untuk memperbaiki diri. Jadi, kita pun harus berusaha supaya permintaan maaf kita itu dipercaya orang lain bukan kata-kata obralan yang hanya diucapkan sebatas bibir saja.
Lalu bagaimana kalau kita dihadapkan pada persoalan yang berat misalnya penghianatan, kebohongan, perselingkuhan, atau pembunuhan, kasus korupsi. Apa akan begitu mudah kita mengucapkan kata maaf dan memberi maaf. Kata memaafkan tetap dilakukan, tapi proses hukum tetap dijalankan.
Kembali lagi urusan maaf memaafkan ini gampang-gampang susah ya, balik juga ke pemahaman masing-masing memaknai esensi kata maaf itu sendiri. Tapi, kalau pun ingin hidup tenang, aman dan damai mendingan jadi orang yang pemaaf. Seorang pemaaf yang tulus, tanpa pamrih tidak peduli orang yang meminta maaf seperti apa, kalau Allah Maha Pengampun kenapa kita sebagai makhluknya yang lemah dan tidak sempurna menyombongkan diri dengan simpan rasa dendam.
Andaikan kita telah memaafkan Pak Harto, kita berharap nanti tidak akan muncul Pak Harto-pak Harto berikutnya yang membuat kesalahan yang sama dan cukup selesai dengan minta maaf. Tentu kita tidak mau hal itu terjadi. Inilah kesempatan kita ingin mewariskan sejarah yang benar. Demi keturunan anak cucu kita kelak. Kita sampaikan maaf kepada almarhum Pak Harto, dan kita berharap katakanlah dan luruskan sejarah bangsa. Proses hukum tetap dilakukan. O
Rabu, 05 Maret 2008
PROFESIKU
Profesiku
SAYA yakin pasti ingat dengan kata-kata kuli tinta. Tentu saja maksudnya ingin menggambarkan sebuah profesi wartawan. Kata kuli tinta sangat akrab di telinga kita. Namun demikian kuli tinta hanya sebuah istilah untuk mengatakan ia adalah seorang wartawan. Kata kuli tinta sedikit kontradiktif, satu sisi kita ingin mengatakan wartawan sebuah profesi yang mulia tapi sisi lain ia disebut dengan kuli tinta. Apakah demikian adanya tuntutan profesi wartawan. Ya tahu sendiri kan kuli adalah pekerja kasar alias buruh. Memang patut kita mempertanyakan di balik profesi mulia sebagai wartawan yang menyampaikan kabar kebenaran, apakah kita ini tidak lebih dari seorang buruh di bawah belenggu para pemilik modal. Sering terlontar dari teman-teman wartawan sebagai buruh pers, buruh media. Kita menyadari perkembangan dunia kewartawanan seiring dengan perkembangan pers secara keseluruhan yang juga diikuti perkembangan teknologi yang menyertainya. Profesi wartawan, sungguh tugas yang menarik dan menantang. Sungguh banyak dinamika pengalaman liputan bagi wartawan yang sangat berat bagi ia untuk meninggalkan profesi wartawan.
Mungkin juga sudah tidak tepat jika dikatakan kuli tinta, karena saat ini wartawan bertugas telah mengandalkan kemajuan teknologi. Cukup dengan satu ponsel, wartawan telah bisa merekam, mengetik berita, sampai pada mengirim berita ke kantor redaksi. Cukup dengan satu ponsel yang telah dilengkapi fiturnya bisa mendukung pekerjaan wartawan.
Kembali lagi kita mengingatkan berkaitan dengan peringatan hari pers nasional pada 9 Februari 2008, secanggih apa pun perkembangan teknologi media dan kemajuan masyarakat pembaca. Bahwa tugas pokok wartawan tetap pada koridor idealisme dan integritas seorang insan pers.
Secara prinsipiil-filosofis, yang dimaksud dengan wartawan (kuli tinta, kuli disket, jurnalis, dsb.) merupakan profesi seseorang yang menuntut keandalan untuk bersikap, berinstingtif dan berdaya intelektual prima dalam menghasilkan berita, informasi (aktual dan obyektif).
