Pesta
SEORANG karyawan mengeluh. Gaji per bulan yang ia terima tidak pernah mencukupi. Untuk biaya operasional sehari-hari terpaksa harus ngemplang ke teman atau tetangga. Biaya paling besar, ya itu ongkos transportasi untuk beli bensin. Apalagi ia mendengar pemerintah akan menaikkan harga BBM, hatinya bertambah kalut. “Wah kalau masih kerja seperti ini uang makin tidak cukup,” kata karyawan tadi.
Sebenarnya peluang ia untuk menerima uang sogokan dari kliennya cukup besar. Tetapi, ia selalu ingat terus soal idealisme. Rasanya tidak akanlah menerima uang ‘terima kasih’.
Karyawan yang masih bujang ini sebenarnya telah menjajaki untuk merencanakan berumah tangga. Ia menceritakan, kalau ia sebenarnya telah punya niat akan menikah. Apalagi dirinya telah mantap punya calon istri. Hanya saja tradisi yang seolah-olah menjadikan fardu a’in, jadi wajib untuk melaksanakan pesta perkawinan.
Ia selalu membayangkan pesta perkawinan tidak cukup dengan uang Rp10 juta. Apalagi ia membayangkan ada orang yang menggelar acara pesta perkawinan yang menghabiskan uang ratusan juta sampai miliaran rupiah. Wah…wah…, dari mana uangnya?
Karyawan ini pun mempertanyakan mengapa harus ada pesta. Mengapa rasa syukur harus menjalankan tradisi pesta. Ia pun menjawab atas pertanyaannya. Sepertinya tidak bisa dipungkiri, kondisi masyarakat dewasa ini ingin menampilkan secara visual-kontemporer bahwa pernikahan adalah sebuah fenomena luar biasa sehingga sebagai mediasi kepatuhan terhadap etika sosial mereka merepresentasikannya dengan mengadakan resepsi pernikahan yang dianggap pula sebagai tanda syukur.
Tapi kadang-kadang kita salah menempatkan wujud rasa syukur dengan menggelar pesta. Bayangkan, misalnya seseorang yang akan menunaikan ibadah haji. Lalu menggelar acara syukuran dalam wujud pesta makan-makan ditambah lagi dengan acara karaoke atau mengundang pemain musik organ tunggal.
Dalam sebuah pesta selalu identik dengan keramaian dan senang-senang, pamer kemudian mengeluarkan biaya besar. Kalau kita merefleksikan sebuah acara pesta perkawinan atau pesta lainnya boleh jadi ada nilai silaturahim. Tapi di balik kekuatan silaturahmi, rasanya cukup sulit jika dikatakan hal itu merupakan wujud rasa syukur. Lihat saja jika anak pejabat atau kalangan borju yang mau menggelar pesta perkawinan. Dari desain dan cetak undangan yang tentu saja seharga berkilogram beras, sewa gedung atau hotel mewah, belum lagi berbagai macam tradisi yang harus dijalankan. Boleh jadi sepanjang hal itu tidak memberatkan, mungkin masih bisa diterima. Tetapi ketika hal itu telah menjadi kewajiban yang mesti dijalani, lantas hal ini akan menjadi beban. Bayangkan, orang yang mau menikah, tetapi ditambah beban harus memikirkan biaya besar yang bakal dikeluarkan.
Pesta dalam batas-batas wajar masih bisa dijalankan atau kita terima, jangan sampai sebuah pesta harus menganiaya pihak lain dan mengabaikan hak-hak orang lain. Misalnya, seorang borju berpesta dengan uang miliaran rupiah. Walaupun itu dilakukan dengan menggunakan biaya sendiri, tetapi apakah kewajiban ia kepada orang tidak mampu, telah dijalankan. Apalagi jika sebuah pesta itu menggunakan uang rakyat melalui dana APBD. Sungguh tidak pas, jika memanfaatkan APBD untuk berpesta hanya untuk mencapai prestise. Misalnya pesta launching Visit Musi 2008 yang harus menghabiskan dana miliaran rupiah. Rasanya sayang, acara besar menghabiskan uang tapi sedikit benefit bagi rakyat.
Kini pesta makin laris, makin disukai orang-orang. Orang pada suka pesta narkoba, pesta seks, atau pun pesta shabu-shabu. Orang suka akan hal yang mengenakkan bagi dirinya. Orang suka terhadap pesta yang dilarang. Setiap hari ada penangkapan dan penggeledahan pesta narkoba, tapi tiap hari pula peredaran narkoba untuk dijadikan pesta.
Ya masih untung, seorang karyawan tadi mengeluh hanya karena gaji kecil. Tidak mengeluh karena tidak ada biaya untuk pesta narkoba atau pun pesta seks. Ia pun masih bersyukur, ternyata masih diberi kesempatan menikmati dinamika kehidupan di dunia ini.
Rasa syukur yang ia ungkapkan tidak diimplementasikan dalam acara pesta. Sebegitukah rasa syukur kita? Aku sendiri sering merasa malu, karena teringat bahwa kurang bersyukur dengan apa yang ada, dan sering menyesali kekurangan yang ada. Tidak menyadari bahwa telah begitu banyak yang telah kita peroleh. Mensyukuri apa yang dimiliki saja belum, tapi masih saja mengharapkan lebih.
Seseorang yang bersyukur berarti dia menyadari hakikat dirinya, dan menyadari sepenuhnya akan kehadiran Sang Khalik. Sebagai wujud dari syukur itu, dirinya akan berusaha sepenuh hatinya untuk menjalankan semua perintah-Nya. Dalam beribadah, dan dalam bermuamalah dengan sesama. Timbullah ketaatan dalam dirinya. O
Tidak ada komentar:
Posting Komentar