PEMIKIRAN TEOLOGI ISLAM MODERN
Oleh:
DRA.ANISATUL MARDIAH, M.AG
NIP. 150280368
Dosen MK Teologi Fakultas Ushuluddin
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
RADEN FATAH PALEMBANG
1427 H / 2006 M
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, akhirnya buku ajar ini dapat diselesaikan tepat pada waktu yang telah ditentukan. Walaupun waktu yang ditargetkan sangat singkat, namun penulis berusaha untuk menepatinya. Oleh karena itu, penulis menyadari bahwa buku ajar ini belum sempurna.
Adapun format susunan buku ajar ini disesuaikan dengan silabus yang berbasis kompetensi kurikulum IAIN tahun 2004. Sementara tujuan dari buku ajar ini adalah agar penyampaian materi dalam mata kuliah Perkembangan Teologi Islam Modern tersistematis sehingga mahasiswa mudah memahaminya. Buku ajar ini berusaha untuk memperkenalkan gagasan dan konsep-konsep para pemikir muslim yang berkaitan dengan aspek teologis sehingga mahasiswa mampu memahami isu-isu pokok yang relevan berkaitan dengan perkembangan zaman, mengapresiasi dan mengeritisi isu-isu tersebut, serta memancing mahasiswa agar berpikir kritis dan metodologis. Selain itu, buku ajar ini diharapkan dapat menjadi panduan dasar bagi mahasiswa Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Fatah Palembang dalam memahami berbagai perkembangan dalam pemikiran teologi Islam dewasa ini.
Buku ajar ini dapat ditulis berkat bantuan dari berbagai pihak, terutama adanya peluang dan kesempatan yang diberikan oleh pihak Institut melalui lembaga-lembaganya.Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan yang tulus dan ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan kepada penulis baik moril maupun materiil dalam menyelesaikan tulisan ini. Akhirnya, kepada Allah penulis memohon semoga buku ajar ini bermanfaat bagi kita semua, Amin.
Palembang, November 2006
ANISATUL MARDIAH
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN KULIT
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I. KONSEP TEOLOGI DALAM ISLAM
A. Definisi Teologi
B. Perkembangan Teologi Islam
BAB II. PEMIKIRAN TEOLOGI SAYYID AMIR ALI
A. Riwayat Hidup Sayyid Amir Ali
B. Pokok-pokok Pemikiran Teologi Amir Ali
BAB III. PEMIKIRAN TEOLOGI MUHAMMAD ABDUH
A. Riwayat Hidup Muhammad Abduh
B. Pokok-pokok Pemikiran Teologi Muhammad Abduh
BAB IV. PEMIKIRAN TEOLOGI MUHAMMAD RASYID RIDHA
A. Riwayat Hidup dan Perjuangannya
B. Corak Teologi Rasyid Ridha
BAB V. PEMIKIRAN TEOLOGI MUHAMMAD IQBAL
A. Riwayat Hidup Muhammad Iqbal
B. Konsep Teologi Muhammad Iqbal
BAB VI. PEMIKIRAN TEOLOGI SAYYID ABUL A’LA AL-MAUDUDI
A. Riwayat Hidup Abul A’la al-Maududi
B. Corak Teologi Maududi
BAB VII. PEMIKIRAN TEOLOGI FAZLUR RAHMAN
A. Riwayat Singkat Fazlur Rahman
B. Konsep Teologi Fazlur Rahman
BAB VIII. PEMIKIRAN TEOLOGI ISMAIL RAJ’I AL-FARUQI
A. Riwayat Hidup Ismail Raj’i al-Faruqi
B. Corak Teologi al-Faruqi
BAB IX. PEMIKIRAN TEOLOGI HASSAN HANAFI
A. Riwayat Hidup Hassan Hanafi
B. Corak Pemikiran Teologi Hassan Hanafi
BAB X. PEMIKIRAN TEOLOGI H. AGUS SALIM
A. Riwayat H. Agus Salim
B. Corak Teologi H. Agus Salim
BAB XI. PEMIKIRAN TEOLOGI HAMKA
A. Riwayat Hidup Hamka
B. Corak Teologi Hamka
BAB XII. PEMIKIRAN TEOLOGI HARUN NASUTION
A. Riwayat Hidup Harun Nasution
B. Corak Teologi Harun Nasution
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
KONSEP TEOLOGI DALAM ISLAM
A. Definisi Teologi
Kata teologi sebenarnya bukan berasal dari khazanah dan tradisi Islam, tetapi kata ini sering dipakai cendekiawan Muslim kontemporer. Istilah teologi diambil dari khazanah dan tradisi kristiani (Effendi 1994:52--53). Penggunaan istilah ini tidak bermaksud untuk mengecilkan arti istilah yang telah ada dalam khazanah Islam. Oleh karena itu, istilah tersebut tidak harus dipandang sebagai sesuatu yang negatif. Bahkan, istilah ini bisa memperkaya khazanah dan sistematisasi pemahaman keagamaan.
Secara etimologis, teologi dalam bahasa Indonesia berasal dari kata theology (Inggris), theologie (Perancis dan Belanda) atau theologia ( Latin dan Yunani Kuno) (Sou’yb 1987:1). Pada prinsipnya, setiap kata dalam berbagai bahasa di Eropa senantiasa dicari akar katanya pada bahasa Latin yang berakar pada bahasa Yunani Kuno.
Theologia terdiri dari dua suku kata, yaitu theo dan logia. Kata theo dan jamaknya theos, sepanjang mitologi Yunani Kuno adalah panggilan untuk dewata (para dewa). Akan tetapi, dalam bahasa Indonesia, kata theo berarti Tuhan (Sou’yb 1987:1). Untuk pengertian Tuhan, setiap agama mempunyai nama tersendiri, misalnya Allah untuk agama Islam, Yahuza untuk agama Yahudi, Brahman untuk agama Hindu, dan sebagainya.
Sementara logia dalam bahasa Yunani Kuno berasal dari kata logos (akal), yang berarti ajaran pokok (doktrin) atau teori (ilmu). Kata logos ini kemudian menurunkan kata logika dan logis. Kata logos juga dipadankan ke dalam bahasa Arab manthiq, sehingga ilmu logika dinamakan ilmu manthiq (Madjid 2000:4).
Dengan demikian, teologi berarti suatu ajaran pokok atau suatu teori atau suatu ilmu tentang permasalahan Tuhan. Dalam Islam, teologi disebut sebagai ilmu kalam atau ilmu tauhid (Sou’yb 1987:31). Dikatakan ilmu kalam karena permasalahannya menjadi bahan perbincangan yang menuntut penalaran dengan menggunakan logika. Dikatakan ilmu tauhid karena fokus pembicaraannya adalah masalah keesaaan Tuhan. Pengertian yang lebih tepat untuk masalah tersebut adalah bila ilmu kalam diterjemahkan sebagai teologi dialektis atau teologi rasional yang khas Islam, karena ilmu kalam sangat erat kaitannya dengan logika. Dalam perkembangannya, teologi menjadikan akal sebagai alat yang dominan dalam menghasilkan pengetahuan dan dalam pengolahan akal secara sistematis.
Secara terminologis, definisi teologi yang dikemukakan oleh ahli-ahli agama cukup beragam. Dalam Encyclopedia Americana, sebagaimana dikutip oleh Muktafi Fahal dan Ahmad Amir Aziz, ditulis ‘the study or science which treats of God, His nature and attributes, and His relations with man and Universe’-- studi atau ilmu yang berbicara tentang Tuhan, hakikat dan sifat-sifat-Nya, serta hubungan-Nya dengan manusia dan alam semesta -- (Fahal dan Aziz 1999:12).
Secara sederhana, teologi berarti ‘ilmu tentang Tuhan atau ilmu ketuhanan’. Menurut Harun Nasution,, teologi adalah ‘ilmu yang membahas soal ketuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan, dengan memakai akal dan wahyu untuk memeroleh kedua pengertian tersebut’ (Nasution 1986:79). Sementara Mansour Fakih pada sebuah artikelnya dalam jurnal ‘Ulum al-Quran, menjelaskan bahwa teologi sebenarnya adalah ‘tafsiran atau refleksi pemikiran tentang Tuhan dan akibat yang dikaitkan kepada masyarakat’ (Fakih 1995:106).
Sebagian cendekiawan memandang bahwa teologi berhubungan erat dengan agama dan mendefinisikannya sebagai uraian yang bersifat pikiran tentang agama (natural theology atau philosophical theology). Untuk menentukan corak pembahasannya kata teologi dihubungkan dengan keterangan kualifikasi, seperti teologi filsafat, teologi masa kini, teologi Kristen, teologi rasional, dan sebagainya (Hanafi 1995:11--12). Dengan demikian, secara ringkas dapat dikatakan bahwa teologi adalah ‘ilmu yang membicarakan Allah dan hubungan-Nya dengan manusia, baik berdasarkan kebenaran wahyu maupun berdasarkan penyelidikan akal’. Dalam tulisan ini akan digunakan istilah teologi dalam arti teologi Islam, yaitu pengetahuan tentang Allah dan objek-objek kepercayaan lainnya dalam tauhid Islam.
Dari pengertian-pengertian di atas, tampak bahwa definisi tentang teologi hanya berkisar di seputar ketuhanan dan hubungan-Nya dengan manusia. Hubungan antara Tuhan dan manusia adalah persoalan mendasar yang dibahas dalam suatu agama. Oleh sebab itu, orang yang ingin mengetahui ajaran agamanya secara mendalam perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam agama yang dianutnya.
B. Perkembangan Teologi Islam
Perkembangan teologi dalam Islam berawal dari permasalahan politik. Masalah pertama yang timbul setelah Rasulullah saw wafat adalah siapakah yang berhak menjadi khalifahnya. Masalah ini hampir menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam. Akan tetapi, pada akhirnya umat Islam menyetujui gagasan pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah. Abu Bakar kemudian digantikan oleh Umar ibn Khattab yang kemudian digantikan oleh ‘Utsman ibn ‘Affan, selanjutnya digantikan oleh ‘Ali ibn Abi Thalib.
Dalam perjalanan sejarah Islam, telah terjadi beberapa peristiwa, antara lain adalah pembunuhan ‘Utsman ibn ‘Affan, khalifah ketiga. Pembunuhnya diduga adalah rombongan delegasi dari Mesir yang hendak menyampaikan keluhan dan protes mereka atas tindakan-tindakan khalifah yang mereka anggap tidak adil, khususnya praktik nepotisme ‘Utsman yang hanya mementingkan klan Umayyah. Kebetulan, klan Umayyah adalah saingan dari klan Hasyim yang merupakan klan asal Rasulullah saw di kalangan suku Quraiys di Mekkah. Pemimpin klan Hasyim memusuhi Rasulullah saw dan orang-orang Islam sampai saat-saat terakhir hidup Rasulullah saw. Namun, Rasulullah saw agaknya menyadari potensi konflik tersebut dan berusaha menghilangkan permasalahan tersebut dengan berbagai kebijaksanaan, antara lain melalui hubungan perkawinan. Strategi Rasulullah saw ini berhasil sehingga umat Islam tetap utuh dan dapat bertahan sampai paruh pertama kekuasaan ‘Utsman.
Pada paruh kedua pemerintahan ‘Utsman, konflik itu meruncing kembali akibat kelemahan kepemimpinannya yang mengakibatkan khalifah terbunuh. Pembunuhan ‘Utsman yang diikuti dengan pengangkatan ‘Ali sebagai khalifah keempat ditentang oleh Mu’awiyah. Mu’awiyah merupakan tokoh terkemuka klan Umayyah, menuntut ‘Ali untuk menemukan dan menghukum para pembunuh ‘Utsman. Selain mendapat tantangan dari Mu’awiyah, ‘Ali juga mendapat perlawanan dari ‘Aisyah, istri Rasulullah saw yang juga merupakan putri dari Abu Bakar, khalifah pertama. Oleh karena suasana tidak kondusif, ‘Ali memindahkan pusat pemerintahannya ke Kuffah di Irak. Perang saudara antara sesama Muslim tidak dapat dihindarkan lagi (Jafri 1995:7).
Pertempuran antara pasukan ‘Ali dan pasukan Mu’awiyah terjadi di Shiffin. Tentara ‘Ali berhasil mendesak tentara Mu’awiyah, tetapi ‘Amr ibn al-‘Ash dengan licik mengangkat Alquran dengan maksud minta berdamai, dan terjadilah gencatan senjata. Dalam peristiwa itu, juru bicara pihak ‘Ali adalah Abu Musa al’Asy’ary, sementara pihak Mu’awiyah diwakili oleh ‘Amr ibn al-‘Ash. Sekali lagi, kelicikan ‘Amr ibn al-‘Ash mengalahkan ketakwaan Abu Musa al-‘Asy’ary yang sudah tentu merugikan pihak ‘Ali (Nasution 1986:5). Dengan gencatan senjata ini, secara tidak langsung kelompok ‘Ali telah mengakui kedudukan Mu’awiyah setara dengan khalifah, padahal Mu’awiyah hanyalah sebagai seorang gubernur. Oleh sebab itu, ‘Ali menolak keputusan tersebut dan tidak mau meletakkan jabatan hingga akhir hayatnya.
Sikap ‘Ali yang menerima ajakan damai, yang pada hakikatnya merupakan tipu muslihat dari pihak musuh, ditentang oleh sebagian tentaranya. Menurut mereka, urusan seperti ini tidak dapat diputuskan oleh arbitrase manusia. Keputusan hanya datang dari Allah dengan kembali pada hukum-hukum yang ada dalam Alquran. Mereka memandang ‘Ali bersalah dan berbuat dosa sehingga golongan mereka meninggalkan ‘Ali. Golongan ini, dalam sejarah Islam, dikenal dengan sebutan kaum Khawarij (Nasution 1986:5). Persoalan-persoalan di bidang politik pada akhirnya berkembang menjadi persoalan-persoalan teologi karena timbul persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir, dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam.
Kelompok Khawarij menganggap ‘Ali, Mu’awiyah, ‘Amr ibn al-‘Ash, dan Abu Musa al-‘Asy’ary, serta orang-orang yang menerima gencatan senjata adalah kafir, karena itu wajib dibunuh. Namun, hanya orang yang ditugaskan membunuh ‘Ali yang berhasil menjalankan tugasnya. Dengan terbunuhnya Khalifah ‘Ali, berakhir pulalah sistem pemerintahan demokratis. Kematian ‘Ali juga menandai berkembangnya sekte Islam yang baru, yaitu Khawarij (Ali 1997:144).
Pada akhirnya, kaum Khawarij pecah menjadi beberapa sekte. Konsep mereka tentang kafir turut pula mengalami pergeseran, yang dipandang kafir bukan saja orang yang tidak menentukan hukum dengan Alquran, tetapi orang yang berbuat dosa besar juga dianggap kafir. Persoalan inilah yang kemudian berpengaruh besar dalam pertumbuhan teologi dalam Islam. Masalahnya apakah ia masih bisa dipandang sebagai orang mukmin atau sudah kafir bila berbuat dosa besar? Masalah ini menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam. Pertama, aliran Khawarij yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar adalah kafir, dalam arti keluar dari Islam atau tegasnya adalah murtad. Oleh karena itu, mereka wajib dibunuh. Kedua, aliran Murji’ah, menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya terserah kepada Allah untuk mengampuni atau tidak. Ketiga, aliran Mu’tazilah, yang tidak menerima pendapat dua aliran tersebut. Menurut mereka, orang yang berbuat dosa besar bukan kafir dan bukan pula mukmin. Posisinya adalah di antara mukmin dan kafir, yang terkenal dengan istilah al-manzilah bain al-manzilatain.
Selain persoalan kafir dan pelaku dosa besar, muncul masalah tentang perbuatan manusia dalam aliran teologi. Mengenai masalah ini, terdapat dua faham yang bertentangan, yaitu Qadariyah dan Jabariyah. Menurut faham Qadariyah, manusia mempunyai kemerdekaan dalam berkehendak dan perbuatannya. Sedangkan faham Jabariyah sebaliknya, manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam berkehendak dan perbuatannya. Hal ini berarti faham Jabariyah berkeyakinan bahwa segala tingkah laku manusia telah ditentukan oleh Tuhan. Faham ini yang disebut dengan fatalisme (Nasution 1986:8).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa peristiwa terbunuhnya ‘Utsman ibn ‘Affan pada tahun 656 M di Madinah, selain membawa masalah politik, juga menimbulkan masalah teologi dalam Islam. Dalam bidang teologi, peristiwa tersebut menimbulkan permasalahan iman dan kafir.
Seiring perubahan zaman, situasi sosial, politik, dan ekonomi yang berubah, corak teologi turut pula mengalami perubahan. Di kalangan umat Islam muncul aliran-aliran teologi yang bersifat liberal atau rasional, tradisional, dan ada pula yang bersifat di antara keduanya (Nasution 1986:X). Semua corak ini tidak bertentangan dengan ajaran dasar Islam. Dengan demikian, orang yang memilih salah satu dari aliran tersebut tidak menyebabkan ia keluar dari Islam.
Wacana rasional dan tradisional dalam teologi berbeda dengan pengertian rasional dan tradisional dalam ilmu fiqh dan sosiologi (al-Shiddiqy 1981:103). Dalam bidang fiqh, mazhab Abu Hanifah sering dikategorikan sebagai mazhab yang rasional karena pemikiran hukum yang dikembangkannya banyak memakai penalaran atau pendapat yang disebut dengan al-ra’yu, qiyas (analogi), dan istihsan. Hal ini disebabkan karena pemikiran Abu Hanifah dipengaruhi oleh perkembangan hukum di Kufah, sebuah kota yang terletak di tengah-tengah kebudayaan Persia, yang masyarakatnya sudah maju. Dengan demikian, problema kemasyarakatan dengan sendirinya banyak muncul.
Sementara itu, secara sosiologis, pengertian rasional identik dengan modern. Disebut modern apabila mereka dapat menjaga waktu (disiplin), dinamis, dan berorientasi ke masa depan. Di sisi lain, tradisional sebaliknya, tidak disiplin, statis, berorientasi ke masa lalu, dan terikat secara primordial (Noer 1983:6). Pengertian rasional secara sosiologis ini sejalan dengan pengertian modernisasi ialah rasionalisasi (Madjid 1993:183).