Prosedur kerja sosok wartawan, miriplah pekerjaan sang detektif. Mereka dituntut secara profesional untuk selalu mengawal dinamika perkembangan politik, ekonomi, sosial, budaya dan hankam. Mereka jua yang menyaksikan sendiri secara langsung setiap peristiwa penting yang sarat bernilai berita untuk ditulis sendiri dan atau dikerjakan oleh orang lain di meja redaksi.
Selain mengandalkan kevalidan data -yang meliputi formula paten berita 5W+H (What, Who, Where, When, Why+How)- kadar “tinggi-rendahnya” nilai berita tergantung faktor antara lain: aktualitas, kedekatan (berhubungan dengan jarak), penting (terkait sosok orang yang diberitakan, ingat dengan names make news), keluarbiasaan, akibat, insiden musibah, konflik, human interest, crime dan sebagainya.
Secara konkrit, sampai saat ini masih ada tiga media massa yang mendominasi persebaran informasi publik. Tiga media massa itu meliputi media massa cetak dan elektronik. Lebih spesifik lagi, yaitu media massa berupa radio, surat kabar (koran), teve serta internet. Sejatinya, tak ada perbedaan mencolok antara wartawan televisi, kuli tinta koran dan jurnalis radio. Sebab, antara ketiganya (baca; jurnalis teve, radio, koran) memiliki titik singgung (persamaan) yang hampir identik. Yakni sama-sama melakukan kegiatan jurnalistik bernama reportase (kegiatan peliputan berita), maka orangnya disebut reporter, dari medan lapangan.
Yang membedakan ketiganya, hanyalah hasil akhir laporan reportasenya—inipun lebih banyak dipengaruhi oleh produk akhirnya tadi berupa media audio saja (radio), media visual (statis) saja (koran) dan media audio plus visual (teve). Tentu pula, instrumen pembantu yang digunakan untuk melakukan kegiatan reportase bagi tiga jenis makhluk wartawan koran, teve dan radio juga berbeda. Wartawan teve selalu menenteng handicam di tangan, sedangkan “senjata” yang dimiliki reporter radio berupa tape recorder serta jurnalis koran identik dengan kamera digital ataupun analog.
Tapi semua itu bukanlah instrumen mutlak, karena di antara ketiganya bisa saling melengkapi (komplementer). Bila kita membaca surat kabar (koran), kita mempunyai kesempatan untuk mengulangi beberapa kali, sebosan kita. Atau bahkan menangguhkan membacanya hingga sampai beberapa jam kemudian. Tidak demikian halnya dengan berita yang disiarkan radio. Bahasa radio hanya dibacakan sekali saja. Tak diulang-ulangi, layaknya membaca koran atau menonton VCD Player. Kalaupun diulang, pengulangan itu tentulah pada penyampaian berita pada waktu berikutnya, saat pendengar semula sudah meninggalkan tempatnya. Kembali kita mengingatkan kepada insan pers, kembali kepada tugas utama seorang wartawan jangan pernah untuk menyerah dalam mengungkapkan kebenaran sejati. Untuk kemaslahatan umat dan kemajuan bangsa kita. O
SAYA yakin pasti ingat dengan kata-kata kuli tinta. Tentu saja maksudnya ingin menggambarkan sebuah profesi wartawan. Kata kuli tinta sangat akrab di telinga kita. Namun demikian kuli tinta hanya sebuah istilah untuk mengatakan ia adalah seorang wartawan. Kata kuli tinta sedikit kontradiktif, satu sisi kita ingin mengatakan wartawan sebuah profesi yang mulia tapi sisi lain ia disebut dengan kuli tinta. Apakah demikian adanya tuntutan profesi wartawan. Ya tahu sendiri kan kuli adalah pekerja kasar alias buruh. Memang patut kita mempertanyakan di balik profesi mulia sebagai wartawan yang menyampaikan kabar kebenaran, apakah kita ini tidak lebih dari seorang buruh di bawah belenggu para pemilik modal. Sering terlontar dari teman-teman wartawan sebagai buruh pers, buruh media. Kita menyadari perkembangan dunia kewartawanan seiring dengan perkembangan pers secara keseluruhan yang juga diikuti perkembangan teknologi yang menyertainya. Profesi wartawan, sungguh tugas yang menarik dan menantang. Sungguh banyak dinamika pengalaman liputan bagi wartawan yang sangat berat bagi ia untuk meninggalkan profesi wartawan.
