Firdaus Komar
Hilang
SENJA menjelang malam, kembali matahari menghilang dari pandangan mata. Kemudian muncul kegelapan malam. Tidak lama kemudian gemerlap bintang bertebaran di langit. Siklus kehidupan yang kita rasakan, yang kita lihat, yang kita jalani demikian adanya. Selalu muncul siang dan malam. Malam hilang berganti siang dan siang hilang berganti malam.
Ibarat roda kendaraan yang sedang melaju kadang berada di bagian bawah dan kadang berada di atas. Semuanya berjalan dengan normal. Berbagi waktu antara siang dan malam tidak pernah membuat mereka ribut atau pun cemburu. Siang tidak merasa iri melihat malam yang indah dipenuhi kerlap kerlip bintang, sebaliknya malam tidak merasa iri dengan kondisi siang karena ada matahari menyinarinya.
Inilah keseimbangan yang telah diciptakan Tuhan. Tatanan kehidupan selalu terlahir dengan seimbang. Hanya ulah manusia saja yang membuat alam lingkungan ini rusak dan tidak seimbang. Ketika iklim dan cuaca tidak lagi seimbang, bencana akan selalu datang. Berbagai nama badai menyerbu. Manusia hanya bisa pontang panting berpikir untuk menyelamatkan nyawa.
Pemanasan global telah menjadi masalah dunia. Lantas apakah ini tanda-tanda dunia akan kiamat. Apakah puncak dari persoalan umat manusia di muka bumi ini pada akhirnya akan bermuara pada hari akhir yang disebut dengan kiamat. Pertemuan delegasi dunia di Bali yang membahas isu pemanasan global, mungkinkah akan menyelamatkan planet bumi ini. Kita tunggu saja. Namun demikian, penyelamatan dunia bukan saja tanggung jawab satu pihak. Semua orang harus memiliki tanggung jawab sesuai dengan kapasitas dan tugas. Paling penting siapa pun dia dapat bertindak pada tataran lokal. Sekecil apa pun tindakannya akan sangat berarti dalam menata planet bumi ini.
Sebaliknya, ketika tindakan manusia untuk menyelamatkan dunia menghilang, manusia tidak lagi memiliki budaya dan peradaban maka yang muncul kemudian tindakan biadab yang menghancurkan masa depan.
Pada sisi lain, para penguasa cenderung dengan segala cara akan mempertahankan kekuasaannya. Jika sudah duduk di tampuk kekuasaan, selalu ingin terus duduk dalam kekuasaan. Pejabat negara sudah kehilangan kewibawaan. Proses penegakan hukum telah kehilangan arah. Sistem pendidikan yang diterapkan acak-acakan, tidak ada rujukan nilai-nilai yang jadi roh. Pemimpin negara telah kebingungan, bingung mau dibawa kemana perahu besar rakyat Indonesia ini. Kita khawatir para pemimpin negara telah kehilangan kemudi perahu. Akibatnya daya saing bangsa kita jadi rendah. Ketika nilai rupiah sangat bergantung dengan mata uang asing terutama dolar AS, bahkan kebijakan ekonomi yang merupakan jantung kekuatan perekonomian bangsa kita selalu dalam posisi tidak menguntungkan rakyat. Ketika harga minyak mentah melambung, posisi ekonomi bangsa pun terambung-ambung. Kebijakan mendadak dari pemerintah makin membuat rakyat susah bernapas.
Di tengah rakyat mengalami sesak napas, rakyat telah kehilangan kepercayaan. Rakyat bingung, tiba-tiba semen menghilang, beras menghilang, minyak goreng langka, pupuk sulit diperoleh, benih padi dipalsukan. Lahan pertanian tiba-tiba menghilang, telah digusur dan diambilalih untuk pembangunan pencakar langit.
Sangat sulit untuk membangkitkan dan mengembalikan kepercayaan rakyat. Saat rakyat kita memberikan amanah dan kepercayaan kepada wakilnya kepada pemimpinnya. Mereka tak pernah amanah. Selalu ingkar janji. Jangankan untuk menikmati hidup sejahtera, hak-hak dasar rakyat pun belum terpenuhi.
Sedangkan para koruptor yang dengan mudah menikmati duit rakyat telah menghilangkan bukti-bukti aset kekakayaan. Sang koruptor pun menghilang tak tahu kemana. Ditambah lagi para pemberantas korupsi juga telah kehilangan pasal-pasal tuntutan para koruptor.
Kini semuanya telah menghilang. Pulau-pulau kecil yang merupakan rangkaian satu kesatuan wilayah Indonesia banyak yang menghilang. Pulau itu menghilang karena pasirnya dijual diekspor illegal. Kekayaan laut menghilang karena dicuri dan dijual keluar, kayu-kayu ditebang dan menghilang dari tanah kelahiran kita. Budaya dan kesenian daerah asli Indonesia kehilangan makna karena diklaim milik bangsa lain. Mengapa kita tidak menghargai budaya asli bangsa kita. Selalu ingin mengatakan budaya luar lebih baik. Terjadilah mengimitasi budaya luar.
Masih untung harga diri kita belum menghilang. Namun demikian, patut kita mempertanyakan sebesar apakah harga diri yang kita miliki. Karena pertanyaannya pada rasa idealisme, kejujuran, integritas, dan komitmen yang kita miliki.
Karena itu mulai saat ini dengan modal harga diri, kita membangun dan menata diri, keluarga, lingkungan, masyarakat, sampai pada negara. Dengan rasa idealisme, kejujuran, integritas, dan komitmen kita bangun bangsa dan kita. Sebelum dunia dan Indonesia menghilang, masih ada waktu buat kita untuk menyelamatkannya. O
Tidak ada komentar:
Posting Komentar