Dalam teologi, rasional berarti aliran teologi yang mengandalkan kekuatan akal atau rasio karena akal mempunyai daya yang kuat serta dapat memberikan interpretasi secara rasional terhadap teks-teks ayat-ayat Alquran dan hadis (Nata 1995:61). Adapun tradisional dalam konteks teologi berarti mengambil sikap terikat, tidak hanya pada dogma yang jelas dan tegas di dalam Alquran dan hadis, tetapi juga pada ayat yang mempunyai arti zhanni, yaitu ayat-ayat yang mempunyai arti harfiah dari teks-teks ayat Alquran dan kurang menggunakan logika (Munawar 1984:716). Dengan demikian, teologi rasional adalah suatu aliran teologi yang menganggap akal mempunyai daya kuat serta dapat memberikan interpretasi secara liberal terhadap teks Alquran yang bersifat zhanni sehingga manusia dapat menentukan sendiri kehendak dan perbuatannya.
Agaknya terdapt perbedaan pemahaman antara pengertian rasional secara sosiologis dan teologis. Istilah rasional secara sosiologis identik dengan modern, sementara secara teologis berarti mengandalkan kekuatan akal atau rasio. Dengan adanya pembedaan ini, tampaknya pengertian rasional secara sosiologis lebih tepat dilekatkan pada pembagian corak teologi karena pengertian modern berlawanan dengan tradisional sementara lawan kata rasional adalah irrasional. Dengan demikian, pengertian rasional secara teologis kurang tepat dipakai karena teologi tradisional pun masih menggunakan akal meskipun tidak sekuat teologi rasional. Dalam tulisan ini dipakai pengertian rasional secara sosiologis sehingga rasional di sini diartikan modern sebagai lawan dari kata tradisional.
Teologi rasional, yang menurut istilah Harun Nasution disebut teologi sunnatullah,mempunyai cirri-ciri:
1. kedudukan akal yang tinggi,
2. kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan,
3. kebebasan berpikir hanya diikat oleh ajaran-ajaran dasar dalam Alquran dan hadis
sedikit sekali jumlahnya,
4. kepercayaan pada sunnatullah dan kausalitas,
5. mengambil arti metaforis dari teks wahyu,
6. kedinamisan dalam berpikir dan bersikap (Nasution 1998:112)
Dilihat dari cirri-cirinya, teologi rasional ini berorientasi pada kedinamisan manusia. Oleh karena itu, penganutnya akan hidup menembus persaing dunia global, atau mereka dapat hidup sesuai dengan zaman dan konstelasi dunia sekarang (Koentjaraningrat 1974:133).Bagaimnapun juga, setiap aspek pemikiran Islam pada dasarnya merupakan ajang diskusi, kritik, dan komentar, bukan sebagai klaim kebenaran yang hendak memutlakkan kebenaran itu sendiri.
Teologi rasional yang berkembang pada zaman klasik telah terbukti mampu membawa umat Islam pada puncak kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini disebabkan ulama-ulama zaman itu menyadari tingginya kedudukan akal baik dalam Alquran maupun hadis. Di samping itu, ulama pada zaman itu berjumpa dengan filsafat Yunani yang menjadikan akal sebagai kekuatan sentralnya. Peran akal yang tinggi dalam Alquran bertemu dengan peran akal yang sentraldalam filsafat Yunani. Hal tersebut menyebabkan ulama Islam zaman klasik mengembangkan pemikiran yang rasional. Ilmu pengetahuan membuat ulama mengembangkan konsep hukum alam (sunnatullah), sementara filsafat mendorong mereka membangun teologi rasional.
Ulama zaman klasik memakai metode berpikir rasional, ilmiah, dan filosofis. Metode berpikir ini cocok dengan faham Qadariyah yang mengakui kebebasan manusia dalam kehendak dan perbuatan. Adapun ciri-ciri metode berpikir rasional adalah:
1. akal mempunyai kedudukan yang tinggi,
2. pemakaian takwil, yaitu akal mengambil arti metaforis dari ayat Alquran,
3. kebebasan berpikir hanya dibatasi oleh ayat-ayat qath’i al-dalalah dan ajaran Islam yang bersifat absolute,
4. percaya pada sunnatullah atau kausalitas di alam,
5. bersikap dinamis (Zar 2001:20).
Dengan menggunakan metode berpikir ini, tidak mengherankan bila sikap umat Islam zaman klasik sangat dinamis sehingga orientasi dunia mereka tidak dikalahkan oleh orientasi akhirat. Kehidupan dunia dan akhirat sama-sama dipentingkan sehingga produktivitas umat di segala bidang maju pesat. Dengan kata lain, teologi rasional dengan filsafat Qadariyahnya serta orientasi dunia akhirat telah mampu membawa umat Islam zaman klasik kea rah kemajuan di segala bidang.
Berbeda dengan teologi rasional, teologi tradisional akan menimbulkan pandangan yang sempit dan fanatik di kalangan umat Islam. Teologi ini merupakan produk ulama yang bersumber pada Alquran dan hadis serta pendapat ulama-ulama sebelum mereka. Adapun ciri-ciri teologi tradisional menurut Harun Nasution adalah:
1. kedudukan akal rendah,
2. ketidakbebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan,
3. kebebasan berpikir yang diikat oleh banyak dogma,
4. ketidakpercayaan pada sunnatullah dan kausalitas,
5. keterikatan arti tekstual dari Alquran dan hadis,
6. kestatisan bersikap dan berpikir (Nasution 1998:116).
Selain itu, teologi tradisional sering dirujuk pada faham Asy’ariyah yang dianut oleh sebagian besar umat Islam. Faham Asy’ariyah terkenal dengan sebutan faham kehendak mutlak Tuhan (fatalisme) yang tercermin dalam filsafat Jabariyah. Oleh karena itu, timbul dugaan bahwa penyebab kemunduran umat Islam adalah karena menganut filsafat Jabariyah yang cenderung fatalistik.
Kedudukan akal yang rendah membuat pemikiran di segala bidang tidak berkembang, sehingga sikap taklid makin subur dalam masyarakat. Keyakinan bahwa manusia tidak bebas membuat sikap orang menjadi fatalis dan statis, yang menyebabkan pengaruh faham qada dan qadar tidak bisa dielakkan. Tidak ada kepercayaan pada sunnatullah menimbulkan keyakinan bahwa alam diatur Tuhan menurut kehendak mutlak-Nya. Semua berjalan sesuai dengan kehendak mutlak-Nya.
Di samping itu, keterikatan pada arti tekstual dari ayat-ayat Alquran dan hadis membuat orang berpandangan sempit dan fanatik. Pandangan sempit dan cenderung fanatik ini membuat orang tidak dapat menerima pendapat orang lain. Keadaan statis dalam sikap dan pemikiran membuat umat Islam terbelakang. Hal ini diperparah oleh berkembangnya tarekat yang berorientasi pada kehidupan akhirat semata sehingga produktivitas umat Islam menurun.
Dalam pandangan teologi tradisional, manusia adalah makhluk yang lemah. Manusia tidak dapat berbuat sesuai kemauannya karena kehendak dan kekuasaan Tuhan atas manusia bersifat mutlak. Dalam teologi ini dinyatakan bahwa di atas Tuhan tidak ada satu zat pun yang dapat menghukum atau menentukan ap yang boleh dibuat dan apa yang tidak boleh dibuat oleh Tuhan. Tuhan bersifat absolut dalam kehendak dan kekuasaan-Nya. Dia dapat berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan tidak satu pun yang dapt mencela perbuatan-Nya, sungguhpun perbuatan itu dipandang tidak adil dan tidak baik oleh akal manusia (Nasution 1986:120).
Bila demikian halnya, manusia tak ubahnya dengan wayang yang dimainkan oleh seorang dalang. Ia hanya menjalankan peran yang telah digariskan oleh dalang tanpa mampu membantah sedikitpun. Oleh karena itu, wajar apabila pada zaman pertengahan, umat Islam mengalami kebekuan berpikir dan mengalami kemunduran serta ketertinggalan dari Barat.
BAB II
PEMIKIRAN TEOLOGI SAYYID AMIR ALI
A. Riwayat Hidup Sayyid Amir Ali
Sayyid Amir Ali (selanjutnya hanya ditulis Amir Ali) adalah seorang pemimpin dan ahli hukum. Dia lahir pada tanggal 6 April 1849 di Cuttack, India dan wafat pada tanggal 3 Agustus 1928 dalam usia 79 tahun di Sussex, Inggris. Dia merupakan keturunan Arab Syi’ah yang pindah dari Khurasan, Persia dan menetap di Mohan, Oudh, India pada pertengahan abad 18 (Ali 1998: 142). Sedangkan menurut Benton, Sayyid Amir Ali lahir pada tahun 1848, sembilan tahun sebelum runtuhnya kerajaan Mughal (Benton 1970:793).
Amir Ali memeroleh pendidikan di perguruan tinggi Hoogly dekat kota Calcutta, dengan memelajari bahasa Arab, sastra, dan hukum Inggris. Kemudian pada tahun 1869 ia melanjutkan pendidikannya di Inggris dan berhasil meraih gelar kesarjanaan di bidang hukum pada tahun 1873. Setelah menyelesaikan studinya ia kembali ke India dan bekerja sebagai pegawai pemerintah Inggris sebagai pengacara, hakim, dan sebagai guru besar dalam bidang hukum Islam. Pada tahun 1883 dia diangkat menjadi salah seorang dari ketiga anggota Majelis Wakil Raja Inggris di India (Nasution 1979:181).
Amir Ali merupakan seorang intelektual yang berpandangan luas. Sejak kecil ia gemar membaca buku-buku sejarah dan sastra. Sebelum usianya mencapai 12 tahun, ia telah membaca karya Gibbon yang berjudul The Decline and Fall of Roman Empire. Kegemarannya membaca tampaknya sangat berpengaruh terhadap dirinya sehingga ia berkeinginan untuk menjadi seorang sejarawan Islam yang andal. Hal ini dibuktikannya dengan menulis buku yang berjudul The Spirit of Islam dan buku yang berjudul A Short History of Saracens ( Ahmad 1986:56).
Selain sebagai sejarawan andal, Amir Ali juga merupakan seorang politikus ulung. Ia mendirikan organisasi politik pada tahun 1877 dengan nama The National Mohammadan Association yang berkembang sangat pesat. Dalam waktu singkat organisasi tersebut telah memiliki 34 cabang di seluruh India. Organisasi ini kemudian berganti nama menjadi The Central National Mohammadan Association. Organisasi ini merupakan wadah pemersatu umat Islam di India dengan tujuan utama membela kepentingan umat Islam India dan melatih mereka dalam bidang politik (Nasution 1979:181). Amir Ali agaknya menyadari betul setting sosial masyarakat India yang menempatkan umat Islam pada posisi yang lemah. Dari segi kuantitas, mereka merupakan penduduk minoritas dan dari segi kualitas mereka lemah dan terbelakang. Hal inilah yang menyadarkan Amir Ali untuk mengangkat martabat umat Islam yang teraniaya. Salah satunya yaitu dengan mendirikan organisasi politik.
Amir Ali meninggalkan India dan menetap di Inggris pada tahun 1904 hingga akhir hayatnya. Pada tahun 1909 ia diangkat menjadi anggota Yudicial Committee of Privacy Council di Inggris. Ia merupakn orang India pertama yang menduduki jabatan sebagai anggota dewan terhormat tersebut. Setelah Liga Muslimin India berdiri, ia ikut aktif dengan membentuk cabang di London. Ia kemudian mengundurkan diri ketika organisasi tersebut bersama Kongres Nasional India menuntut adanya pemerintahan India yang merdeka (Benton 1970:315). Pengunduran diri Amir Ali dikritik oleh beberapa cendekiawan kontemporer, salah seorang di antaranya Harun Nasution. Keputusannya mengundurkan diri dinilai sebagai suatu bentuk kesetiaan pada Inggris yang telah memberikan kenyamanan hidup padanya walaupun sebenarnya ia mempunyai alasan tersendiri.
B. Pokok-pokok Pemikiran Teologi Amir Ali
Amir Ali merupakan seorang pemikir terkemuka di kalangan intelektual Islam. Hal ini dapat dilihat pada karya monumentalnya yang berjudul The Spirit of Islam. Buku tersebut pertama kali terbit berjudul A Critical Examination of the Life and Teaching of Mohammed. Buku tersebut diterbitkan saat usianya baru 24 tahun. Sembilan tahun kemudian, buku tersebut diterbitkan lagi dengan judul The Life and Teaching of Mohammed. Setelah mengalami berbagai perubahan dan beberapa revisi, terbitan selanjutnya menggunakan judul The Spirit of Islam (Fahal dan Aziz 1999:87).
Amir Ali merupakan pemikir Muslim pertama yang mengritisi kemunduran umat Islam pada akhir abad ke-19. Ia menelaah sejarah Islam zaman klasik untuk membuktikan bahwa Islam merupakan agama yang rasional dan mengarahkan manusia pada kemajuan. Oleh karena itu, ia selalu merujuk sejarah Islam zaman klasik ketika berbicara tentang Islam untuk membuktikan bahwa Islam adalah agama rasional.
Setiap kali membicarakan tentang Islam sebagai agama yang mendorong umat manusia pada kemajuan, ia terlebih dahulu mengupas ajaran-ajaran Islam tentang tauhid, ibadah, hari akhirat, kedudukan wanita, perbudakan dan sebagainya. Ketika mengupas tema-tema tersebut, ia menggunakan metode perbandingan. Pertama-tama ia paparkan ajaran serupa dalam agama lain baru kemudian ia memaparkan ajaran serupa dalam agama Islam yang membawa perbaikan. Ia selalu menggunakan argumen-argumen yang menjelaskan bahwa ajaran-ajaran Islam sejalan dengan akal (Nasution 1979:181). Amir Ali ternyata sangat piawai merasionalisasikan ajaran Islam sehingga orang lain yakin bahwa Islam adalah agama yang rasional.
Terlepas dari kegigihannya untuk meyakinkan manusia tentang kerasionalan ajaran Islam, Amir Ali mengakui bahwa ada masa-masa kelam dalam sejarah perjalanan umat Islam. Akan tetapi, ia menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan konsekwensi alamiah dari kecenderungan setiap kebudayaan. Ia berpendapat bahwa penyebab kemunduran itu bukan dari faktor Islam sebagai ajaran melainkan dari faktor manusianya, baik karena kesalahpahaman atau karena kegagalan memenuhi cita-cita Islam.
Untuk memahami pemikiran teologi Amir Ali secara lebih jelas, maka akan dikemukakan secara ringkas point-point penting pemikirannya.
1.Konsep Ketuhanan
Dalam membicarakan masalah ketuhanan, Amir Ali berusaha membandingkannya dengan konsep-konsep ketuhanan dalam agama-agama lain. Penyembah berhala pada masyarakat Arab jahiliyah sangat bervariasi dalam memahami tentang ketuhanan. Pemahaman mereka tentang Tuhan disesuaikan menurut masing-masing individu atau suku. Oleh karena itu, objek pemujaan mereka berbeda antara individu yang satu dengan yang lainnya atau suku yang satu dengan suku yang lainnya. Di antara mereka ada yang melakukan pemujaan terhadap segumpal adonan roti, sebuah tongkat, ataupun sebongkah batu (Ali 1995:138--139).
Sementara itu, sebagian orang Yahudi menjadikan Terafim sebagai objek pemujaan. Terafim adalah semacam dewa-dewa keluarga yang dibuat manusia untuk dimintai pertimbangan dalam segala hal dan juga dianggap sebagai pelindung keluarga (Ali 1995:140). Sedangkan penganut Kristen memuja Yesus sebagai Tuhan. Lebih jauh lagi, sekte Collyridian mengajarkan bahwa Bunda Maria juga disembah sebagai Tuhan dan diberi sesaji berupa kue collyris. Oleh karena itu, Konsili Nicea menetapkan bhwa di samping Tuhan Bapa, ada dua Tuhan lagi yang disembah yaitu Yesus Kristus dan Bunda Maria (Ali 1995:140--143).
Selanjutnya Amir Ali menjelaskan bahwa agama Islam lebih menonjolkan keesaan Tuhan. Islam, menurutnya adalah agama yang paling menentang manusia dalam hal menyekutukan Tuhan dengan benda atau makhluk apapun. Untuk mendasari pendaptnya ini lebih lanjuta ia menyatakan bahwa banyak ayat-ayat Alquran yang menegaskan tentang keesaan Tuhan dan mengecam orang-orang Yahudi yang menyembah berhala dan keterlaluan mereka dalam memuliakan Uzair. Sementara umat kristiani dikecam karena menyembah Isa dan ibunya (Ali 1995:143).
Dari uraian terdahulu dapat dikatakan bahwa Amir Ali berusaha menegaskan kembali tentang keesaan Tuhan dalam agama Islam melalui metode komparatif. Ia menegaskan bahwa keesaan Tuhan dalam Islam merupakan tauhid yang murni. Oleh karena itu, Islam berdiri paling depan untuk menghadapi kecenderungan manusia menyekutukan Tuhan dengan benda atau makhluk lain. Hal ini didukung oleh beberapa ayat Alquran yang menegaskan bahwa Tuhan itu Esa serta tanda-tanda keesaan Tuhan.
2. Konsep Hari Akhirat
Menurut Amir Ali, gagasan mengenai hari akhirat merupakan fenomena umum manusia. Kehidupan di akhirat pada dasarnya merupakan keinginan manusia untuk bersatu kembali dengan orang-orang yang dikasihi setelah dipisahkan oleh kematian. Bangsa Mesir merupakan bangsa yang pertama kali memunculkan kepercayaan pada adanya hari akhirat. Kepercayaan itu kemudian diikuti oleh bangsa Yahudi dan seterusnya sampai pada penganut Islam. Gagasan utama dalam Islam mengenai kehidupan di akhirat ini didasarkan pada kepercayaan bahwa dalam hidup sesudah mati, tiap makhluk harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di dunia. Kebahagiaan atau kesengsaraan setiap orang sangat tergantung pada cara mereka melaksanakan perintah Tuhan serta menjauhi larangan-Nya (Ali 1995:200—203). Namun, yang menjadi persoalan dan menimbulkan perdebatan adalah mengenai bentuk balasan yang akan diterima manusia di akhirat nanti apakah dalam bentuk jasmani atau rohani?
Menyikapi persoalan tersebut, Amir Ali mengatakan bahwa hal tersebut tidak terlalu penting. Menurutnya, agama-agama yang dating sebelum Islam pada umumnya menggambarkan kehidupan di akhirat berupa materi sehingga manusia akan mendapat balasan dalam bentuk jasmani. Sedangkan ia berpendapat bahwa bentuk balasan yang akan diterima manusia di akhirat nanti adalah berbentuk ruhani atau immateri(spiritual). Meskipun ada ayat Alquran yang menggambarkan kehidupan di akhirat berupa materi, ia mengatakan hal itu dikarenakan ajaran agama Islmyg dibawa Rasulullah bukan hanya ditujukan kepada segolongan masyarakat yang sudah modern dalam pemikirannya saja, tetapi juga untuk golongan awam yang belum mampu menangkap sesuatu yang abstrak dan terbiasa dengan pemikiran yang nyata dan bersifat materi. Untuk golongan awam ini, informasi tentang balasan di akhirat tentu saja harus digambarkan secara materi. Menurut Amir Ali, ajaran tentang pembalasan di akhirat memiliki manfaat yang besar bagi manusia karena keyakinan akan pembalasan di akhirat menanamkan prinsip tanggung jawab atas segala perbuatannya. Dengan demikian, manusia akan berusaha untuk selalu berbuat baik dan menghindari perbuatan jahat (Ali 1995:203).