Mungkin juga sudah tidak tepat jika dikatakan kuli tinta, karena saat ini wartawan bertugas telah mengandalkan kemajuan teknologi. Cukup dengan satu ponsel, wartawan telah bisa merekam, mengetik berita, sampai pada mengirim berita ke kantor redaksi. Cukup dengan satu ponsel yang telah dilengkapi fiturnya bisa mendukung pekerjaan wartawan.
Kembali lagi kita mengingatkan berkaitan dengan peringatan hari pers nasional pada 9 Februari 2008, secanggih apa pun perkembangan teknologi media dan kemajuan masyarakat pembaca. Bahwa tugas pokok wartawan tetap pada koridor idealisme dan integritas seorang insan pers.
Secara prinsipiil-filosofis, yang dimaksud dengan wartawan (kuli tinta, kuli disket, jurnalis, dsb.) merupakan profesi seseorang yang menuntut keandalan untuk bersikap, berinstingtif dan berdaya intelektual prima dalam menghasilkan berita, informasi (aktual dan obyektif).
Prosedur kerja sosok wartawan, miriplah pekerjaan sang detektif. Mereka dituntut secara profesional untuk selalu mengawal dinamika perkembangan politik, ekonomi, sosial, budaya dan hankam. Mereka jua yang menyaksikan sendiri secara langsung setiap peristiwa penting yang sarat bernilai berita untuk ditulis sendiri dan atau dikerjakan oleh orang lain di meja redaksi.
Selain mengandalkan kevalidan data -yang meliputi formula paten berita 5W+H (What, Who, Where, When, Why+How)- kadar “tinggi-rendahnya” nilai berita tergantung faktor antara lain: aktualitas, kedekatan (berhubungan dengan jarak), penting (terkait sosok orang yang diberitakan, ingat dengan names make news), keluarbiasaan, akibat, insiden musibah, konflik, human interest, crime dan sebagainya.
Secara konkrit, sampai saat ini masih ada tiga media massa yang mendominasi persebaran informasi publik. Tiga media massa itu meliputi media massa cetak dan elektronik. Lebih spesifik lagi, yaitu media massa berupa radio, surat kabar (koran), teve serta internet. Sejatinya, tak ada perbedaan mencolok antara wartawan televisi, kuli tinta koran dan jurnalis radio. Sebab, antara ketiganya (baca; jurnalis teve, radio, koran) memiliki titik singgung (persamaan) yang hampir identik. Yakni sama-sama melakukan kegiatan jurnalistik bernama reportase (kegiatan peliputan berita), maka orangnya disebut reporter, dari medan lapangan.
Yang membedakan ketiganya, hanyalah hasil akhir laporan reportasenya—inipun lebih banyak dipengaruhi oleh produk akhirnya tadi berupa media audio saja (radio), media visual (statis) saja (koran) dan media audio plus visual (teve). Tentu pula, instrumen pembantu yang digunakan untuk melakukan kegiatan reportase bagi tiga jenis makhluk wartawan koran, teve dan radio juga berbeda. Wartawan teve selalu menenteng handicam di tangan, sedangkan “senjata” yang dimiliki reporter radio berupa tape recorder serta jurnalis koran identik dengan kamera digital ataupun analog.
Tapi semua itu bukanlah instrumen mutlak, karena di antara ketiganya bisa saling melengkapi (komplementer). Bila kita membaca surat kabar (koran), kita mempunyai kesempatan untuk mengulangi beberapa kali, sebosan kita. Atau bahkan menangguhkan membacanya hingga sampai beberapa jam kemudian. Tidak demikian halnya dengan berita yang disiarkan radio. Bahasa radio hanya dibacakan sekali saja. Tak diulang-ulangi, layaknya membaca koran atau menonton VCD Player. Kalaupun diulang, pengulangan itu tentulah pada penyampaian berita pada waktu berikutnya, saat pendengar semula sudah meninggalkan tempatnya. Kembali kita mengingatkan kepada insan pers, kembali kepada tugas utama seorang wartawan jangan pernah untuk menyerah dalam mengungkapkan kebenaran sejati. Untuk kemaslahatan umat dan kemajuan bangsa kita. O
PEMANDU SORAK
Pemandu Sorak
Firdaus Komar
SEBELUM pertandingan bola basket dimulai, panitia telah menyiapkan suguhan acara yaitu penampilan pemandu sorak. Satu tim pemandu sorak biasanya terdiri dari 5-10 orang. Menariknya lagi pemandu sorak terdiri dari cewek-cewek kece, dengan busana rame. Pastinya penampilan mereka melengkapi suatu even dan menjadi daya tarik para penonton.
Biasanya juga panitia pelaksana kejuaraan basket selain menggelar pertandingan basket juga lomba pemandu sorak. Cukup sering kan kita menyaksikan penampilan para pemandu sorak.
Pemandu sorak ini menampilkan teknik Cheerleading meliputi motion, partner stunts, pyramids, tumblings, jumps. Satu hal yang ditampilkan para pemandu sorak ini yaitu teriakan. Betapa mereka mengajak penonton untuk bersorak dengan lengkingan teriakan. Ibarat suatu kepuasan, mereka akan puas dengan penampilan mereka yang berteriak dan menunjukkan konfigurasi kekompakan.
Layaknya pemandu sorak kadang-kadang tanpa sadar kita ikut berteriak di depan pesawat TV. Lihat saja ketika kita menonton bintang sepakbola sedang berlaga di lapangan hijau. Atau pun ketika kita nonton aksi Valentino Rossi saat melakukan manuver di tikungan dan akhirnya meraih juara balap motor. Kemudian muncul rasa puas sendiri. Dengan bangganya kita akan bercerita kepada orang lain tentang kehebatan Rossi di arena balap, atau cerita soal kehebatan Kaka mengocek bola kemudian menciptakan gol.
Sama halnya yang dirasakan warga Sumsel baru-baru ini, mereka bagaikan terhipnoptis atas penampilan klub Sriwijaya FC. Sebut saja bintang para pemain asing di antaranya Zah Rahan, Kayamba, Obiora cukup dikenal oleh masyarakat Sumsel. Ketiga pemain asing inilah yang menciptakan gol ketika melawan PSMS Medan pada laga final Liga Indonesia 2007.
Untuk bersorak melihat bintang di TV ini kita rela meninggalkan tugas yang telah menjadi kewajiban kita yang lain. Siapakah Zah Rahan, Kayamba, Obiora, Lenglolo, Renato yang menjadi pilar SFC ini. Siapakah Rossi ini sehingga kehadirannya sanggup mengganggu jadwal kerja kita? Toh jika pemain sepakbola ini memenangkan klub SFC, kita tak kebagian hadiahnya. Begitu pun jika Rossi menang balapan, kita tak kebagian medali dan hadiahnya. Jika mereka juara, kita juga tak ikut menjadi berprestasi karenanya. Apapun yang dia kerjakan mestinya tak dipedulikan karena mereka juga tak mengenal kita. Pertanyaannya, kenapa orang yang sama sekali asing ini sanggup menghentikan kegiatan kita.
Mestinya kita lebih berkonsentrasi pada prestasi diri sendiri katimbang prestasi mereka. Saya pikir, betapa banyak dari kita ini lebih suka berkonsentrasi pada prestasi orang lain. Orang lain yang balapan, main sepakbola kita yang teriak-teriak di pinggir jalan dalam acara nonton bareng. Padahal asal tahu saja, orang asing yang bekerja sebagai pemain sepakbola di Tanah Air kita telah menghabiskan uang rakyat, uang APBD. Duh kasihan rakyat kita, lagi susah, mau beli sembako saja sulit. Semuanya menjerit dan mencekik.
Tapi ini wajah rakyat kita, orang lain yang lomba nyanyi, kita yang menghabiskan pulsa untuk kirim SMS. Sudah harus rugi waktu, rugi tenaga, rugi biaya pula. Sudah rugi demikian rupa, jika orang lain itu kalah, kita masih harus ikut berduka. Jika dia menang, kita ikut gembira seolah-olah ikut kebagian hadiahnya. Padahal tidak. Ia sama sekali tidak mengerti kita, kenal pun tidak. Susah payah kita mendukungnya hingga ke puncak juara, sementara prestasi kita sendiri tetap seperti sedia kala. Sementara orang lain menjadi juara, kita tetap di sini, cukup sebagai pemandu sorak saja.