Dari pandangan Amir Ali tentang konsep hari akhirat tersebut, terdapat pesan teologis yang dapat diambil hikmahnya, yaitu pesan moral yang mendorong manusia agar selalu berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat. Hal ini dikarenakan berdasarkan pertimbangan akal, pembalasan di akhirat harus ada untuk membuktikan kemahaadilan Tuhan.
3. Kedudukan Akal dan Perbuatan Manusia
Menurut Amir Ali, salah satu penyebab kemunduran umat Islam adalah karena umat Islam menganggap bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Oleh karena itu, umat Islam harus tunduk dan patuh pada setiap pendapat ulama abad ke-9 M yang mereka anggap masih relevan. Padahal, ulama abad ke-9 M sudah pasti tidak mengetahui perkembangan dan kebutuhan masyrakat modern di mana situasi dan kondisinya sudah jauh berbeda. Ijtihad, bagi mereka, adalah sama halnya dengan perbuatan dosa besar (Nasution 1979:186). Untuk itu, amir Ali menganggap perlu mengubah cara pandang seperti itu dengan menghidupkan semangat berijtihad yang diselaraskan dengan kebutuhan dan kondisi zaman. Pemikiran Amir Ali tentang perlunya membuka pintu ijtihad agak janggal karena ia merupakan pengikut aliran Syi’ah Isna ‘Asy’ariyah (Gibb 1995:100). Pengikut Syi’ah berpendapat bahwa yang boleh melakukan ijtihad hanyalah Imam Syi’ah, sementara masyarakat umum tidak diperbolehkan melakukannya.
Ketika berbicara tentang semang berpikir rasional dalam Islam, ia menyitir Alquran surat al-Ra’d :11. Ayat tersebut menunjukkan bahwa manusia punya kehendak bebas. Secara rasional dikutipnya ayat-ayat kauniyah, bahwa yang dimaksud takdir Allah adalah sunnatullah. Kalau dihubungkan dengan manusia, itu berarti manusia memiliki kekuasaan atas tingkah laku dan perbuatannya sendiri yang disertai dengan tanggung jawab atas apa yang diperbuatnya. Menurut Amir Ali, hal itu sesuai dengan jiwa Alquran yang mengacu pada kebebasan yang bertanggung jawab, bukan fatalis. Islam tidak dijiwai oleh paham qada dan qadar (Jabriyah), melainkan dijiwai oleh paham Qadariyah yang mengacu pada free will dan free act (Ali 1995:403—405). Sebagaimana telah diungkap pada bab terdahulu bahwa paham Qadariyah telah berhasil membawa umat Islam zaman klasik mencapai puncak kejayaan di bidang ilmu pengetahuan dan peradaban, sehingga dunia Islam menjadi kiblat bagi dunia Barat saat itu.
Amir Ali berpendapat bahwa ilmu pengetahuan mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Islam. Dengan piawai ia menggambarkan bagaimana kecintaan, perhatian, dan pengembangan ilmu pengetahuan sejak masa Khulafa al-Rasyidin dan selanjutnya menemukan momentumnya pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah. Waktu itu, ilmu pengetahuan berkembang pesat seiring dengan makin maraknya semangat rasionalisme Mu’tazilah sehingga tidak mengherankan ketika pusat-pusat ilmu pengetahuan bermunculan di dunia Islam (Nasution 1979:187).
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa ide-ide Islam rasional yang dilontarkan oleh Amir Ali merupakan hasil pengamatannya terhadap kehidupan masyarakat Islam dengan menggunakan pendekatan sejarah melalui metode komparatif. Ia sangat mengagumi kecemerlangan dunia Islam zaman klasik dan menjadikannya sebagai inspirasi untuk memajukan umat Islam melalui ide-ide rasionalnya. Menurutnya, tradisi umat Islam zaman klasik yang sangat rasional perlu dihidupkan kembali untuk mengejar ketertinggalan umat Islam di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi di masa modern ini.
Pemikiran teologis Amir Ali lebih bercorak rasional. Kerangka berpikirnya dalam menjelaskan aspek-aspek teologis berangkat dari ide-ide atau gagasan rasional dan kebebasan manusia dalam berbuat. Menurutnya, umat Islam dapat mencapai kemajuan bila menggunakan ayat-ayat Alquran dan hadis sebagai petunjuk serta memercayai adanya sunnatullah. Sedangkan kemunduran umat Islam disebabkan karena menganut paham kehendak mutlak Tuhan serta taqlid pada hasil ijtihad ulama. Amir Ali berharap agar umat Islam mau belajar dari kenyataan sejarah untuk kemudian bgkit kembali mengibarkan panji-panji ilmu pengetahuan.
BAB III
PEMIKIRAN TEOLOGI MUHAMMAD ABDUH
A. Riwayat Hidup Muhammad Abduh
Nama lengkap Muhammad Abduh adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Ia dilahirkan di desa Mahallat Nasr di Kabupaten al-Bukhaira, Mesir pada tahun 1849 M/1216 H yang bertepatan dengan tahun kematian Muhammad Ali Pasha (Hourani1983:130). Ibunya, seorang janda beranak satu saat dinikahi oleh Abduh Khairullah, bernama Junainah (Ridha 1958:17).
Kemampuan baca tulis didapatkannya di rumah. Ia mampu menghafal Alquran pada saat usianya 12 tahun. Setahun kemudian, ia diserahkan ayahnya kepada Syeikh Mujahid, yang masih terhitung kakak ibunya, di Tanta untuk memperhalus bacaannya di Masjid al-Ahmadi. Masjid ini kedudukannya dianggap nomor nomor dua setelah Universitas al-Azhar bila dilihat dari aspek tempat belajar Alquran dan menghafalnya. Abduh merasa system pendidikan di masjid ini tidak memberikan kepuasan intelektual baginya. Oleh karena itu, ia kecewa dan memutuskan untuk pulang ke kampong halamannya dan bertekad untuk tidak kembali ke kehidupan akademis. Pada tahun 1866 M, ia menikah dengan gadis yang sekampung dengannya (Haddad 1995:36--37).
Baru empat puluh hari sejak pernikahannya, ia dipaksa oleh ayahnya kembali ke Tanta untuk meneruskan studinya. Akan tetapi, ia menolak dan melarikan diri ke Kanisah Urin, tempat tinggal kerabat ayahnya yang bernama Syeikh Darwis. Di sinilah Abduh mendapatkan apa yang diharapkannya. Syeikh Darwis sangat berjasa mengantarkan Abduh ke gerbang kesuksesan. Ia menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan bacaan kepada Abduh sehingga Abduh termotivasi untuk terus belajar. Atas motivasi dari Syeikh Darwis, Abduh pun melanjutkan studinya ke al-Azhar, sebuah lembaga pendidikan tinggi yang mempertemukannya dengan ulama-ulama terkemuka di Mesir. Di samping belajar Alquran di al-Azhar, Abduh juga mempelajari ilmu-ilmu yang tidak diajarkan di al-azhar, seperti filsafat, matematika, teologi dan lain sebagainya yang secara puas dan mendalam ia dapatkan dari Syeikh Jamaluddin al-Afghani (Nasution 1987:131).
Pada tahun 1877 M. Abduh berhasil menyelesaikan studinya di al-azhar. Kemudian ia mengajar di almamaternya dan mengajar pula di Dar al-Ulum serta di rumahnya sendiri. Berbeda dengan staf pengajar yang lain, Abduh menggunakan referensi seperti buku Muqaddimah karangan Ibn Khaldun yang dijadikan literature utama di bidang sejarah. Tahdzib al-Akhlan dan Sejarah Peradilan Eropa yang ditulis oleh pemikir terkenal Ghuizoth (Nasution 1987:14--15).
Di samping mengajar, Abduh juga menulis artikel untuk beberapa media massa, seperti Al-Ahram. Keandalannya dalam bidang tulis menulis telah mengantarkannya menjadi pemimpin redaksi pada Al-Waqaiq al-Mishriyah, lembaran Negara yang pernah dipimpin oleh al-Tahtawi pada masa Muhammad Ali (Fahal dan Aziz 1999:16).
Berkat pengaruh gurunya, Abduh mulai aktif dalam kegiatan politik. Keterlibatannya dalam pemberontakan Urabi Pasha menyebabkan ia diasingkan ke luar negeri selama tiga tahun. Atas undangan Jamaluddin al-Afghani, ia pergi ke Perancis untuk bergabung dengannya menerbitkan majalah Al-Urwat al-Wutsqa. Setelah 18 bulan, ia pergi ke Beirut dan mengajar di sekolah Sulthaniyah. Di situlah ia menulis buku Risalah Tauhid dan menerjemahkan Al-Radd ‘Ala al-Dahriyyin, buku tulisan al-Afghani yang semula berbahasa Persia. Di situ pula untuk kedua kalinya ia menikah setelah istri pertamanya meninggal (Ridha 1958:18)
Pada tahun 1888 ia diperbolehkan pulang ke Kairo, tetapi tidak boleh mengajar karena pemerintah takut terhadap pengaruhnya yang besar di kalangan pemuda, terutama mahasiswa. Sebai gantinya, ia diangkat sebagai hakim pada pengadilan negeri yang kelak mengantarkannya menjadi penasehat mahkamah tinggi (Ridha 1931:419--420).
Perpisahan Abduh dengan gurunya menunjukkan adanya perbedaan prinsip di antara mereka, walaupun tujuan mereka sama. Al-Afghani memilih jalur politik praktis, sementara Abduh memilih jalur pendidikan sebagai saran dalam menjalankan misinya. Pada saat ia menjabat sebagai penasehat mahkamah tinggi, ia berusaha mengadakan perbaikan-perbaiakan di Al-Azhar yang sudah lama diidamkannya. Dia ingin membawa ilmu-ilmu modern yang sedang berkembang di Eropa ke Al-Azhar. Usahanya tersebut mendapat tantangan dari ulama yang berpengaruh di Al-Azhar karena menurut mereka pengetahuan modern tersebut bertentangan dengan Islam (Nasution 1987:20).
Pada tahun 1899 M, ia diangkat menjadi mufti Mesir, suatu jabatan resmi penting di Mesir dalam menafsirkan hokum syari’at untuk seluruh Mesir. Fatwa atau ketentuan hukum yang ditetapkannya bersifat mengikat. Fatwa yang dikeluarkannya bukan hanya untuk kepentingan rakyat Mesir semata, tetapi juga untuk kepentingan umat Islam pada umumnya. Pada tahun itu juga, ia diangkat menjadi anggota Majelis Syura (dewan legislatif) Mesir. Sebagai orang yang tidak asing lagi dalam bidang politik, ia turut aktif dalam kegiatan dewanlegislatif tersebut. Atas usahanya, terjalinlah kerjasama antara Majelis Syura dengan pemerintah yang pada awalnya tidak ada kerjasama sehingga pemerintah kemudian mengirim rencana-rencananya untuk dibahas di dalam Majelis. Jabatan sebagai anggota Majelis Syura dipegangnya sampai ia wafat pada tanggal 11 Juli 1905 (Adam 1986:86).
B. Pokok-pokok Pemikiran Teologi Muhammad Abduh
Teologi, dalam definisi Abduh adalah ilmu yang membahas wujud Allah, sifat-sifat-Nya, dan soal kenabian (Abduh 1979:36). Menurut Harun Nasution, definisi ini kurang lengkap. Alam adalah ciptaan Tuhan. Oleh karena itu, teologi juga membahas hubungan Tuhan dengan makhluk-Nya (Nasution 1987:28). Dengan demikian, secara sederhana teologi berarti membahas soal-soal yang berhubungan dengan Tuhan dan hubungan-Nya dengan alam, terutama hubungan Tuhan dengan manusia..
Untuk memudahkan penjelasan tentang teologi Abduh, maka akan dibicarakan satu persatu pokok-pokok pemikirannya.
1.Kedudukan akal dan fungsi wahyu
Abduh memberikan peranan yang besar pada akal. Menurutnya, akal manusia mampu untuk: mengetahui adanya Tuhan dan sifat-sifat-Nya, mengetahui adanya kehidupan di akhirat, mengetahui perbuatan baik dan jahat, mengetahui kewajiban terhadap Tuhan, mengetahui kewajiban berbuat bik dan kewajiban menjauhi perbuatan jahat, membuat hukum-hukum (Nasution 1987:53). Akal, menurut Abduh, dapat mengetahui dua masalah pokok sebagai dasar dalam agama yaitu kewajiban mengetahui Tuhan dan kewajiban melakukan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan jahat. Dua kewajiban ini menjadi dasar bagi kewajiban-kewajiban lain dari manusia terhadap Tuhannya, terhadap dirinya sendiri dan terhadap masyarakat (Nasution 1987:54). Dari pendapat Abduh di atas, dapat dikatakan bahwa akal manusia dapat mengetahui Tuhan serta mengetahui kewajiban melakukan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan jahat tanpa adanya wahyu. Dengan demikian, dalam hal mengetahui Tuhan dan kewajiban berbuat baik serta menjauhi perbuatan jahat tidak terlihat fungsi wahyu.
Bagi Abduh, fungsi wahyu untuk memberikan informasi tentang alam gaib yang penuh misteri, bagaimana mengatur umat manusia dengan baik, menolong manusia mengetahui akhirat, menjelaskan pada akal cara-cara beribadah dan berterimakasih kepada Tuhan. Walaupun akal dapat mengetahui Tuhan dan kewajiban berterimakasih kepada-Nya, tetapi hal tersebut belum dapat dipastikan apakah pendapat akal itu benar atau salah sebelum adanya wahyu (Nasution 1987:58--63). Dengan demikian, selain sebagai informasi, wahyu juga berfungsi sebagai konfirmasi. Wahyu diperlukan untuk menyempurnakan pengetahuan akal tentang sifat-sifat Tuhan, kehidupan sosial, dan untuk mengingat kebesaran Tuhan. Akal manusia dapat menjauhi kehidupan masyarakat yang kacau walaupun wahyu tidak turun karena akal selain dapat membedakan yang baik dan yang buruk, dapat pula mengetahui bahwa manusia wajib berbuat baik dan wajib menjauhi perbuatan yang jahat.
2. Kebebasan Manusia
Menurut Abduh, manusia diciptakan sesuai dengan sifat dasar khusus baginya. Dua diantaranya yaitu berpikir dan memilih perbuatan yang sesuai dengan pemiirannya. Ia percaya bahwa alam diatur berdasarkan hokum alam ciptaan Allah. Jadi, sesuatu yang terjadi tidak terlepas dari hubungan sebab akibat. Misalnya, orang ingin bahagia maka ia harus berusaha mencapai kebahagiaan itu (Ridha 1280 H:73--74). Paham kebebasan manusia ini berpengaruh pada masalah qada dan qadar. Menurutnya, qada menggambarkan kaitan antara pengetahuan Tuhan dengan sesuatu yang diketahui. Pengetahuan menggambarkan keadaan terbuka bukan paksaan. Qadar menggambarkan terjadinya sesuatu sesuai dengan pengetahuan Tuhan. Pengetahuan bukanlah pengetahuan jika tidak sesuai dengan apa yang terjadi dalam kenyataan. Jika tidak ada, yang ada ialah ketidaktahuan atau ketidaknyataan dan ini adalah sesuatu yang tidak masuk akal. Bila dihubungkan dengan perbuatan manusia, Abduh menjelaskan bahwa pengetahuan Tuhan mencakup segala apa yang akan dibuat manusia sesuai dengan kemauannya sendiri, tetapi perbuatan manusia terjadi dengan daya yang diperoleh manusia atas pilihannya sendiri dan tidak ada sesuatu pun yang dalam pengetahuan Tuhan yang membuat manusia kehilangan kemampuan untuk memilih apa yang hendak diperbuatnya (Nasution 1987:67--68).
Tegasnya, manusia diciptakan dengan kemampuan memilih dan mempunyai daya untuk mewujudkan kemauannya. Abduh sangat yakin dengan kemampun dan kebebasan manusia. Abduh berpendapat bahwa kehendak Tuhan tidak mutlak. Tuhan telah membatasi kehendak mutlak-Nya dengan memberi manusia kebebasan dan kesanggupan secara alami yang secara bebas dapat dipergunakan untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Memberi manusia kemauan dan daya untuk berbuat adalah salah satu sunnah Allah. Dengan demikian, qada dan qadar dalam pandangan Abduh adalah ketentuan Tuhan sesuai dengan ukuran atau kondisinya (sunnatullah), bukan kehendak mutlak Tuhan.
3.Sifat-sifat Tuhan
Dalam teologi Islam, terdapat perbedaan pendapat mengenai masalah sifat-sifat Tuhan. Mengenai sifat-sifat Tuhan itu apakah esensi atau lain dari esensi, Abduh mengatakan bahwa hal itu di luar kemampuan manusia untuk mengetahuinya. Menurut Harun Nasution, Abduh lebih cenderung kepada pendapat bahwa sifat itu termasuk esensi (Nasution 1987:71). Untuk menguatkan pendapat ini, Harun Nasution menjelaskan pendapat Muhammad Abduh tentang sifat Tuhan dalam kitab Hasyiah ‘Ala al-Syarh al-Dawani li al-‘Aqaiid al-‘Adudiyah. Dalam kitab tersebut Abduh mengungkapkan bahwa sifat Tuhan itu adalah esensi-Nya karena kalau sifat Tuhan itu bukan esensi-Nya, berarti Tuhan berhajat pada sesuatu yang berada di luar diri-Nya (Nasution 1987:72).Jadi, Abduh berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat yang berdiri sendiri di luar esensi-Nya.
Dalam menafsirkan ayat-ayat antropomorfisme, Abduh yang menggunakan ta’wil. Tuhan termasuk alam ruhani maka akal tidak dapat menerima bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani. Salah satu contoh, ketika menafsirkan surah al-Baqarah ayat 255, Abduh menekankan penafsiran filosofis, Kursi Tuhan berarti pengetahuan Tuhan (Nasution 1987:80). Abduh menafsirkan ayat tersebut dengan ta’wil dan meninggalkan arti lafzi ayat. Ini berarti, ia mengambil makna metaforis dari ayat antropomorfisme. Hal ini membuktikan bahwa Abduh adalah penganut teologi rasional. Dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran, ia tidak terikat pada pendapat siapapun.