Sudah puaskah kita? Tentu saja yang perlu kita ingat dalam menjadi pemandu sorak. Jangan hanya puas pada satu titik muara saja. Saatnya pun kita membangun kesadaran bersama, bahwa dari posisi kita sebagai pemandu sorak agar dapat mengambil inspirasi dari penyitaan waktu yang kita korbankan untuk mendukung prestasi orang lain.
Kita boleh bangga dengan prestasi bintang kita, tapi saat itu pula kita juga harus menata diri menggapai meningkatkan kualitas diri demi mencapai prestasi. Omong kosong orang akan meraih prestasi tanpa mimpi dan obsesi. Lihat saja seorang bintang tenis lapangan Martina Navratilova telah memberikan inspirasi kepada orangtua dari Martina Hingis. Orangtua Hingis ingin anaknya menjadi bintang seperti Martina Navratilova. Akhirnya anaknya diberi nama Martina. Mimpi dan obsesi orangtua Hingis menjadi kenyataan. Semoga kita begitu. O
Firdaus Komar
SEBELUM pertandingan bola basket dimulai, panitia telah menyiapkan suguhan acara yaitu penampilan pemandu sorak. Satu tim pemandu sorak biasanya terdiri dari 5-10 orang. Menariknya lagi pemandu sorak terdiri dari cewek-cewek kece, dengan busana rame. Pastinya penampilan mereka melengkapi suatu even dan menjadi daya tarik para penonton.
Biasanya juga panitia pelaksana kejuaraan basket selain menggelar pertandingan basket juga lomba pemandu sorak. Cukup sering kan kita menyaksikan penampilan para pemandu sorak.
Pemandu sorak ini menampilkan teknik Cheerleading meliputi motion, partner stunts, pyramids, tumblings, jumps. Satu hal yang ditampilkan para pemandu sorak ini yaitu teriakan. Betapa mereka mengajak penonton untuk bersorak dengan lengkingan teriakan. Ibarat suatu kepuasan, mereka akan puas dengan penampilan mereka yang berteriak dan menunjukkan konfigurasi kekompakan.
Layaknya pemandu sorak kadang-kadang tanpa sadar kita ikut berteriak di depan pesawat TV. Lihat saja ketika kita menonton bintang sepakbola sedang berlaga di lapangan hijau. Atau pun ketika kita nonton aksi Valentino Rossi saat melakukan manuver di tikungan dan akhirnya meraih juara balap motor. Kemudian muncul rasa puas sendiri. Dengan bangganya kita akan bercerita kepada orang lain tentang kehebatan Rossi di arena balap, atau cerita soal kehebatan Kaka mengocek bola kemudian menciptakan gol.
Sama halnya yang dirasakan warga Sumsel baru-baru ini, mereka bagaikan terhipnoptis atas penampilan klub Sriwijaya FC. Sebut saja bintang para pemain asing di antaranya Zah Rahan, Kayamba, Obiora cukup dikenal oleh masyarakat Sumsel. Ketiga pemain asing inilah yang menciptakan gol ketika melawan PSMS Medan pada laga final Liga Indonesia 2007.
Untuk bersorak melihat bintang di TV ini kita rela meninggalkan tugas yang telah menjadi kewajiban kita yang lain. Siapakah Zah Rahan, Kayamba, Obiora, Lenglolo, Renato yang menjadi pilar SFC ini. Siapakah Rossi ini sehingga kehadirannya sanggup mengganggu jadwal kerja kita? Toh jika pemain sepakbola ini memenangkan klub SFC, kita tak kebagian hadiahnya. Begitu pun jika Rossi menang balapan, kita tak kebagian medali dan hadiahnya. Jika mereka juara, kita juga tak ikut menjadi berprestasi karenanya. Apapun yang dia kerjakan mestinya tak dipedulikan karena mereka juga tak mengenal kita. Pertanyaannya, kenapa orang yang sama sekali asing ini sanggup menghentikan kegiatan kita.
Mestinya kita lebih berkonsentrasi pada prestasi diri sendiri katimbang prestasi mereka. Saya pikir, betapa banyak dari kita ini lebih suka berkonsentrasi pada prestasi orang lain. Orang lain yang balapan, main sepakbola kita yang teriak-teriak di pinggir jalan dalam acara nonton bareng. Padahal asal tahu saja, orang asing yang bekerja sebagai pemain sepakbola di Tanah Air kita telah menghabiskan uang rakyat, uang APBD. Duh kasihan rakyat kita, lagi susah, mau beli sembako saja sulit. Semuanya menjerit dan mencekik.
Tapi ini wajah rakyat kita, orang lain yang lomba nyanyi, kita yang menghabiskan pulsa untuk kirim SMS. Sudah harus rugi waktu, rugi tenaga, rugi biaya pula. Sudah rugi demikian rupa, jika orang lain itu kalah, kita masih harus ikut berduka. Jika dia menang, kita ikut gembira seolah-olah ikut kebagian hadiahnya. Padahal tidak. Ia sama sekali tidak mengerti kita, kenal pun tidak. Susah payah kita mendukungnya hingga ke puncak juara, sementara prestasi kita sendiri tetap seperti sedia kala. Sementara orang lain menjadi juara, kita tetap di sini, cukup sebagai pemandu sorak saja.
Sudah puaskah kita? Tentu saja yang perlu kita ingat dalam menjadi pemandu sorak. Jangan hanya puas pada satu titik muara saja. Saatnya pun kita membangun kesadaran bersama, bahwa dari posisi kita sebagai pemandu sorak agar dapat mengambil inspirasi dari penyitaan waktu yang kita korbankan untuk mendukung prestasi orang lain.
Kita boleh bangga dengan prestasi bintang kita, tapi saat itu pula kita juga harus menata diri menggapai meningkatkan kualitas diri demi mencapai prestasi. Omong kosong orang akan meraih prestasi tanpa mimpi dan obsesi. Lihat saja seorang bintang tenis lapangan Martina Navratilova telah memberikan inspirasi kepada orangtua dari Martina Hingis. Orangtua Hingis ingin anaknya menjadi bintang seperti Martina Navratilova. Akhirnya anaknya diberi nama Martina. Mimpi dan obsesi orangtua Hingis menjadi kenyataan. Semoga kita begitu. O
WARNA
Warna
BAYANGKAN jika di dunia ini tanpa ada warna, semuanya akan statis dan membosankan. Tidak ada dinamika dan tidak ada perbedaan. Mungkin juga jika tidak ada warna, maka tidak ada kehidupan. Tapi, rasanya tidak mungkin demikian. Denyut kehidupan sejatinya adalah dinamika warna.
Oleh karena itu, anak-anak sejak usia dini telah diajarkan untuk mengenal aneka warna. Walaupun ia belum mengerti makna sebuah warna, namun demikian anak-anak hafal nama warna.
Begitu penting sebuah warna. Warna bukan hanya simbol, warna bukan hanya corak rupa seperti merah, putih, hijau, kuning. Tapi warna telah memberikan napas dan roh kehidupan. Yakinlah, warna juga telah membuat seseorang semangat, penuh dengan spirit dan optimis dalam menyikapi suatu perubahan. Namun demikian, sehebat apa pun kekuatan warna, tak akan berarti apa-apa. Jika tidak ada kekuasaan Tuhan yang telah memberikan umatnya kemampuan melihat dan menikmati warna-warni kehidupan. Kemampuan indera mata telah memberikan arti bagi soseorang dalam menentukan pilihan hidupnya untuk menikmati warna yang ia sukai.
Apalagi menjelang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) di sejumlah daerah di Sumsel, sejumlah bakal calon kandidat telah menggunakan simbol warna. Bahkan ada kandidat Cagub telah mengklaim warna ungu menjadi warna pilihan dalam kampanye nanti. Ada juga calon yang telah mengibarkan Tim Oranye. Mungkin nanti ada warna merah, kuning, hijau, atau berbagai warna yang menurut mereka memiliki arti dan keberuntungan.