Sedangkan mengenai masalah melihat Tuhan, menurut Abduh hal tersebut tidak masuk akal. Tuhan bersifat ruhani karena itu Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala. Dalam bukunya yang berjudul Risalah Tauhid, ia menjelaskan bahwa orang yang percaya kepada tanzih, sepakat mengatakan bahwa Tuhan tak dapat digambarkan dengan kata-kata. Kesanggupan melihat Tuhan dianugerahkan hanya kepada orang-orang tertentu di akhirat. Akan tetapi, dalam kitab Hasyiah, Abduh menjelaskan bahwa Tuhan akan dilihat kelak bukan dengan mata kepala, tetapi dengan suatu daya yang ada pada manusia ataupun daya baru yang akan diciptakan dalam dirinya dan mungkin dalam hatinya
(Nasution 1987:80--81). Dari perbedaan keterangan tersebut dapat dikatakan bahwa Abduh seorang yang cerdas dan memahami keadaan umat Islam. Buku Risalah Tauhid diperuntukan bagi umat Islam kebanyakan sementara kitab Hasyiah diperuntukkan bagi para filosof atau orang-orang yang berpikiran rasional.
Firman atau Alquran, menurutnya mempunyai dua pengertian. Firman dalam pengertian kata-kata yang diucapkan dan firman dalam arti akibat dari kasih Tuhan. Tuhan mahapemurah dan semua yang datang dari-Nya adalah untuk kebahagiaan manusia. Kasih adalah sumber dari semua rahmat-Nya kepada manusia. Untuk kesempurnaan manusia, maka manusia harus memiliki ilmu pengetahuan. Pengetahuan yang benar hanya datang dari pembimbing yang benar. Melalui firman-Nya, Tuhan menurunkan kepada para nabi bimbingan yang diperlukan manusia untuk mencapai kesempurnaannya. Dengan demikian, firman adalah rahmat dan bimbingan Tuhan yang bersumber dari kasih-Nya (Nasution 1987:82--83). Dalam pengertian seperti itu, firman bukanlah sifat Tuhan karena firman merupakan akibat dari kasih Tuhan.
4. Keadilan Tuhan
Tuhan mahabijaksana dan mahasempurna. Ia juga mahaadil sehingga sifat ketidakadilan tidak bisa diberikan kepada Tuhan karena tidak sesuai dengan kemahabijaksanaan dan kesempurnaan hukum-hukum-Nya serta tidak sesuai dengan kesempurnaan peraturan alam. Kkeadilan berkaitn dengan hukuman dan balasan baik. Hukuman diberikan sesuai dengan kejahatan yang dilakukan dan balasan baik diberikan sesuai dengan kebkan yang dibuat. Sifat pemurah Tuhan dapat mengubah derajat balasan terhadap perbuatan baik dengan melipatgandakannya. Akan tetapi, dalam masalah kejahatan perbandingannya tetap satu lawan satu. Menurut Abduh, keadilan Tuhan adalah apabila Ia memberikan balasan baik kepada pelaku kebaikan dan memberi hukuman kepada pelaku kejahatan. Keadilan tidak bisa meliputi pemberian sesuatu kepada orang yang tidak berhak menerimanya dan menahan sesuatu dari orang yang berhak memilikinya (Nasution 1987:79).
Uraian Abduh tentang keadilan Tuhan secara implisit menggambarkan keyakinannya tentang adanya perbuatan-perbuatan wajib bagi Tuhan. Paham adanya kewajiban bagi Tuhan sejalan dengan pendapatnya tentang kehendak Tuhan tidak bersifat absolut.
Abduh berpendapat bahwa alam diciptakanTuhan untuk kepentingan manusia sehingga tidak ada satu pun ciptaan-Nya yang sia-sia. Jika hal ini dikaitkan dengan adanya perbuatan Tuhan yang bersifat wajib, sebagaimana terkandung dalam teorinya tentang hukum alam (sunnatullah), maka dapat dikatakan bahwa Abduh berpendapat Tuhan mempunyai kewajiban terhadap manusia. Baginya, Tuhan wajib untuk berbuat apa yang terbaik bagi manusia. Kewajiban Tuhan tersebut bersumber pada sifat kemahasempurnaannya. Kewajiban itu Tuhan letakkan sendiri pada diri-Nya dengan kemauan dan pilihan Tuhan sendiri (Nasution 1987:84--85).
Kewajiban berbuat baik juga ada kaitannya dengan pengiriman rasul. Akal manusia masih terbatas, sehingga tidak dapat mengetahui segalanya.Untuk kebaikan manusia, ia harus mengetahui apa yang baik dan apa yang tidak baik bagi dirinya. Oleh Karena itu, Tuhan wajib mengutus rasul untuk menolong manusia menyempurnakan pengetahuannya tentang kebaikan dan kejahatan. Selain itu, Abduh juga mengatakan bahwa Tuhan wajib menepati janji dan ancaman-Nya (Nasution 1987:87--88). Dengan demikian, menurut Abduh, Tuhan mempunyai kewajiban terhadap manusia berkaitan dengan pembalasan baik bagi pelaku kebaikan dan pemberian hukuman bagi pelaku kejahatan. Di samping itu, Tuhan juga wajib menepati janji dan ancaman-Nya pada manusia sehingga janji dan ancaman Tuhan harus terlaksana.
5. Konsep Iman
Iman erat sekali hubungannya dengan akal dan wahyu. Iman yg didasarkan pada wahyu disebut tasdiq, yaitu membenarkan apa yang didengar. Iman yang didasarkan pada akal disebut ma’rifah, yaitu mengetahui benar apa yang diyakini. Tasdiq berdasarkan pada pemberitaan, sedangkan ma’rifah berdasarkan pada pengetahuan mendalam. Dalam aliran teologi rasional, yaitu teologi yang memberi kedudukan yang tinggi pada akal, iman bukanlah tasdiq tetaoi ma’rifah atau amal perbuatan. Menurut Abduh, iman adalah ‘ilm (pengetahuan), I’tiqad (kepercayaan) atau yaqin (keyakinan) (Nasution 1987:89).
Abduh berpendapat bahwa iman ada dua macam, yaitu iman kaum khawas dan iman kaum awam. Kaum khawas mempunyai kesanggupan untuk mengetahui Tuhan dan alam gaib. Oleh karena itu, iman kaum khawas disebut iman hakiki (iman sebenarnya). Sementara kaum awam tidak memilki kemampuan untuk itu dan harus bergantung pada wahyu dan penjelasan kaum khawas. Oleh karena itu, iman kaum awam disebut iman taqlidi, yaitu iman yang diterima secara turun temurun dari nenek moyangnya. Iman haqiqi mendorong pada amal perbuatan (Nasution 1987:90—91). Dengan demikian, iman haqiqi akan memotivasi manusia untuk bersikaf aktif dan dinamis. Sementara iman taqlidi cenderung membuat manusia pasif dan statis.
Muhmad Abduh merupakan seorang yang sangat rasioanl dalam berpikir. Hal ini disebabkan karena ia mengalami kontak langsung dengan peradaban Barat. Ia membaca buku-buku karangan orang Barat dan mempunyai sahabat-sahabat di kalangan orang Barat sehingga ia terbisa dengan pemikiran yang liberal. Harun Nasution bahkan menyebutnya lebih rasionl dari Mu’tazilah. Dari seluruh pemikiran teologinya sangat cocok dengan ciri-ciri pemikiran teologi rasional yang telah dijelaskan dalam bab pertama. Abduh sangat menghargai akal manusia dalam sistem teologinya. Penghargaan yang tinggi pada kemampuan akal merupakan cirri utama dari teologi rasional. Abduh sangat ingin mengubah kestatisan dan kepasifan umat Islam menjadi kedinamisan dan keaktifan sehinga umat Islam kembali menjadi kiblat peradaban manusia. Namun, keinginan tetaplah sebuh keinginan, umat Islam sampai saat ini masih berkiblat pada peradaban Barat.
BAB IV
PEMIKIRAN TEOLOGI MUHAMMAD RASYID RIDHA
A.Riwayat Hidup dan Perjuangannya
Nama lengkapnya adalah Muhammad Rasyid Ibn Ali Ridha Ibn Muhammad Syamsuddin al-Qalamuny. Ia lahir di desa Qalamun dekat kota Tripoli daerah Syiria (Syam), pada tanggal 27 Jumada al-Ula 1282 H/1865 M. (Depag 1993:992). Menurut keterangan, ia berasal dari keturunan al-Husein, cucu Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, ia memakai gelar al-Sayyid di depan namanya (Nasution 1992:69).
Rasyid Ridha kecil belajar membaca Alquran, menulis, dan dasar-dasar berhitung di Madrasah tradisional di kampungnya. Kemudian ia melanjutkan ke sekolah al-Rasyidiyah, sebuah sekolah milik pemerintah Tripoli yang bertujuan untuk menyiapkan pegawai pemerintahn Turki. Baru setahun belajar, ia keluar karena tidak berniat menjadi pegawai pemerintah (Fahal dan Aziz 1999:27). Meskipun ia hanya sempat belajar setahun di sekolah al-Rasyidiyah, namun pelajaran yang dipelajarinya di sana sangat berpengaruh dalam perkembangan pemikirannya yang cerdas.
Pada tahun 1882 M, Rasyid Ridha melanjutkan sekolahnya di Madrasah al-Wathaniyah di Tripoli. Madrasah al-Wathaniyah adalah sebuah sekolah yang didirikan oleh seorang ulama yang berwawasan dan berpengalaman modern, yaitu al-Syeikh Husain al-Jisr. Di madrasah tersebut, Rasyid Ridha belajar bahasa Arab, Turki dan Perancis. Di samping diajarkan ilmu-ilmu agama, diajarkan pula ilmu-ilmu modern (Nasution 1998:153). Ilmu-ilmu tersebut diajarkan karena al-Jisr berpendapat bahwa umat Islam tidak akan maju bila tidak menguasai ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu keduniaan dengan metode modern Eropa. Dengan demikian, al-Jisr berharap madrasah yang ia dirikan itu dapat sejajar dengan sekolah-sekolah asing di Eropa dan Amerika (al-Syirbasyi tt:121). Di samping itu, Madrasah ini didirikan untuk mengimbangi sekolah-sekolah Kristen yang bermunculan dan menarik minat orangtua untuk memasukkan anak mereka ke sekolah Kristen tersebut.
Madrasah al-Wathaniyah rintisan al-Jisr tidak bertahan lama karena mendapat tantangan dari pemerintah Turki. Meskipun demikian, hubungan antara Rasyid Ridha dan gurunya, al-Jisr, tidak terputus. Rasyid Ridha tetap aktif mengikuti kuliah-kuliah gurunya di tempat lain(al-Syirbasyi tt:121). Tampaknya, Syeikh al-Jisr inilah yang menjadi pembimbing Rasyid Ridha di masa mudanya. Al-Jisr telah menempa kepribadian Rasyid Ridha muda sehingga ia tekun mendalami ilmu-ilmu agama secara otodidak. Salah satu buku yang dipelajarinya dengan serius adalah kitab Al-Ihya’ ‘Ulum al-Din karangan al-Ghazali (Adams 1986:171).
Ketika majalah Al-Urwat al-Wutsqa sampai ke tangan Rasyid Ridha, ia baca dan salin kemudian ia diskusikan dengan gurunya, al-Jisr. Majalah tersebut semakin mengristalkan semangat pembaharuan dalam dirinya dan menggugah semangat perjuangannya (al-Adawi tt:70--71). Dengan demikian, pondasi pemikiran yang telah dibentuk oleh al-Jisr semakin kokoh setelah Rasyid Ridha berkenalan dengan pemiiran-pemikiran al-Afghani dan Abduh lewat majalah Al-Urwat al-Wutsqa.
Setelah mengenal pemikiran al-Afghani dan Abduh lewat majalah tersebut, timbul keinginannya untuk bertemu dan bergabung dengan kedua tokoh tersebut. Ketika ide-ide pembaharuannya mendapat tantangan dari pemerintahan Turki, Rasyid Ridha hijrah ke Mesir untuk menemui Abduh. Pada tanggal 24 Januari 1898 M, Rasyid Ridha bertemu dengan tokoh idolanya tersebut di rumahnya. Bersama Abduh, ia berhasil memublikasikan ide-ide pembaharuan mereka lewat majalah Al-Manar. Edisi pertama majalah ini terbit pada tanggal 15 Maret 1898 M / 22 Syawal 1315 H. (al-Syirbasyi tt:136). Tampaknya tidak sampai tiga bulan waktu yang diperlukan Rasyid Ridha untuk meyakinkan Abduh tentang pentingnya menerbitkan suatu majalah sebagai media pembaharuan Islam.
Di antara ide-ide yang dilontarkan Abduh dan Rasyid Ridha melalui majalah al-Manar adalah pembaharuan dalam bidang agama, sosial, ekonomi, dan pemurnian tauhid dari berbagai takhayul dan bid’ah yang telah merusak akidah umat Islam. Selain itu, membenahi paham-paham keliru yang telah dibawa oleh syeikh tarekat dan tasawuf, meningkatkan mutu pendidikan dan membebaskan umat Islam dari permainan politik Barat merupakan tujuan dari pembaharuan mereka (al-Syirbasyi tt;137). Bila dilihat dari cakupan pembaharun yang dilontarkan oleh Abduh dan Rasyid Ridha ini, maka terbayang dalam benak betapa luasnya bidang yang ingin dijangkau. Namun, walaupun tidak semua cita-cita pembaharuan mereka terealisasi, setidaknya pemikiran mereka telah memberi pengaruh terhadap umat Islam secara luas.
B. Corak Teologi Rasyid Ridha
Rasyid Ridha mengakui adanya paham fatalisme di kalangan umat Islam yang merupakan salah satu faktor penyebab kemunduran umat Islam di berbagai bidang kehidupan. Menurutnya, salah satu penyebab kemajuan Eropa adalah karena mereka aktif dan dinamis setelah mereka melepaskan diri dari keterikatan agama dan menggantikannya dengan paham kebangsaan. Sedangkan umat Islam (zaman klasik) bersikap aktif dan dinamis karena ajaran Islam itu sendiri (Nasution:1992:74). Islam pada dasarnya mengajarkan umatnya untuk selalu aktif dan dinamis. Oleh karena itu, Ia menganjurkan agar umat Islam meninggalkan paham fatalis yang telah membuat umat Islam menyerah pada nasib dan menggantinya dengan aktif dan dinamis.Sikap aktif dan dinamis ini telah berhasil membawa umat Islam zaman klasik pada puncak kejayaan diberbagai bidang kehidupan. Namun, sikap aktif dan dinamis akhirnya hilang dan kemudian digantikan dengan sikap fatalis. Beberapa aspek pemikiran teologi Rasyid Ridha akan dijelaskan berikut ini.
1. Peran Akal dan Fungsi Wahyu
Berbeda dengan Muhammad Abduh yang mengatakan akal manusia mampu mengetahui Tuhan dan sifat-sifatnya, mengetahui adanyan hidup akhirat, mengetahui perbuatan baik dan buruk, mengetahui kewajiban terhadap Tuhan, mengetahui kewajiban berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat dan membuat hukum-hukum (Nasution 1987:54), Rasyid Ridha berpendapat bahwa kekuatan atau kemampuan akal hanya untuk mengetahui ajaran-ajaran tentang mu’amalah, bukan ibadah (Ridha 1280 H:19). Menurutnya, akal dapat dipakai terhadap ajaran-ajaran kemasyarakatan, tetapi tidak terhadap ajaran tentang ibadah. Dengan demikian, ijtihad menurutnya hanyalah dalam bidang kemasyarakatan bukan dalam bidang ibadah. Oleh karena itu, akal hanya dapat digunakan terhadap ayat-ayat dan hadis yang tidak mengandung arti tegas dan terhadap persoalan-persoalan yang tidak dijelaskan oleh Alquran dan hadis. Di sinilah letak dinamika Islam menurutnya (Hourani 1983:228--229). Dari perbedaan ini dapat diketahui bahwa Rasyid Ridha tidak memberikan peranan akal sebesar yang diberikan Muhammad Abduh. Hal ini bisa dipahami karena Rasyid Ridha salafnya Muhammad Abduh dan Ahmad Ibn Hanbal. Sementara salafnya Abduh adalah para filosof. Oleh karena itu, walaupun metode berpikir Rasyid Ridha adalah metode berpikir Muhammad Abduh, namun sistem teologinya berbeda.
Selain perbedaan dalam masalah peran akal bagi manusia, dalam masalah fungsi wahyu pun terdapat perbedaan antara murid dan gurunya tersebut. Menurut Rasyid Ridha, wahyu justru lebih banyak memberikan informasi daripada konfirmasi. Alquran, menurutnya adalah hidayah bagi umat manusia. Alquran harus dipahami untuk selanjutnya diaktualisasikan dalam realitas sosial. Alquran yang masih merupakan konsep samawi tersebut perlu diinterpretasikan secara modern. Oleh karena itu, ia mendesak gurunya (Abduh) untuk menafsirkan Alquran secara modern. Obsesinya ini mulai terealisasi ketika Abduh memberi kuliah tafsir modern di al-Azhar (Nasution 1992:69). Keterangan-keterangan gurunya disaat memberi kuliah ia catat dan susun dalam bentuk karangan yang sistematis. Hasil tulisan tersebut kemudian diserakannya kepada Abduh untuk mendapatkan persetujuan setelah diperiksa terlebih dahulu. Tulisan tersebut kemudian dipublikasikan melalui majalah al-Manar yang kemudian dikenal sebagai Tafsir al-Manar. Muhammad Abduh memberikan kuliah tafsir sampai ia meninggal pada tahun 1905 M.
2. Kebebasan Manusia
Rasyid Ridha berpendapat bahwa sesuatu yang terjadi itu sesuai dengan qada dan qadar Tuhan dan mempunyai sebab akibat (Ridha 1987:386--394). Pendapatnya ini mengindikasikan bahwa ia mempercayai sunnatullah di samping percaya terhadap qada dan qadar. Namun disayangkan, ia tidak menjelaskan bagaimana qada dan qadar itu sesungguhnya. Dengan adanya kepercayaan terhadap qada dan qadar ini, membuat manusia tidak bebas sepenuhnya dalam berkehendak dan berbuat. Walaupun mempercayai qada dan qadar, ia tidak bersikap fatalis karena ia juga mengakui adanya kausalitas (sebab akibat) dalam alam. Jadi, segala sesuatu yang terjadi sesuai dengan sunnatullah dan tidak bertentangan dengan qada dan qadar.