Tinggal lagi pilihannya diserahkan kepada rakyat Sumsel. Tidak perlu terjebak dalam simbol warna. Tapi mulai saat ini perlu dipelajari dan dalami apa yang menjadi program dari bakal calon kandidat. Masalahnya kini massa dan rakyat keseluruhan hanya dijejali dan dipamerkan slogan-slogan program yang notabene kita tidak tahu kebenarannya. Saatnya rakyat sebagai pemilih untuk tidak terpengaruh dengan berbagai slogan-slogan. Apalagi slogan-slogan itu muncul dari para pengekor.
Oleh karena itu, mulai sekarang perlu membuka dialog dengan semua bakal calon kandidat. Para pemilih perlu membikin jaringan pemilih cerdas, untuk membedah program para kandidat. Sehingga pada akhirnya akan tahu, mana program yang hanya slogan dari pengekor dan mana program yang telah terbukti dari sang pelopor. Bukti nyata inilah yang menjadi contoh bagi pemilih ketika harus memilih. Karena cukup sudah, rakyat kita yang dibodohi, sedangkan rakyat makin sulit. Sulit untuk membeli sembako, sulit untuk mendapatkan akses pelayanan umum. Ibarat rakyat ini adalah komposisi warna, yang ada hanya warna hitam yang luntur. Masa depan yang akan dihadapi dalam keadaan hitam dan gelap.
Dalam keadaan gelap gulita, tidak tahu arah kemana mau dibawa. Saatnya pemimpin rakyat muncul untuk menerangi warna kegelapan ini. Tentu saja dengan warna cerah, terang, sejuk dan menyenangkan bagi rakyat. Kemampuan pemimpin baru, pemimpin masa depan Sumsel yang mampu membawa pencerahan bagi rakyat Sumsel. Di balik warna yang cerah yang bakal dibawa oleh bakal calon pemimpin Sumsel, tentu saja bukan warna yang menyilaukan, bukan warna yang menggugupkan dan menakutkan rakyat.
Warna-warna itu semoga membawa rakyat akan lebih baik. Warna yang membawa rakyat tidak lagi terjepit dalam impitan kemiskinan dan kemelaratan. Warna yang membawa rakyat tidak takut lagi untuk menyekolahkan anaknya di sekolah yang berkualitas, warna yang membawa rakyat untuk tidak khawatir jumlah tagihan biaya berobat yang makin mencekik. Rakyat tidak takut lagi menjadi pengangguran atau pun rakyat tidak takut lagi menghadapi hidup ini, karena secara otomatis kualitas rakyat telah terjamin dan begitu pun lowongan kerja telah tersedia.
Jika garansi warna baru yang bakal diusung para calon kandidat dapat memenuhi kebutuhan dan sesuai dengan hak-hak rakyat yang harus dipenuhi, sudah saatnya bagi kita untuk menjatuhkan pilihan kepadanya. Kembali lagi kita mengingatkan tidak perlu tergesa-gesa akan menentukan keputusan, karena pada akhirnya bermuara kepada satu keputusan yang bertumpuh pada hati nurani. Apa kata nurani, jangan ingkari nurani, jagalah hati dalam menetapkan pemimpin yang amanah dan bertanggung jawab dalam mengemban dan memajukan Sumsel. Selamat untuk memilih!
BAYANGKAN jika di dunia ini tanpa ada warna, semuanya akan statis dan membosankan. Tidak ada dinamika dan tidak ada perbedaan. Mungkin juga jika tidak ada warna, maka tidak ada kehidupan. Tapi, rasanya tidak mungkin demikian. Denyut kehidupan sejatinya adalah dinamika warna.
Oleh karena itu, anak-anak sejak usia dini telah diajarkan untuk mengenal aneka warna. Walaupun ia belum mengerti makna sebuah warna, namun demikian anak-anak hafal nama warna.