3.Surga dan Neraka
Menurut Rasyid Ridha, balasan yang akan diterima manusia di akhirat kelak adalah balasan dalam bentuk jasmani, bukan dalam bentuk ruhani seperti pendapat gurunya (Ridha 1280 H:154--155). Lebih jauh ia berpendapat zindiq bagi orang yang menyangkal kemampuan manusia untuk melihat Tuhan di akhirat nanti (Ridha 1987:295--302). Pendapatnya ini tampaknya sama dengan pendapat ulama salaf. Ulama salaf berpendapat bahwa kenikmatan surga dan siksaan neraka itu bersifat jasmani. Pendapat mereka didasarkan pada penjelasan Alquran pada surah al-Baqarah ayat 25 yang menggambarkan secara empiris tentang surga dan neraka. Rasyid Ridha dan ulama salaf tidak menafsirkan secara filosofis ayat tersebut dan mereka mengambil makna lafzinya sehingga mereka berpendapat demikian. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa manusia bisa melihat Tuhan, tetapi bukan dengan mata yang ada seperti saat ini.
4.Sifat-sifat Tuhan
Dalam teologi Islam terdapat perbedaan mengenai masalah apakah Tuhan mempunayi sifat atau tidak. Sifat di sini maksudnya adalah wujud sendiri di samping esensi-Nya. Dalam memahami persoalan ini, Rasyid Ridha tidak menggunakan ta’wil (metaforis atau analisis filosofis). Sikapnya dalam memahami sifat Tuhan, seperti ‘ilmu, qudrah, iradah, basher, sama’, dan sebagainya, cenderung sama dengan kaum salaf. ‘Ilmu Tuhan tidak timbul seperti ilmu manusia dan tidak diperoleh melalui panca indera dan akal. Hal ini tidak dapat dibayangkan bagaimana caranya (laisa kamitslihi syai un) (Ridha 1280 H:147--152).Dengan demikian Rasyid Ridha berpendapat bahwa Tuhan memiliki sifat, tetapi sifat-Nya tidak sama dengan sifat manusia.
5. Antropomorfisme
Kajian tentang antropomorfisme pada umumnya mengungkapkan masalah penafsiran ayat-ayat Alquran yang tidak dapat dimengerti maksudnya tanpa menggunakan ta’wil. Ayat-ayat tersebut menggambarkan sifat-sift jasmani Tuhan seperti surat Thaha ayat 5 dan 39; al-Qashash ayat 88; Shad ayat 75; al-Zumar ayat 67; dan al-Fajr ayat 22 (Yusuf 1990:63).Penggunaan ta’wil terhadap ayat-ayat tersebut dilakukan dalam format teologi rasional, sementara pemahaman ayat-ayat tersebut sesuai dengan indikasi empiriknya diterapkaan dalam format teologi tradisional.
Rasyid Ridha tidak menggunakan ta’wil dalam menafsirkan ayat antropomorfisme. Sebagai contoh, ketika menafsirkan surah al-Baqarah ayat 255, ia mengatakan bahwa kursi Tuhan masih berarti kursi meskipun tidak sama dengan kursi di dunia ini (Nasution 1992:76). Dilihat dalam masalah ini, Rasyid Ridha tampaknya berpaham teologi tradisional yang cirinya antara lain mengambil makna lafzi dari ayat-ayat yang tidak jelas artinya(maksudnya).
Dari beberap pendapat Rasyid Ridha dalam bidang teologi, maka dapat dikatakan bahwa pemikirannya dalam bidang agama (corak teologinya) cenderung tradisional walaupun ia menggunakan metode berpikir Abduh. Ia masih memakai pendapat-pendapat ulama sebelumnya dan masih mengambil makna lafzi dari ayat-ayat antropomorfisme sehingga dalam bidang teologi ia lebih cenderung pada Asy’ariyah. Akan tetapi, pemikirannya dalam bidang kemasyarakatan cenderung rasional misalnya dalam bidang pendidikan dan politik kenegaraan.
BAB V
PEMIKIRAN TEOLOGI MUHAMMAD IQBAL
A.Riwayat Hidup Iqbal
Iqbal dilahirkan di Sialkot, Punjab (Sekarang masuk ke dalam wilayah Pakistan) (Nasution 1992:190). Tanggal dan tahun kelahiran Iqbal belum disepakati para ahli. Miss-Luce Claude Maitre, diikuti oleh Usman Raliby dan Bahrum Rangkuti dan Mukti Ali, mencatat kelahiran Iqbal pada tanggal 22 Pebruari 1873 (Ali 1998:173). Namun, yang umum disepakati adalah ia lahir pada tanggal 9 Nopember 1877 M dan wafat di puncak kejayaan dan kemasyhurannya pada tanggal 21 April 1938 M di Lahore.
Walaupun berasal dari keluarga kasta Brahmana yang mendiami lembah Kasymir, tetapi keluarganya sudah memeluk Islam sejak tiga abad sebelum kelahiran Iqbal dan menjadi penganut Islam yang taat. Kakeknya, Muhammad Rafiq adalah seorang sufi terkenal. Demikian juga Bapaknya, Muhammad Nur, juga adalah seorang muslim yang sangat disiplin dalam mengamalkan ajaran agama serta berada dalam tradisi kehidupan sufi. Ibunya, Imam Bibi, merupakan seorang muslimah yang sangat religius (Malik 1992:10).
Dalam suasana keluarga yang religius inilah Muhammad Iqbal lahir dan memeroleh pendidikan dan bimbingan. Di samping pendidikan dan bimbingan dari kedua orangtuanya, ia juga mendapat bimbingan dari beberapa orang guru. Salah seorang guru yang dapat dikatakan berpengaruh besar terhadap perkembangan pemikiran Muhammad Iqbal adalah Mir Hasan (Fahal dan Aziz 1999:100).
Pada tahun 1895 M, setelah tamat dari Scotch Mission College di Sialkot, ia kemudian melanjutkan studinya pada Government College di Lahore. Di sana ia sempat berguru kepada salah seorang tokoh orientalis terkemuka, Thomas Arnold. Selanjutnya, atas motivasi yang diberikan Arnold, ia akhirnya berangkat ke Eropa untuk belajar di Cambridge University dan berguru kepada R.A. Nicholson, seorang spesialis dalm kajian sufisme. Selain itu, Iqbal juga belajar kepada dua orang penganut Neo-Hegelianisme, John Mc.Taggart dan Jame Ward (Esposito 1990:214). Iqbal juga belajar di Heidelberg dan Munich, yang kemudian menyelesaikan studinya pada tahun 1908 M dengan disertasi yang berjudul The Development of Methaphisics in Persia (Fahal dan Aziz 1999:100).
Pergulatan dan pengembaraannya di dunia keilmuan selama di Eropa, sedikit banyak telah memberikan kesadaran baru akan kelemahan dan keunggulan peradaban modern yang berkembang di Barat. Ia melihat ada nilai-nilai baik yang transcendental yang hilang dalam peradaban modern di Barat. Di sisi lain, ia melihat keluasan vitalitas dan aktivitas kehidupan orang-orang Eropa. Keluasan vitalitas dan aktivitas inilah yang justru hilang dari orang-orang Timur (Islam) (Smith 1979:117—118).
Setelah kembali dari Eropa (1908), Iqbal sempat menjalankan profesi sebagai dosen pada perguruan tinggi pemerintah. Akan tetapi, karena sesuatu sebab ia keluar dan lebih banyak menggunakan waktunya sebagai pengacara. Di samping itu, ia menyalurkan gagasan dan pemikiranya melalui kegemarannya menulis puisi dan prosa. Demikianlah sosok Iqbal yang dikenal sebagai pemikir dan pembaharu dunia Islam sekaligus dikenal sebagai penyair dari Pakistan.
B. Konsep Teologi Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal, penyair-pemikir dari Pakistan, seorang tokoh terkemuka yang berusaha mengubah nasib individu-individu bahkan bangsa-bangsa melalui tulisan-tulisan dan pidato-pidatonya. Ia lahir pada saat umat Islam berada di titik nadir peradaban dunia. Umat Islam yang pernah mencapai puncak kejayaan peradaban dunia telah menjadi hamba-hamba kaum imperialis dan kolonialis. Para ilmuwan Islam yang dulu terkemuka berubah menjadi terkebelakang dari segi intelektual dan tertinggal dari segi keilmuan sehingga umat Islam telah kehilangan segala-galanya termasuk bidang moral dan kerohanian. Menyadari hal tersebut, ia berusaha mengubah pandangan umat Islam tentang kehidupan melalui pemikiran-pemiiran cerdasnya. Walaupun secara implisit tidak ditemukan karya Iqbal yang khusus membahas masalah teologi, namun pandangan Iqbal di bidang teologi dapat dipahami dari argumen-argumen filosofisnya. Beberapa pemikiran teologisnya akan dijelaskan berikut ini.
1. Akal dan Wahyu
Islam berkembang bukan hanya sebagai agama, tetapi juga sebagai kebudayaan. Dalam perkembangan sejarah Islam, peranan akal sangat penting dalam kedua aspek tersebut. Ketika membahas masalah keagamaan, ulama Islam tidak hanya berpegang pada wahyu, tetapi banyak juga yang memakai pendapat akal. Peranan akal yang besar dalam membahas masalah keagamaan ditemukan pada hampir semua bidang, seperti filsafat, teologi, fikih, dan bahkan tafsir.
Dalam kajian teologi, permasalahan kedudukan akal di samping wahyu telah menjadi pembicaraan para teolog. Permasalahan yang dibicarakan adalah kesanggupan akal dan fungsi wahyu terhadap dua permasalahan pokok dalam agama, yaitu Tuhan serta kebaikan dan kejahatan.
Pemikiran Iqbal tentang bagaimana kedudukan akal dan dalam mengetahui Tuhan, dapat diketahui dari bukunya Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam (terj.). Dalam buku tersebut, ia mengemukakan kemampuan akal dengan argumen-argumen filosofis yang diyaini dalam filsafat untuk mengetahui zat yang tidak terbatas. Sebelum mengemukakan pendapatnya, ia mengemukakan tiga argumen yang dikemukakan filsafat skolastik, yaitu argumen kosmologis, teleologis, ontologis.
Argumen kosmologis menganggap dunia sebagai suatu akibat yang terbatas, dengan melalui serangkaian mata rantai yang terdiri dari sebab akibat. Dengan sebab akibat tersebut, kita akan sampai pada sebab pertama. Namun, dalam pandangan Iqbal, argumen ini sangat lemah. Menurutnya, akibat dari suatu sebab yang terbatas akan muncul akibat yang terbatas pula atau sekurang-kurangnya akan terjadi mat rantai yang tidak berkesudahan. Oleh sebab itu, perjalanan dari yang terbatas menuju yang tidak terbatas (Tuhan) dalam argumen ini secara logis tidak bisa diterima (Iqbal 1982:33).
Di samping argument kosmologis, ada argument teleologis. Argumen ini menurut Iqbal tidak lebih baik dari argume kosmologis. Menurutnya, argument ini hanya mampu mengungkapkan zat Tuhan sebagai perencana bukan pencipta (Iqbal 1982: 33). Dengan argument ini, manusia hanya berda di bawah ilustrasi Tuhan sebagai Sang perencana, bukan pencipta, karena yang ditekankan teleologis adalah kesearahan dan keteraturan alam menuju satu titik kesinambungan.
Argumen ontologis sebagai argument dalam membuktikan adanya Tuhan tampaknya dapat diterima Iqbal. Argumen ini sesungguhnya didasari oleh pemikiran Descartes. Menurut Iqbal, pemikiran Descartes dapat menuntun pemikiran kita bahwa sesungguhnya manusia memiliki gagasan tentang suatu wujud sempurna dalam pikirannya. Sumber gagasan itu menurutnya tidak datang dari alam, sebab alam hanya mengemukakan perubahan. Alam tidak mampu menciptakan gagasan tentang wujud sempurna. Oleh sebab itu, menurut Iqbal pasti ada faktor objektif yang merupakan sebab timbulnya gagasan tentang wujud sempurna. Meskipun Iqbal sependapat dengan argumen ini, tetapi ia juga mengemukakan kritikan, yaitu sesuatu yang berbentuk gagasan, belum tentu itu yang sesungguhnya, sebab menurut Iqbal, antara pikiran dan kenyataanobjektif terbentang jurang yang tidak bisa dilintasi oleh pemikiran transendental (Iqbal 1982:34). Dari pendapat Iqbal tersebut, dapat dipahami bahwa Iqbal mengakui kemampuan akal untuk mencari suatu gagasan tentang Wujud Yang Sempurna. Atas dasar ini dapat dikatakan Iqbal mengakui kemampuan akal untuk mengetahui adanya Tuhan.
Meskipun demikian, apakah akal mampu mengetahui perwujudan gagasan atau ide tersebut dalam dunia nyata, Iqbal dengan tegas mengatakan ada jurang pemisah antara konsep dengan kenyataan. Ini menunjukkan bahwa ia hanya mengakui adanya gagasan tentang Tuhan, namun bagaimana dan apa yang harus diperbuat manusia terhadap gagasan tersebut menurutnya harus ada realitas lain (Iqbal 1982:34). Akal menurut Iqbal bukanlah segala-galanya. Akal baginya merupakan alat perekam pasif sehingga ia harus dibimbing dengan kreatifitas moral yang positif (Tuhan) (Iqbal 1995:95). Pengakuannya terhadap adanya realitas lain menunjukkan bahwa ia mengakui bahwa manusia memerlukan wahyu untuk membimbingnya. Dengan demikian, meskipun akal mampu menangkap ide tentang Wujud Yang Sempurna dan juga menangkap ide-ide lainnya seperti ide kebaikan, bedanya dengan kejahatan, wahyu adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan. Wahyu di sini berfungsi untuk menjelaskan rincian dari segala sesuatu yang harus diperbuat manusia terhadap Tuhannya.
2. Perbuatan Manusia
Pemikiran Iqbal tentang kebebasan manusia dalam perbuatan dapat dilihat dari kritikan serta pandangannya tentang mekanisme determinisme pengetahuan alam, yang menolak otonomi dan kebebasan manusia dan bertopeng pada pandangan kusalitas. Menurut Iqbal, manusia memiliki otonomi penuh dalam menciptakan perbuatannya. Hal ini dikemukakannya dalam baris-baris terakhir dari puisi Shikwa Comlaint Nadr. Puisi ini berbicara tentang tanggapan Tuhan atas ratapan kaum Muslimin terhadap kondisi hidupnya. Inilah kutipan dari puisi tersebut:
Jika kau Muslim sejati
takdirmu adalah meraih apa yang kau inginkan
jika tak kau lepaskan keimanan kepada Muhammad
kami akan selalu bersamamu
apa arti dunia yang menyedihkan ini?
kami menawarimu tuk menulisinya dengan pena dan buku sejarah (Lee 2000:77).
Dari kutipan puisi tersebut dapat dipahami bahwa sesungguhnya Iqbal menginginkan kaum muslimin memahami bahwa mereka memikul tanggung jawab atas kesengsaraannya sendiri, bukan kehendak dari kekuatan lain. Baginya, fatalisme dan mekanismenya telah melumpuhkan vitalitas, kreatifitas, dan kekuatan diri. Ia melihat dunia sebagai produk usaha manusia. Pendirianya yang lebih nyata tentang kebebasan manusia dalam berbuat dapat dilihat dari bait puisinya berikut:
Dunia yang kau lihat ini bukanlah buatan Tuhan
kaulah penyebab jentera perintahmu berputar
pun benang yang bergulung kepadanya
tunduklah pada hukum imbalan perbuatan
karena dari perbuatan terlahir neraka, pembersihan
jiwa dan surga (Lee 2000:77).
Puisi di atas memuat dua hal penting dari pemikiran Iqbal, yaitu tentang kebebasan manusia dalam menentukan perbuatannya dan adanya hari pembalasan (surga dan neraka). Menurut Iqbal, Tuhan telah memercayakan dunia pada manusia untuk mengelolanya sekaligus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya di dunia. Dengan demikian, Iqbal berpendapat bahwa manusia bebas menentukan sendiri perbuatan yang diinginkannya sementara Tuhan hanya sebagai pemberi potensi bagi perbuatan tersebut. Jadi Tuhan tidak pernah memaksa manusia untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.
Manusia berhak secara penuh dalam merealisasikan perbuatan yang diinginkannya. Meskipun manusia bebas berbuat, namun Tuhan tetap memberikan balasan sebagai akibat perbuatan manusia itu sendiri. Hal ini menunjukkan kemahaadilan Tuhan karena hukum keadilan dalam pandangan Iqbal adalah suatu kemestian.
3. Antropomorfisme
Iqbal telah melakukan lompatan pemikiran yang agak mencengangkan dalam hal antropomorfisme. Berbeda dengan pemikiran para teolog pada umumnya yang menafsirkan tangan Tuhan atau kursi Tuhan, Ia mengangkat contoh tentang hakikat surga dan neraka. Neraka, menurutnya, bukanlah tempat pembalasan bagi pengutukan abadi atas manusia yang berdosa. Neraka bukan tempat pembalasan dendam melainkan suatu pengalaman kreatif yang mungkin menyebabkan ego yang telah membatu kembali peka terhadap tiupan angin berkah Ilahi. Apa yang dimaksud surga dan neraka dalam Alquran, menurut Iqbal, sesungguhnya adalah suatu keadaan bukan tempat (Nasution 1987:81). Di samping itu, manusia mengalami dua taklif (beban tanggung jawab) yaitu di dunia dan di akhirat. Itu bermakna bahwa dunia dan akhirat adalah sama, baik tabiat maupun tujuannya. Pendapat Iqbal lebih jelas ketika ia menafsirkan kata kekal yang berkaitan dengan neraka dan surga. Kekal menurutnya adalah suatu kenyataan atau suatu masa atau periode permulaan bagi periode lain bagi manusia untuk abadi atau beramal demi kekekalan dan keabadiannya (al-Bahiy 1986:312).
Pendapat Iqbal tersebut, sekilas tampak bertentangn degan keterang Alquran yang mengatakan bahwa ahirat adalah tempat ketenangan, yaitu tempat tidak terdapat ujian dan cobaan serta tempat pembalasa bagi kejahatan. Apa yang telah disampaikan iqbal melalui penafsirannya tersebut hanya merupakan suautu tindakan spekulatif dan tidak bersifat doctrinal. Namun demikian, ia ternyata telah berani melakukan suatu lompatan yang terlalu berani mengingat kondisi umat Islam yang belum sepenuhnya dapat menerima pemikiran-pemikiran yang rasionalis atau filosofis.
Dari berbagai pendapat Iqbal tersebut, dapat dikatakan bahwa ia adalah seorang yang berpaham teologi rasional. Iqbal sangat menghargai akal manusia tetapi ia tetap mengakui kebenaran wahyu. Di samping itu, Iqbal sangat menekankan kebebasan manusia dalam berkehendak dan berbuat sehingga manusia dapat melakukan perubahan. Kebebasan manusia disertai dengan adanya tanggung jawab sehingga manusia akan menerima pembalasan sesuai dengan apa yang telah dilakuknnya.
BAB VI
PEMIKIRAN TEOLOGI SAYYID ABUL A’LA AL-MAUDUDI
A.Riwayat Hidup Sayyid Abul A’la al-Maududi
Sayyid Abul A’la al-Maududi (selanjutnya hanya ditulis Maududi) lahir di Aurangabad, India Selatan pada tanggal 25 September 1903 dan wafat pada tanggal 23 September 1979 di New York, Amerika Serikat (Fahal dan Aziz 1999:119). Ia mendapatkan pendidikan agama secara tradisional di dua madrasah, yaitu madrasah Fauqaniyah dan madrasah Dar al-Ulum di tempat kelahirannya. Sedangkan keinginannya untuk mengikuti pendidikan tinggi tidak dapat terlaksana karena ayahnya wafat ketika Maududi sedang belajar di madrasah Dar al-Ulum sehingga ia tidak mempunyai biaya untuk keperluan studinya itu. Maududi kemudian belajar secara otodidak dan tampil menjadi seorang wartawan yang piawai dan menulis sejumlah artikel dan risalah-risalah pendek mengenai masalah-masalah keagamaan, social, dan politik (Sjadzali 1993:157—165).
Profesi sebagai wartawan dimulai sejak usianya 15 tahun, yaitu pada tahun 1918. Dua tahun kemudian (1920), ia diangkat menjadi editor surat kabar berbahasa Urdu, Taj, yang terbit di Jabalpore. Prestasinya sebagai wartawan sangat bagus sehingga ia diangkat menjadi pimpinan editor di dua surat kabar yang menginduk pada Al-Jam’iyat-I Ulama-i Hind, yaitu Muslim (1921—1923) dan Al-Jam’iyyat (1924—1928). Maududi berhasil menjadikan Al-Jam’iyyat sebagai surat kabar Islam yang cukup berpengaruh di India pada decade 1920-an. Empat tahun berselang, 1932, ia memimpin penerbitan majalah yang berorientasi kebangkitan Islm, Tarjuman Al-Qur’an, di Hyderabad. Dari sini dapat dilihat bahwa Maududi merupakan seorang wartawan yang sangat propesional dan produktif yang sulit dicari tandingannya (Fahal dan Aziz 1999:121).
Terpanggil oleh keprihatinan politik, sebagai masyarakat yang menghendaki Negara Islam yang terpisah dari India, Maududi membentuk Jamaat-i Islami, sebuah organisasi Islam yang bergerak di bidang politik. Maududi memimpin organisasi tersebut selama 30 tahun, yaitu sejak tahun 1941 hingga 1971. Sejak Negara Pakistan terbentuk pada tahun 1947, Maududi tampil sebagai pejuang yang berupaya menjadikan Islam sebagai pandangan hidup dan dasar konstitusi Negara. Maududi melihat fenomena bahwa para pendiri Pakistan seperti Ali Jinnah, cenderung tidak konsisten melaksanakan Islam dalam kehidupan bernegara. Perjuangan politik Maududi ini sering dianggap sebagai ancaman oleh pihak penguasa. Oleh karena itu, antara tahun 1948—1967 tidak kurang dari empat kali Maududi ditahan dan dipenjarakan (Nasution dkk 1992:632).
Selain itu, Maududi dikenal juga sebagai dai yang sangat aktif. Bahkan, seluruh aktifitas dalam karier kepemimpinannya diorientasikan untuk kepentingan dakwah dalam mewujudkan cita-cita Islam sebagai pandangan hidup. Produktifitas Maududi dapat dibuktikan dari berbagai karya tulisnya yang mencakup berbagai bidang, seperti tafsir, hukum, politik, dan sejarah. Di antara beberapa karyanya yang terkenal yaitu Al-Jihad fi Al-Islam (1927), Risalat-i Diniyah (1932), Tafhim Al-Qur’an (1942—1972), The Islamic Law and Constitution (1955). Karya-karyanya ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Sampai akhir hayatnya, Maududi masih menjadi salah seorang pemimpin organisasi Rabithah Al-Alam Al-Islami yang berpusat di Mekkah. (Fahal dan Aziz 1999:120—121).
Dari riwayat hidup serta perjuangannya, tampak bahwa Maududi adalah seorang yang sangat peduli pada umat Islam, khususnya di negaranya. Melalui perjuangan yang panjang, ia dan teman-temannya berhasil mendirikan Negara Pakistan yang terpisah dari India. Keinginan kuat dan perjuangan yang keras akhirnya membuahkan hasil. Namun sayangnya, perjuangannya ternyata belum berakhir setelah Negara Pakistan berdiri. Ia justru dipenjarakan berkali-kali karena perbedaan visi dengan penguasa. Perjuangan yang ditempuh oleh Maududi sangat berbeda dengan pendahulunya seperti Sayyid Amir Ali yang lebih memilih cara aman dalam memperjuangkan Islam. Perbedaan tersebut dapat dipahami karena mereka hidup dalam generasi yang berbeda.
B. Corak Teologi Maududi
Maududi tidak secara khusus menulis buku tentang pemikiran teologinya. Namun, dari berbagai tulisannya dapat ditelusuri pemikira teologisnya. Beberapa ide yang dilontarkannya yang berkaitan dengan teologi akan dijelaskan secara singkat berikut ini.
1. Bidang Tauhid
Menurut Maududi, tauhid merupakan asas terpenting dalam Islam. Seluruh nabi dan rasul Allah mempunyai tugas pokok untuk mengajarkan tauhid kepada umat manusia. Tampaknya, tugas menanamkan tauhid kepada manusia cukup mudah dan sederhana. Akan tetapi, bila mengingat bagaimana para musuh orang-orang beriman menentang tauhid itu dengan segala macam cara, maka akan dapat diketahui bahwa doktrin-doktrin yang terkandung dalam ajaran tauhid itu sangat revolusioner. Implikasi dari ajaran tauhid dapat mengubah tata-sosial, tata-politik, dan tata-ekonomi yang sudah ada dan tidak bersendikan tauhid tersebut (Rais 1990:13).
Tauhid yang ditekankan oleh Maududi tampaknya tidak hanya menyangkut tauhid Uluhiyat tetapi juga tauhid Rububiyat. Tauhid Uluhiyat mengakui bahwa Allah satu-satunya yang wajib disembah. Sedangkan tauhid rububiyat mengakui bahwa Allah yang mencipta, mengatur, dan memelihara ala mini dengan aturan-aturan yang ditetapkan-Nya. Oleh karena itu, ala mini harus diatur berdasarkan aturan yang ditetapkan Allah (sunnatullah). Begitupula dengan pengaturnya, dalam hal ini diwakilkan kepada khalifah-Nya, harus benar-benar seorang alim yang mengetahui aturan Allah. Tanpa pengaturan demikian, maka akan banyak pemimpin yang diktator, dan pemerintahan yang dispotik dan eksploitatif karena lebih menekankan pada masalah human interest (Fahal dan Aziz 1999:125).
Dari pendapatnya tersebut, dapat dikatakan bahwa Maududi sangat meyakini adanya sunnatullah dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, manusia harus bertindak bijak dalam mengelola alam karena manusia dalam hal ini bertindak sebagai khalifah Allah di bumi.Keyakinan pada adanya sunnatullah mengindikasikan bahwa Maududi adalah seorang yang menganut paham teologi rasional.
2. Konsep Teo-Demokrasi
Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi di dalam negara untuk mengambil keputusan-keputusan politik. Teori kedaulatan yang dianut suatu negara akan mempengaruhi bentuk negara, susunan negara, dan soal-soal lain yang berhubungan dengan struktur negara.
Mengenai konsep Islam tentang kedaulatan Maududi menjelaskan bahwa ajaran tauhid yang menjadi dasar dari seluruh ajaran Islam, dengan sendirinya membawa implikasi ke arah dianutnya kedaulatan Tuhan di dalam negara Islam. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa Tuhan adalah pencipta, pemilik, penguasa, dan pengatur seluruh alam semesta. Sedangkan manusia hanyalah khalifah Tuhan di muk bumi. Dalam posisi demikian, maka menjadi kewajiban manusia untuk menjalani kehidupan di atas dunia ini sesuai dengan ketentuan-ketentuan Tuhan (Sjadzali 1993:167). Namun, pada akhirnya manusia akan bertanggung jawab kepada Tuhan atas segala perbuatannya di akhirat kelak.
Secara keras Maududi mengritik paham kedaulatan rakyat yang dinilainya bercorak sekuler. Bila rakyat berdaulat, maka keputusan tertinggi dalam mengambil keputusan politik di dalam negara semuanya terpulang kepada rakyat. Dengan demikian, paham demokrasi yang berasaskan teori kedaulatan rakyat, menurut maududi , adalah syirik, bahkan cenderung ke arah ilhad atau ateis. Oleh karena itu, Negara Islam haruslah menganut paham hukumat ilahiyat (kedaulatan Tuhan) dan khilafat insaniyat (kekhalifahan manusia) (al-Maududi 1985:36—37). Menganut kedaulatan Tuhan bukan berarti Tuhan secara langsung mengambil keputusan-keputusan politik di dalam negara. Akan tetapi, keputusan tersebut diambil melalui syari’ah yang memuat kehendak-kehendak Tuhan untuk dilaksanakan oleh manusia untuk menjadi khalifah-Nya di bumi.
Teori kedaulatan Tuhan dalam negara Islam bukan bermakna kekuasaan Negara itu dijalankan oleh kelompok elite keagamaan, melainkan oleh seluruh komunitas kaum muslimin di dalam negara itu dengan berpegang teguh pada kitab Allah dan sunnah rasul-Nya. Sistem tersebut dinamakan Maududi sebagai a divine democratic government (pemerintahan demokratik berdasarkan ketuhanan), yang disebut juga dengan istilah theo-democratic (demokrasi ketuhanan) (al-Maududi 1985:29).
Teori kedaulatan Tuhan yang dikembangkan oleh Maududi membawa implikasi-implikasi tertentu pada status warga negara di dalam negara Islam. Menurut Maududi, dalam prinsip Islam, semua manusia di dunia ini adalah khalifah Tuhan. Namun, dalam hubungannya dengan negara, maka secara politik, mereka yang benar-benar memegang status kekhalifahan hanyalah warga negara muslim (al-Maududi 1990:63—68). Warga negara non-Muslim bukanlah khalifah secara politik, karena mereka tidak memercayai Islam sebgai ideology negara. Oleh karena itu, Maududi secara konsekwen memertahankan warisan klasik tradisi Islamtentang dua kualifikasi warga negara, yaitu muslim dan dzimmi. Partisipasi politik secara penuh di dalam negara Islam hanya dimiliki oleh warga negara muslim.
Implikasi berikutnya adalah warga negara yang bukan muslim tidak dibenarkan memegang jabatan-jabatan yang berhubungan dengan pertahanan dan keamanan negara. Mereka juga tidak dibenarkan mendirikan partai-partai politik yang berlandaskan paham keagamaan mereka. Namun demikian, aspirasi politik mereka disalurkan ke badan-badan perwakilan dengan ditunjuknya wakil-wakil golongan minoritas. Wakil-wakil ini juga tidak mempunyai hak suara jika badan-badan perwakilan akan mengambil keputusan yang berhubungan dengan hukum Islam.
Menurut Maududi, dalam Negara Islam, kebebasan untuk berserikat, menyatakan pikiran baik lisan maupun tulisan serta kebebasan menganut dan menjalankan agama dijamin. Warga Negara non muslim juga bebas untuk mendirikan organisasi keagamaan yang tidak bersifat politis. Dari sini tampak bahwa adanya perbedaan yang menyolok antara hak berpolitik umat Islam dengan non-Islam. Padahal, Islam sangat menjunjung persamaan dan keadilan yang merupakan ajaran yang bersifat universal.
BAB VII
PEMIKIRAN TEOLOGI FAZLUR RAHMAN
A. Riwayat Singkat Fazlur Rahman
Fazlur Rahman (selanjutnya akan ditulis Rahman) merupakan salah seorang tokoh yang perhatiannya sangat besar terhadap perkembangan dan kemajuan umat Islam. Syafi’i Ma’arif, sebagai salah seorang muridnya mengatakan bahwa di antara pemikir Islam kontemporer barangkali almarhum Rahman dapat dikatakan sebagai salah seorang yang paling serius memikirkan persoalan Islam dan umatnya (Ma’arif 1995:44). Pandangan ini tampaknya tidak terlalu berlebihan jika memperhatikan kiprahnya yang dinamis dalam menggulirkan ide-ide pembaharuannya demi membangkitkan dan mengembangkan intelektualisme Islam.
Sebelum mengkaji pemikiran Rahman, akan diungkap terlebih dahulu latar belakang kehidupannya. Hal ini sangat penting karena suatu kajian tentang pemikiran seorang tokoh tidak bisa lepas dari kondisi historis, sosial politik, dan kondisi intelektual yang melingkupinya.
Rahman dilahirkan pada tahun 1919 di sebuah daerah yang terletak di Barat Laut Pakistan. Keluarganya adalah keluarga muslim yang amat religius dan taat dalam menjalankan ibadah. Ia dibesarkan dalam keluarga dengan tradisi mazhab Hanafi. Sejak umur belasan tahun, Rahman telah melepaskan diri dari lingkup pemikiran yang sempit dalam batas-batas mazhab Sunni dan ia mengembangkan pemikiran secara bebas (Amal 1992:79).
Dalam pembentukan watak dan keyakinan-keyakinan awal religiusnya, Rahman mengakui bahwa pengaruh dari ayah dan ibunya sangat besar. Dari ibunya ia memeroleh pendidikan tentang nilai-nilai kebenaran, kasih sayang, kesetiaan, dan cinta. Sementara itu, ayahnya adalah seorang alim yang terdidik dalam suatu pola pemikiran Islam tradisional. Namun, ayahnya berbeda dengan kebanyakan alim tradisional pada masanya yang memandang pendidikan modern sebagai racun bagi keimanan maupun moralitas. Ayahnya justru berkeyakinan bahwa Islam harus memandang modernitas sebagai tantangan-tantangan maupun kesempatan-kesempatan. Pandangan inilah yang diwarisi oleh Rahman dari ayahnya (Rahman 1992:59).
Di samping menerima pelajaran keagamaan dari ayahnya, seorang kiyai dari Deoband, Rahman memeroleh pendidikan secara formal di Madrasah (Nasution 1975:175). Setelah menamatkan pendidikan menengah, Rahman melanjutkan studinya di Departemen Ketimuran Universitas Punjab. Pada tahun 1942, ia berhasil menyelesaikan pendidikan akademisnya di Universitas tersebut dan memeroleh gelar M.A. dalam Sastra Arab. Ketika sedang belajar untuk program Ph.D di Lahore, Rahman pernah diajak Maududi untuk bergabung dengan Jama’at-i Islam dengan syarat ia harus meninggalkan studinya (Rais 1990:7—9). Ajakan Maududi ini ditulis Rahman dalam bukunya yang diterjemahkan Ahsin Mohammad berjudul Islam dan Modernitas tentang Transformasi Intelektual, sebagai berikut: Saya ingat ketika saya lulus ujian M.A dan sedang belajar untuk meraih gelar doktor di Lahore, Maududi berkata, setelah menanyakan apa yang sedang saya pelajari, “Semakin banyak engkau belajar, kemampuan praktismu akan semakin beku” (Rahman 1995:139). Ajakan Maududi ini ditolak Rahman dan ia tetap melanjutkan studinya. Bahkan, Rahman kemudian menjadi seorang kritikus pemikiran keagamaan Maududi yang sangat keras.
Ketidakpuasan Rahman terhadap suatu pendidikan tinggi di India yang dipandangnya ketika itu sangat rendah, menyebabkan ia memutuskan untuk melanjutkan studinya ke Barat. Keputusan yang dapat dikatakan sebagai suatu langkah yang sangat berani ini terjadi pada tahun 1942 dengan memilih Universitas Oxford di Inggris (Amal 1992:81). Setelah meraih gelar Doctor of Philosophy dari Oxpord University, Rahman tidak langsung pulang ke tanah airnya yang baru beberapa tahun merdeka. Kecemasan menghantui pikiran Rahman, karena seorang sarjana keislaman yang terdidik di Barat tidak akan diterima kembali atau bahkan dikucilkan serta ditindas di negerinya sendiri. Oleh karena itu, untuk sementara waktu ia lebih memilih menetap di Barat. Rahman akhirnya mengajar selama beberapa tahun di Durham University, Inggris dan ia mengajar juga di Institute of Islamic Studies, McGill University, Kanada (Asmin 1997:45—46). Ketika mengajar di Durham University, Rahman berhasil menyelesaikan sebuah karya orisinalnya berjudul Prophecy in Islam: Philosophy and Orthodoxy, yang diterbitkan pada tahun 1958 (Rahman 1992:62).
Setelah cukup lama berada di Barat, akhirnya Rahman kembali ke negeri asalnya, Pakistan pada awal dekade 1960-an. Pendidikan formalnya di Barat serta pengalamannya mengajar selama bertahun-tahun di sarang orientalis, ditambah dengan latar belakang liberalisme Indo-Pakistan, tampaknya telah membuat ia kembali ke negeri asalnya sebagai seorang sarjana dan pemikir modernis yang liberal dan sangat radikal (Amal 1992:84). Pada saat itu, negerinya sedang bergolak dan merupakan ajang kontroversi yang parah antara kubu modernis dan kubu tradisionalis-fundamentalis dalam rangka mencari identitas diri. Situasi seperti itu tentu saja sangat kondusif bagi pengembangan pemikiran keagamaan Rahman yang liberal.
Setelah menjabat selama beberapa waktu sebagai salah seorang staf senior di Lembaga Riset Islam, Rahman akhirnya ditunjuk sebagai Direktur lembaga tersebut pada bulan Agustus 1962. Jabatan ini diembannya sampai ia mengundurkan diri pada tanggal 5 September 1968 (Amal 1987:13—15). Sebenarnya, penunjukan diri Rahman sebagai Direktur Lembaga Riset Islam sudah tepat. Akan tetapi, Rahman tidak mendapat dukungan dari para ulama tradisional dan fundamental. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika selama masa jabatannya, lembaga tersebut selalu mendapat tantangan keras dari para ulama tradisional dan fundamental.