Begitu penting sebuah warna. Warna bukan hanya simbol, warna bukan hanya corak rupa seperti merah, putih, hijau, kuning. Tapi warna telah memberikan napas dan roh kehidupan. Yakinlah, warna juga telah membuat seseorang semangat, penuh dengan spirit dan optimis dalam menyikapi suatu perubahan. Namun demikian, sehebat apa pun kekuatan warna, tak akan berarti apa-apa. Jika tidak ada kekuasaan Tuhan yang telah memberikan umatnya kemampuan melihat dan menikmati warna-warni kehidupan. Kemampuan indera mata telah memberikan arti bagi soseorang dalam menentukan pilihan hidupnya untuk menikmati warna yang ia sukai.
Apalagi menjelang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) di sejumlah daerah di Sumsel, sejumlah bakal calon kandidat telah menggunakan simbol warna. Bahkan ada kandidat Cagub telah mengklaim warna ungu menjadi warna pilihan dalam kampanye nanti. Ada juga calon yang telah mengibarkan Tim Oranye. Mungkin nanti ada warna merah, kuning, hijau, atau berbagai warna yang menurut mereka memiliki arti dan keberuntungan.
Tinggal lagi pilihannya diserahkan kepada rakyat Sumsel. Tidak perlu terjebak dalam simbol warna. Tapi mulai saat ini perlu dipelajari dan dalami apa yang menjadi program dari bakal calon kandidat. Masalahnya kini massa dan rakyat keseluruhan hanya dijejali dan dipamerkan slogan-slogan program yang notabene kita tidak tahu kebenarannya. Saatnya rakyat sebagai pemilih untuk tidak terpengaruh dengan berbagai slogan-slogan. Apalagi slogan-slogan itu muncul dari para pengekor.
Oleh karena itu, mulai sekarang perlu membuka dialog dengan semua bakal calon kandidat. Para pemilih perlu membikin jaringan pemilih cerdas, untuk membedah program para kandidat. Sehingga pada akhirnya akan tahu, mana program yang hanya slogan dari pengekor dan mana program yang telah terbukti dari sang pelopor. Bukti nyata inilah yang menjadi contoh bagi pemilih ketika harus memilih. Karena cukup sudah, rakyat kita yang dibodohi, sedangkan rakyat makin sulit. Sulit untuk membeli sembako, sulit untuk mendapatkan akses pelayanan umum. Ibarat rakyat ini adalah komposisi warna, yang ada hanya warna hitam yang luntur. Masa depan yang akan dihadapi dalam keadaan hitam dan gelap.
Dalam keadaan gelap gulita, tidak tahu arah kemana mau dibawa. Saatnya pemimpin rakyat muncul untuk menerangi warna kegelapan ini. Tentu saja dengan warna cerah, terang, sejuk dan menyenangkan bagi rakyat. Kemampuan pemimpin baru, pemimpin masa depan Sumsel yang mampu membawa pencerahan bagi rakyat Sumsel. Di balik warna yang cerah yang bakal dibawa oleh bakal calon pemimpin Sumsel, tentu saja bukan warna yang menyilaukan, bukan warna yang menggugupkan dan menakutkan rakyat.
Warna-warna itu semoga membawa rakyat akan lebih baik. Warna yang membawa rakyat tidak lagi terjepit dalam impitan kemiskinan dan kemelaratan. Warna yang membawa rakyat tidak takut lagi untuk menyekolahkan anaknya di sekolah yang berkualitas, warna yang membawa rakyat untuk tidak khawatir jumlah tagihan biaya berobat yang makin mencekik. Rakyat tidak takut lagi menjadi pengangguran atau pun rakyat tidak takut lagi menghadapi hidup ini, karena secara otomatis kualitas rakyat telah terjamin dan begitu pun lowongan kerja telah tersedia.
Jika garansi warna baru yang bakal diusung para calon kandidat dapat memenuhi kebutuhan dan sesuai dengan hak-hak rakyat yang harus dipenuhi, sudah saatnya bagi kita untuk menjatuhkan pilihan kepadanya. Kembali lagi kita mengingatkan tidak perlu tergesa-gesa akan menentukan keputusan, karena pada akhirnya bermuara kepada satu keputusan yang bertumpuh pada hati nurani. Apa kata nurani, jangan ingkari nurani, jagalah hati dalam menetapkan pemimpin yang amanah dan bertanggung jawab dalam mengemban dan memajukan Sumsel. Selamat untuk memilih!
Langganan:
Postingan (Atom)