Upaya Rahman untuk memajukan lembaga riset tersebut sebenarnya patut dipuji. Sebagaimana yang dipaparkannya dalam buku Islam dan Modernitas, selama masa jabatannya sebagai direktur (1962—1968), ia telah mencoba strategi ganda. Ia mengangkat beberapa orang lulusan Madrasah yang memiliki pengetahuan bahasa Arab sebagai anggota yunior dan mencoba melatih mereka dalam teknik-teknik riset modern. Sebaliknya, ia merekrut anggota-anggota senior dari kalangan lulusan universitas di bidang filsafat atau ilmu-ilmu social dan memberi mereka pelajaran bahasa Arab serta disiplin-disiplin Islam klasik yang pokok seperti hadis dan yurisprudensi Islam. Selain itu, Rahman juga mengirim beberapa orang ke luar negeri untuk mendapatkan latihan atau bahkan gelar-gelar dalam kajian Islam, baik di Universitas-universitas Barat maupun Timur (Rahman 1995:147).
Selain menjabat sebagai Direktur Lembaga Riset Islam, pada tahun 1964 Rahman juga ditunjuk sebagai anggota Dewan Penasehat Ideologi Islam Pemerintah Pakistan (Advisory Council of Islamic Ideology) (Amal 1987:14). Melalui kedua lembaga inilah Rahman secara intens berusaha menafsirkan kembali Islam guna menjawab tantangan-tantangan dan kebutuhan-kebutuhan masa kini. Namun, gagasan-gagasan pembaharuan yang dilontarkannya selama berkiprah di kedua lembaga tersebut selalu bertentangan dengan pendapat-pendapat kalangan tradisionalis-fundamentalis. Gagasan-gagasan Rahman selalu mendapat tantangan yang keras dan menimbulkan rangkaian kontroversi yang berskala nasional. Ide-ide Rahman tentang riba dan bunga bank, keluarga berencana, zakat ataupun wahyu dan Alquran misalnya, telah menimbulkan kontroversi yang berkepanjangan di Pakistan.
Setelah melepaskan kedua jabatan tersebut, Rahman akhirnya memutuskan untuk hijrah ke Chicago (Amerika), dan sejak 1970 ia menjabat sebagai Guru Besar Kajian Islam dalam Berbagai Aspeknya di Departement of Near Eastern Languages and Civilization, University of Chicago (Fahal dan Aziz 1999:137). Tidak kurang dari delapan belas tahun lamanya (1970—1988) Rahman menetap di Chicago dan mengomunikasikan gagasan-gagasannya baik lisan maupun tulisan sampai akhirnya Allah memanggilnya pulang ke haribaan-Nya pada tanggal 26 Juli 1988 (Amal 1992:111).
Hijrahnya Rahman ke Chicago tentu saja punya latar belakang dan tujuan tertentu. Rahman mencintai negerinya tetapi ia lebih mencintai kebebasan berpikir dan berpendapat. Sebagai seorang intelektual pemikir, Rahman lebih tepat berkiprah di dunia pendidikan daripada berpolitik praktis. Lingkungan perguruan tinggi ternyata lebih memberi ruang untuk pemikiran-pemikiran modernis Rahman daripada dunia politik. Oleh karena itu, keputusannya untuk hijrah ke Chicago sungguh tepat untuk menjamin kebebasannya berpikir dan berpendapat.
B. Konsep Teologi Fazlur Rahman
1. Takdir atau Hukum Alam
Salah satu fungsi utama dari adanya gagasan tentang Tuhan adalah untuk menjelaskan keteraturan alam semesta. Menurut Rahman, ajaran fundamental Alquran tentang alam semesta adalah:
a. bahwa ia merupakan sebuah kosmos, sebuah tatanan,
b. bahwa ia merupakan suatu tatanan yang berkembang, yang dinamis;
c. bahwa ia bukanlah suatu permainan yang sia-sia, tetapi harus ditanggapi secara serius; manusia harus mempelajari hukum-hukumnya yang merupakan bagian dari perilaku Tuhan, dan menjadikannya sebagai panggung dari aktivitas manusia yang punya tujuan (Amal 1987:75).
Sebagai sebuah kosmos, alam memiliki hukum-hukum dan logikanya sendiri. Menurut Alquran, ketika Tuhan menciptakan sesuatu, yakni menghidupkan dan memberinya bentuk lahiriah, pada saat yang sama Tuhan juga melengkapinya dengan hukum-hukum kehidupannya dan menatanya dengan potensialitas-potensialitas serta dinamika perkembangannya. Pertama, (yaitu menghidupkan sesuatu dan memberi bentuk) diistilahkan dengan khalq. Sedangkan yang kedua (yaitu melengkapi sesuatu dengan suatu sifat atau dinamika perilakunya) didefinisikan oleh Alquran dengan istilah amr atau taqdir. Dari sinilah muncul konsep Rahman tentang takdir atau hukum alam (Fahal dan Aziz 1999:145—146).
Term taqdir secara harfiah berarti ukuran sesuatu, dan qadar adalah jumlah atau volume yang terukur. Rahman menolak gagasan takdir yang sering dipahami sebagai peristiwa atau kejadian. Penolakan ini secara tegas diungkapkannya dalam pernyataan berikut:
Ada dua hal yang berkaitan muncul di sini. Pertama, kejadian-kejadian di dunia ini tidak pernah dipredeterminasi atau ditetapkan terlebih dahulu oleh Tuhan. Bahwa kejadian “A” akan timbul pada waktu ‘a’ masih tetap merupakan kemungkinan terbuka di antara alternatif-alternatif lainnya yang mungkin, hingga ia ditimbulkan secara aktual. Kedua, hal ini disebabkan karena apa yang dideterminasi bukanlah kejadian-kejadian sebagaimana disebut di atas, tetapi potensi-potensi, kekuasaan-kekuasaan dan kekuatan-kekuatan. Jadi, ditetapkannya bahwa oksigen memiliki suatu potensi yang dengannya, bila dicampurkan dengan hidrogen dalam proporsi dan di bawah kondisi tertentu, akan menghasilkan air. Apa yang dideterminasi di sini adalah potensi-potensi dari oksigen dan hidrogen untuk berubah menjadi air jika dicampurkan di bawah kondisi tertentu. Sedangkan kejadian aktual dari pencampuran keduanya pada suatu ruang dan waktu tertentu tidaklah pernah dideterminasi sebelumnya (Rahman 1967:6—7).
Dari term takdir yang dikemukakan Rahman, dapat dipahami bahwa takdir bukanlah sebuah kekuatan buta yang mengukur atau menetapkan hal-hal yang tidak dapat dielakkan atau dikendalikan oleh manusia, terutama sekali sehubungan dengan kelahiran, rezeki, dan maut. Konsep takdir yang dikemukakan Rahman menekankan bahwa Allah memberikan ukuran dan sifat tertentu kepada setiap sesuatu untuk menjamin keteraturan alam. Di samping itu, untuk menunjukkan perbedaan terpenting yang tidak dapat dihilangkan di antara Allah dan manusia.
Perbedaan terpenting di antara Allah dengan ciptaan-Nya adalah: Jika Allah tak terhingga dan mutlak, maka setiap sesuatu yang diciptakan-Nya adalah terhingga. Setiap sesuatu memiliki potensi-potensi tertentu, tetapi betapapun banyaknya potensi-potensi tersebut tidak dapat membuat yang terhingga melampaui keterhinggaannya dan menjadi tak terhingga. Inilah yang dimaksudkan Alquran ketika ia mengatakan bahwa setiap sesuatu selain dari Allah mempunyai ukurannya (qadar, qadr, taqdir, dan sebagainya), dank arena itu tergantung kepada Allah. Apabila sesuatu makhluk menyatakan dirinya dapat berdiri sendiri atau merdeka, berarti dia mengakui memiliki sifat ketidakterhinggaan dan sifat ketuhanan. Bila Allah menciptakan sesuatu, maka kepadanya Dia memberikan kekuatan atau hukum tingkah laku yang di dalam Alquran dikatakan petunjuk, perintah atau ukuran. Dengan hokum tingkah laku inilh ciptaan-Nya itu dapat selaras dengan ciptaan-ciptaan-Nya yang lain di dalam alam semesta (Rahman 1996:97—98).
Bila dihubungkan dengan konsep takdir seperti yang disinggung terdahulu, maka dalam pandangan Rahman, takdir atas manusia berarti Allah telah menetapkan ukuran-ukuran tertentu yang bersifat potensial bagi manusia yang dengan potensi itu manusia dapat mengembangkan dirinya secara bebas. Dengan demikian, kejadian-kejadian yang menimpa manusia atau sering disebut nasib, sebetulnya mempunyai sebab-sebab tertentu yang alamiah dan bukan sebagai determinasi Allah atas manusia. Jadi, keberuntungan ataupun kemalangan yang menimpa manusia di dunia ini tidak lain adalah merupakan akumulasi dari berbagai sebab. Jika manusia melakukan serangkaian usaha yang mengarah kepada tercapainya nasib baik, maka ia akan memeroleh hasilnya, demikian pula sebaliknya.
Berkaitan dengan konsep takdir deterministik seperti yang banyak berkembang di kalangan umat Islam, Rahman menyatakan sebagai berikut:
Tidak dapat diragukan lagi bahwa di akhir zaman pertengahan di dalam masyarakat muslim berkembang sebuah predeterminisme yang kuat pengaruhnya. Predeterminisme ini tidak bersumber dari ajaran-ajaran Alquran, tetapi bersumber dari faktor-faktor lain yang banyak sekali jumlahnya. Yang paling menonjol di antara faktor-faktor ini adalah keberhasilan yang sangat mengagumkan dari teologi Asy’ari (yang merendahkan manusia ke tingkat impotensi untuk memertahankan konsep ke-Mahakuasaan Allah, namun pengaruhnya terhadap kaum Muslimin lebih bersifat formal daripada riil), dan penyebaran doktrin-doktrin sufisme yang pantheistik serta fatalistik (Rahman 1996:35). Oleh karena pengaruh inilah konsep Alquran tentang qadar (takdir) ditafsirkan sebagai predeterminisasi Allah terhadap segala sesuatu, termasuk manusia.
Dengan mengembalikan gagasan takdir seperti yang tertuang dalam Alquran, maka aspek ikhtiar manusia menjadi sangat penting dalam pemikiran Rahman. Manusialah yang aktif berusaha dan keberhasilannyapun ditentukan sejauhmana ia telah memberikan investasi.
Meskipun pandangan Rahman tentang aspek ikhtiar manusia demikian tegas, namun ia tetap mengakui fungsi do’a. Baginya, do’a adalah sikap pikir yang aktif dan reseptif untuk meminta pertolongan dari sumber kehidupan, dan lewat inilah mengalir energi-energi baru. Menurut Rahman, yang perlu dicamkan bahwa harus ada kerja keras atau usaha yang sungguh-sungguh secara konsisten dari pihak yang berdo’a. Hanya dalm konteks kerja keras itulah do’a memiliki arti dan makna (Rahman 1967:14). Dengan demikian, do’a merupakan manifestasi dari keterhinggaan manusia. Walaupun manusia bebas menentukan pilihannya, bukan berarti tidak tergantung pada Sang Pencipta. Manusia memiliki kecenderungan baik dan kecenderungan jahat. Oleh karena itu, di dalam diri manusia senantiasa ada perjuangan di antara kecenderungan-kecenderungan itu. Kecenderungan jahat dapat menjadi sedemikian kuat karena adanya tipu daya setan. Oleh sebab itu, manusia perlu mengikuti jalan Allah dan senantiasa memohon pertolongan Allah melalui do’a.
Selain memahami fenomena alam sebagai sesuatu yang dapat dirasionalkan, Rahman juga mengakui adanya fenomena lain berkenaan dengan kejadian-kejadian yang tampak berlawanan dengan hokum alam yang disebut dengan mukjizat. Mukjizat hanya terjadi pada para utusan Allah yang berfungsi untuk mendukung kebenaran dari kerasulan mereka dan ajaran-ajaran mereka. Mengenai kejadian luar biasa seperti ini dinyatakan oleh Alquran bahwa tidak seorang nabi pun yang dapat menunjukkan mukjizatnya tanpa seizin dan pertolongan aktif dari Allah (Q.S Ali Imran/3:49). Alasan terpenting dari pernyataan Alquran ini menurut Rahman adalah karena manusia memandang peristiwa-peristiwa alam semata-mata sebagi kasus alamiah saja, tanpa memahami keterlibatan Allah dalam peristiwa-peristiwa tersebut. Apabila terjadi keajaiban supranatural, barulah mereka tidak menyangsikan lagi bahwa kejadian ini disebabkan oleh Allah (Rahman 1996:102). Kepercayaan Rahman terhadap hal-hal yang supranatural merupakan pengakuannya bahwa ada hal-hal yang tidak dapat dirasionalkan karena keterhinggaan manusia untuk dapat menjelaskan setiap fenomena yang tampak. Untuk masalah seperti ini harus dikembalikan kepada kekuasaan Allah.
Rahm mengakui hal-hal yang bersifat supranatural. Sungguhpun demikian, ia tetap kritis terhadap hal-hal yang bersifat palsu karena sumbernya bukan Alquran seperti magis dan sihir. Menurut Rahman, antara fakta supranatural yang bersumber dari Alquran dengan fakta supranatural yang bersifat magis dan sihir tidak sama. Fakta supranatural yang bersumber dari Alquran bersifat nyata dan memiliki kepermanenan setelah menunjukkan kemanjurannya. Sedangkan fakta supranatural yang bukan bersumber pada wahyu (Alquran) hanya bersifat khayal dan tidak memiliki kepermanenan kecuali dalam dimensi psikologisnya. Oleh karena itu, perbuatan magis atau sihir merupakan kejahatan, karena perbutan itu menyembunyikan dan memberikan gambaran yang salah tentang realitas. Sementara supranatural yang bersumber dari wahyu menunjukkan realitas di dalam kesempurnaannya (Rahman 1996:103). Selain dari perbedaan yang dikemukakan Rahman tersebut, ada perbedaan lain antara mukjizat dengan magis atau sihir, yaitu mukjizat tidak dapat ditiru oleh orang lain sementara perbuatan-perbuatan magis atau sihir dapat ditiru melalui latihan-latihan.
2. Kedudukan Akal dan Fungsi Wahyu
Akal, dalam pengertian Islam bukanlah otak, tetapi daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Daya, sebagaimana digambarkan dalam Alquran, mendapat pengetahuan dengan memerhatikan alam sekitarnya. Akal dalam pengertian inilah, dalam Islam, yang dikontraskan dengan wahyu yang membawa pengetahuan dari luar diri manusia, yaitu Tuhan (Nasution 1986:13). Dengan begitu, akal sangat penting bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan perkembangan ajaran-ajaran agama Islam itu sendiri.
Manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling sempurna dan mulia. Ketinggian, keutamaan dan kelebihan manusia dari makhluk lainnya terletak pada akal yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Akal yang membuat manusia mempunyai kebudayaan yang tinggi, mewujudkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta mengatur dan mengubah alam sekitarnya untuk kesejahteraan dan kebahagiaannya baik di masa kini maupun di masa depan. Begitu pentingnya peranan akal dalam kehidupan manusia sehingga perlu dipelajari kedudukannya dalam ajaran Islam.
Kalau ditelaah ajaran Alquran dan hadis sebagai sumber asli dan utama dalm Islam, akan didapatkan kesimpulan pentingnya peranan akal dalam Islam, di samping wahyu. Wahyu membawa ajaran-ajaran dasar yang hanya memberi ketentuan-ketentuan secara global. Penafsiran dan cara pelaksanaan serta perincian-perincian ajaran dasar itu diserahkan kepada akal manusia untuk menentukannya. Demikian pula dengan masalah-masalah yang tidak disebutkan dalam Alquran dan hadis, penyelesaiannya diserahkan pada akal manusia sesuai dengan jiwa ajaran-ajaran tersebut (Nasution 1998:139—140).
Menurut Rahman, Alquran menggambarkan ketaatan dan penyerahan mutlak seluruh bagian objek natural kepada hukum-hukum alam sebagai ibadah mereka kepada Tuhan. Alam semesta diciptakan menurut hukum-hukum dan terus menjalankan pola-pola teratur. Sedangkan manusia ditantang untuk menemukan hukum-hukum ini dan menempatkan pola-pola tersebut sehingga ia bisa menaklukkan alam serta memanfaatkannya. Sesungguhnya, inilah yang dinamakan amanah yang harus dilaksanakan sebagai pengabdian bagi manusia. Amanah ini dimaksudkan agar manusia dapat menemukan hukum-hukum alam serta menguasainya dan kemudian menggunakan penguasaan hukum alam tersebut di bawah inisiatif moral manusia untuk menciptakan suatu tata dunia yang baik (Amal 1987:80). Dari ungkapannya ini dapat dikatakan bahwa Rahman memberi kedudukan yang tinggi pada akal, karena bila akal lemah maka ia tidak akan mampu menemukan hukum-hukum alam apalagi untuk menguasai dan menggunakannya di bawah inisiatif moral manusia agar tercipta tata dunia yang baik. Namun, Rahman tidak merinci kemampuan akal ini seperti yang dilakukan oleh Muhammad Abduh.
Meskipun Rahman tergolong rasionalis, bukan berarti ia percaya pada rasio semata-mata dan tidak mengindahkan wahyu dalam arti meletakkan akal di atas wahyu. Dalam tulisan-tulisannya dapat ditelaah tentang fungsi wahyu. Rahman menempatkan wahyu sebagai petunjuk bagi manusia, sementara akal hanya sebagai pemberi interpetasi terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupannya.
3. Hari Akhir
Ide pokok yang mendasari ajaran-ajaran Alquran tentang akhirat adalah bahwa akan tiba saat ketika manusia menemukan kesadaran unik yang tidak pernah dialaminya di masa sebelumnya mengenai amal perbuatannya (Rahman 1996:154). Alam semesta ada batasnya, pada saatnya nanti ia akan hancur bersama seluruh kandungannya, itulah yang dinamakan kiamat. Alquran menerangkan tentang hari kiamt dengan penggambaran kehancuran kosmos secara menyeluruh dengan maksud menggambrkan kekuasaan Tuhan. Dalam kaitan ini, Rahman menyatakan, banyak yang mengira bahwa tatanan kosmos ini terjadi dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakan dan bahwa tidak ada yang lebih tinggi dari kosmos ini. Mereka harus memahami Allah-lah yang Mahakuasa: Dia yang menyusun kembali alam semesta (setelah kehancurannya) guna menciptakan bentuk-bentuk kehidupan baru dan level-level kehidupan yang baru pula. Rahman berpendapat bahwa hari kiamat bukan berarti terjadinya kehancuran dunia secara total, tetapi hanya transformasi dari satu bentuk kehidupan ke bentuk kehidupan yang lain (Fahal dan Aziz 1999:148).
Hari kiamat merupakan hari pengadilan. Pada hari itu setiap manusia tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan perubahan apapun juga. Satu-satunya kesempatan adalah di atas dunia ini yang hanya terjadi sekali. Oleh karena itu, manusia harus menghadapi hidup ini dengan serius dan benar-benar menyadari bahwa apapun yang dilakukannya tidak terlepas dari pengawasan Allah. Kehidupan manusia di atas dunia yang hanya terjadi sekali ini merupakan kesempatan emas bagi manusia untuk berjuang dan mendapatkan hasil yang baik.
Rahman mengemukakan bahwa kebahagiaan dan penderitaan manusia di akhirat nanti tidak hanya bersifat spiritual karena raga dengan pusat kehidupan dan intelegensi itulah yang merupakan identitas atau kepribadian manusia yang sesungguhnya (Rahman 1996:163). Dengan demikian, yang menjadi subjek kebahagiaan dan siksaan adalah manusia sebagi pribadi. Oleh karena itu, kebahagiaan atau penderitaan yang dirasakan manusia di akhirat kelak bersifat jasmani dan rohani (fisik dan spiritual).
Konsep teologi yang dikemukakan Rahman tersebut bukanlah kajian tersendiri yang ditulis dalam satu karya khusus. Konsep teologi Rahman merupakan refleksi pemikiran sebagai hasil dari proses dialektika berpikirnya. Dari beberapa buku dan artikel tulisannya, ditemukan beberapa doktrin teologi yang pernah dikembangkan oleh aliran-aliran terdahulu, yang kemudian dikritisinya. Dari berbagai tulisannya inilah apabila dicermati akan tampak bahwa konsep teologinya berpegang pada konsep-konsep dasar dalam Alquran dengan tema pokoknya tentang Tuhan, alam semesta, dan manusia. Dilihat dari beberapa konsep teologi yang dikemukakan Rahman, maka dapat disimpulkan bahwa Rahman menganut paham teologi rasional.
BAB VIII
PEMIKIRAN TEOLOGI ISMAIL RAJ’I AL-FARUQI
A. Riwayat Hidup Ismail Raj’i al-Faruqi
Ismail Raj’i al-Faruqi (selanjutnya ditulis Faruqi) adalah salah seorang cendekiawan Muslim abad ke-20 yang lahir di Palestina pada tahun 1921. Faruqi menjalani kehidupan remaja di negerinya dan aktif dalam kegiatan politik sejak usia muda. Puncak kariernya dalam dunia politik adalah ketika ia menduduki jabatan sebagai Walikota Lebanon, sebelum ia berusia 30 tahun. Namun, karena gelombang kerusuhan bertubi-tubi melanda negerinya, Faruqi mengundurkan diri dari dunia politik dan hijrah ke Amerika. Di tempat barunya itulah Faruqi mencurahkan perhatian pada dunia akademik. Setelah menyelesaikan studinya tentang sejarah agama dan kebudayaan, ia menerjunkan diri dalam berbagai aktivitas akademis, social dan keagamaan, terutama yang menyangkut nasib masyarakat Islam (al-Faruqi 1999:273).
Faruqi mendirikan Islamic Society of North America (ISNA) bersama-sama dengan istrinya, Louis Lamya. Ia menjadi penasihat Muslim Student Association (MSA). Selain mendirikan Universitas Islam di Chicago, Faruqi juga mengajar di berbagai perguruan Tinggi di beberapa negara (Faruqi 1999:274). Sebagai seorang ilmuwan, Faruqi menghasilkan lebih dari 20 buku dan 100 artikel. Buku-bukunya yang terpenting antara lain yaitu; Christian Ethics (1967), An Historical of Atlas of Islam (1974), Trialogie of Abrahamic Faits (1986), dan The Cultural Atlas of Islam (1986) (Azra 1996:50).
Proyek paling spektakuler Faruqi adalah Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Ia menyelesaikan seminar dan workshop yang mendatangkan berbagai pakar ilmu pengetahuan dan teknologi Muslim. Seminar dan workshop tersebut bertujuan untuk menemukan benang merah baik secara filosofis maupun historis antara ilmu pengetahuan modern dengan Islam dalam rangka merumuskan nilai-nilai ilmu yang islami.
Mega proyek Faruqi tentang islamisasi ilmu pengetahuan mendapat kritikan dari Fazlur Rahman yang mengatakan proyek tersebut tidak masuk akal. Meskipun mendapat berbagai kritikan, namun islamisasi ilmu yang diusahakan Faruqi setidaknya telah membangkitkan atau memperbaharui kesadaran kaum muslimin di seluruh dunia akan nilai-nilai historis yang dihasilkan dan harus diperjuangkan oleh mereka (Fauzi 1996:56).
Jabatan akademis terakhir Faruqi adalah Guru Besar Pemikiran dan KebudayaanIslam di Temple University, Philadelpia, Amerika. Faruqi meninggal Juli 1986 karena ditusuk orang tak dikenal yang diindikasikn sebagai agen Mosad, di tempat tinggalnya. Tragedi tersebut juga menewaskan istri dan kedua anaknya.
B. Corak Teologi Faruqi
1. Akal dan Wahyu
Wacana teologi yang mendasar tidak jauh dari hubungan antara Tuhan dan yang bukan Tuhan. Faruqi menyebut hal itu dengan dualitas. Hubungan antara kedua realitas ini merupakan hubungan ideasional yang terpisah. Oleh karena itu, sebagai acuannya harus ada fasilitator yang dapat menghubungkannya. Untuk itu, Faruqi menjembatani keduanya dengan pemahaman (Nasution 1987:43). Pemahaman ini merupakan fakultas yang terdapat pada realitas kedua, yaitu manusia dan itu adalah anugerah dari realitas pertama (al-Faruqi 1982:10).
Bagi Faruqi, relasi antara Tuhan dan manusia bukanlah relasi searah melainkan dua arah. Tuhan hadir dalam dua bentuk , yaitu wahyu yang berupa teks-teks dan wahyu dalam bentuk realitas (ayat kauniyah). Menurut Faruqi, manusia mampu memahami, wahyu yang hadir dalam bentuk teks karena pemahaman manusia mampu untuk menyelami dan menggalinya. Pemahaman manusia merupakan anugerah terbesar dari Tuhan yang mencakup seluruh fungsi gnoseologi seperti ingatan, khayalan, penalaran, pengamatan, intuisi, kesadaran, dan sebagainya.
Sedangkan untuk ayat-ayat kauniyah manusia dapat menyimpulkan penciptaan Tuhan dengan menggali potensi-potensi yang ada pada ayat alam tersebut. Penciptaan yang dilakukan oleh Tuhan diiringi dengan hokum-hukum-Nya (sunnatullah) yang sifatnya tidak berubah. Untuk melandasi pendapatnya ini, Faruqi mengutip Alquran surah Fatir ayat 43.
Pandangan Faruqi tentang akal dan wahyu bersifat dikotomis dan ia memberikan batasan yang jelas antara keduanya. Faruqi terlebih dahulu menglasifikasikan wahyu, yaitu wahyu dalam bentuk teks dan wahyu yang berupa realitas. Dengan klasifikasi inilah Faruqi menjelaskan fungsi akal terhadap keduanya. Menurutnya, akal mampu menerjemahkan ayat Alquran dengan tidak hanya mencukupkan kehadiran Alquran sebagai teks murni untuk diamalkan. Sedangkan tentang ayat kauniyah manusia harus mengusahakan seluruh potensi akalnya untuk menyimpulkan ayat tersebut karena ia diiringi dengan sunnah-Nya yang tidak pernah berubah. Faruqi menganggap penting untuk menyuarakan dua prinsip ini karena sudah lama ditinggalkan oleh umat Islam.
Di samping menggugah perhatian umat Islam untuk kembali pada prinsip-prinsip Alquran, Faruqi juga berusaha untuk merealisasikan mega proyeknya dalam islamisasi ilmu pengetahuan. Umat Islam tidak hanya berkutat dengan wawasan keislamannya saja, tetapi harus kembali mengejar ketertinggalannya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.Untuk islamisasi ilmu pengetahuan, sekurang-kurangnya dibutuhkan tiga rumusan awal yang harus diusahakan ilmuwan Islam, yaitu, penguasaan ilmu modern, penguasaan warisan Islam, dan menetapkan relevansi antara Islam dengan setiap bidang sains modern (al-Faruqi 1994:10).
Untuk mencapai ketiga point itu, Faruqi menganggap penting untuk memberi batas antara dua realitas wahyu (Alquran dan alam) dalam rangka menghindari keterlenaan ilmuwan Islam pada salah satu bidang saja. Adapun kesimpulan konsep Faruqi tentang relasi antara akal dan wahyu dapat dikatakan bahwa wahyu berfungsi sebagai informasi (untuk hal-hal yang prinsip) dan juga berfungsi sebagai konfirmasi (untuk kajian yang tidak prinsip).
2. Keadilan Tuhan dan Perbuatan Manusia
Dalam memahami hubungan antara manusia dan Tuhan, Faruqi meletakkan keadilan Tuhan sebagai kemutlakan bagi diri-Nya. Sedangkan bagi manusia ada kebebasan untuk berkehendak, apakah akan patuh atau ingkar serta merusak (al-Faruqi 1994:10). Bila diidentifiksi dengan hitungan paham klasik, maka terlihat pemikiran Faruqi ini menggunakan standard ganda. Dalam memahami keadilan Tuhan ia memakai konsep teologi tradisional, sedangkan dalam hal perbuan manusia ia memakai konsep teologi rasional. Hal ini dapt dipahami karena Faruqi merupakan pemikir yang rasional tetapi ia menghadapi kondisi yang memerlukan penjelasan-penjelasan yang mudah dipahami.
Dengan memakai standard ganda tersebut, terkesan ada usaha antisipatif dalam pemikiran Faruqi. Sudah menjadi keyakinan awal bahwa Tuhan adalah sebagai pribadi yang adil. Akan tetapi, pada sisi lain keadilan tersebut pada tingkat manusia harus tetap menggantung ke langit sehingga dalam menerjemahkannya tidak bebas dan kosong dari nilai-nilai tauhid. Pesan yang ingin disampaikan oleh Faruqi adalah walaupun keadilan dalam artian memberikan hak kepada yang berhak ada sisi lain yang harus diterjemahkan dari keadilan Tuhan tersebut yaitu bahwa keadilan tersebut mutlak datangnya dan diberikan oleh Tuhan. Sikap antisipatif ini mengisyaratkan pesan religius di tengah kegersangan spiritual di zaman modern ini.
Sedangkan kebebasan manusia yang berpeluang untuk memilih antara yang baik dengan yang buruk diibaratkan oleh Faruqi laksana buruh tani bekerja di ladang Tuhan. Sebagai tuan tanah, tentu saja Tuhan sebagai pemilik ladang menghendaki agar manusia sebagai buruh tani bekerja dengan baik sehingga menghasilkan panen yang maksimal (Faruqi 1982:154).
Ada tiga unsur yang terkait dalam pemikiran Faruqi tentang perbuatan manusia dan hubungannya dengan Tuhan. Pertama, Tuhan sebagai pemilik lading, telah menyerahkan modal seutuhnya kepada manusia untuk diusahakan sesuai dengan aturan-aturan yang telah disepakati (QS. Al-Nur/24:55). Kedua, manusia sebagai buruh yang mengerjakan ladang bebas menggunakan akal, fisik dan profesionalitasnya dalam bekerja. Ketiga, adalah ladang itu sendiri berupa kehidupan yang dijalani di dunia ini.
Tuhan sebagai majikan punya kewajiban-kewajiban terhadap buruh-Nya dalam ranga pengusahaan kontrak kerja mereka, sebagaimana hubungan buruh dan majikan dalam praktik perburuhan. Namun, yang penting adalah Tuhan harus menepati janji-Nya terhadap hasil kerja manusia. Bagaimana Tuhan menepati janji tersebut harus berlandaskan pada prinsip keadilan. Apabila kerja manusia dalam mengusahakan sawah ladang tersebut telah selesai, maka Tuhan sebagai majikan harus membalas pekerjaan tersebut sesuai dengan janji-Nya berdasarkan kontrak kerja mereka. Begitu juga sebaliknya, apabila pekerjaan buruh tidak maksimal atau tidak sesuai dengan kontrak kerja, manusia sebagai buruh harus siap menerima risikonya.
Manusia dalam kapasitasnya sebagai pekerja (buruh) Tuhan, diberi kebebasan dan limit waktu yang jelas. Kebebasan yang dimaksud adalah Tuhan sebagai pemilik telah memberikan kepercayaan kepada manusia berdasarkan pada kewajiban Tuhan itu sendiri dalam memenuhi fasilitas-fasilitas kerja yang telah diberikan-Nya kepada manusia. Bagaimana manusia memanfaatkan kebebasan tersebut tergantung pada ketaatan manusia itu sendiri dalam menerjemahkan kontrak kerja yang telah mereka buat dengan Tuhan.
Dari pemikiran Faruqi tentang keadilan Tuhan dan caranya mengartikulasikan keadilan itu sendiri sudah dapat dibaca bagaimana pandangannya tentang perbuatan-perbuatan Tuhan. Begitu pula dengan perbuatan manusia yang secara jelas dikatakan Faruqi bahwa manusia dalam mengaktualisasikan kebebasan yang diberikan kepadanya harus senantiasa berpegang pada prinsip keadilan Tuhan yang harus dipertanggungjawabkan. Untuk mengantisipasi manusia agar tidak menyelewengkan kebebasan yang diberikan Tuhan, Faruqi melandasinya dengan prinsip wawasan aksiologis yang sudah menjadi fitrah manusia.
Wawasan aksiologis yang dimaksudkan oleh Faruqi adalah ada dua nilai yang terdapat pada diri manusia. Kedua nilai tersebut adalah nilai guna dan nilai akhlak. Nilai guna bentuknya apabila manusia dalam menggunakan kebebasan yang diberikan Tuhan sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya. Sedangkan nilai akhlak dalam menggunakan kebebasan yang diberikan Tuhan apabila manusia menggunakan kebebasan itu lurus dengan apa yang diingini oleh Tuhan. Kedua nilai tersebut dan kerja manusia adalah ciptaan Tuhan, tetapi dari kedua nilai itu, nilai moral atau akhlak adalah yang lebih tinggi (al-Faruqi 1994:47). Dengan demikian, kebebasan manusia untuk memilih dibatasi oleh potensi yang dimilikinya. Faruqi sudah maju selangkah dari teologi tradisional karena ia telah memakai wawasan aksiologis.
3. Konsep Iman
Faruqi mendefinisikan iman adalah sesuuatu yang terjadi dalam diri manusia, ketika kebenaran, faktualitas dari suatu obyek terbuka bagi mata hatinya dan meyakinkannya tanpa keraguan lagi akan kebenarannya. Pendapatnya ini disandarkannya pada definisi yang dikemukakan oleh l-Ghazali yaitu iman adalah suatu visi yang menempatkan semua data dan fakta dalam perspektif yang sesuai dengan, dan perlu bagi, pemahaman (akal) yang benar atas mereka (al-Faruqi 1982:42).
Secara definitive berdasarkan kritik sumber, maka referensi Faruqi ini bercorak tradisional, karena al-Ghazali adalah salah seorang tokoh penganut paham teologi yang bercorak tradisional yang menginduk kepada Asy’ari. Menurut paham Asy’ari, iman adalah tasdiq yaitu menerima sebagai benar kabar tentang adanya Tuhan (Nasution 1986:148). Namun, dalam uraian berikutnya, penjelasan iman menurut Faruqi tidak begitu persis dengan apa yang dijabarkan oleh paham teologi tradisonal. Dalam hal ini, Faruqi membandingkannya dengan konsep iman yang ada pada agama Kristen. Iman dalam Islam adalah kebenaran yang diberikan pada pikiran, bukan pada perasaan manusia yang percaya begitu saja. Iman dalam Islam bersifat kritis dan rasional dan tidak perlu mendapat legitimasi dari pandangan-pandangan emosional yang dipaksakan. Sifat-sifat iman seperti inilah yang tidak terdapat pada iman Kristen (al-Faruqi 1982:42).
Sangat sulit untuk mengidentifikasi pada tataran mana iman menurut Faruqi berada. Konsep imannya boleh dibilang berlatar belakang tradisional, tetapi dalm penjabarannya menggunakan dalil-dalil rasional. Namun, yang jelas metode yang dilakukan Faruqi bukanlah taklid buta pada warisan klasik tanpa punya landasan berpikir tersendiri. Bagi Faruqi, warisan klasik hanya sebagai referensi historis dalam rangka mempertahankan perjalanan khazanah peradaban Islam di bidang ilmu pengetahuan.
Terjemahan-terjemahan yang dilakukan oleh Faruqi dalam menafsirkan beberapa konsep yang ada dalam Alquran yang berhubungan dengan alam adalah dengan mengambil pesan moral yang terdapat dalam Alquran tersebut. Kemudian ia jabarkan sesuai dengan realitas kontemporer di mana ia berada. Oleh karena itu, bisa saja terjemahannya tentang iman dalam Alquran seiring dengan pandangan al-Ghazali ketika menerjemahkan persoalan yang sama. Akan tetapi, yang perlu diingat adalah olah piker mereka maksimal menggunakan pemahaman (akal).
4. Antropomorfisme
Meskipun kajian tentang antropomorfisme termasuk dalam pembahasan tentang sifat-sifat Tuhan, namun perlu dikemukakan pandangan Faruqi tentang ayat-ayat tasybih ini. Faruqi secara eksplisit menghadirkan pandangan paham tradisional dan paham rasional di samping pandangannya sendiri. Dalam memberikan penjelasannya itu, yang dapat ditangkap adalah etika ilmiah yang tercermin dalam menguraikan masalah yang ada. Untuk lengkapnya akan dijelaskan berikut.
Ketika Mu’tazilah mempertahankan transendensi Tuhan dan menyatakan bahwa atribut-atribut-Nya harus dipahami secara alegoris, Faruqi mengungkapkan kekhawatirannya. Ia mengatakan jika makna leksikografis dari ayat-ayat tasybih diangkat, maka tidak ada lagi yang tinggal untuk menjadi dasar pijakan bagi makna kata-kata tersebut dan mencegahnya hanyut semena-mena (al-Faruqi 1982:27).
Begitu pula dengan pandangan Asy’ari yang mengusahakan metodologinya dengan cara memahami makna leksikografis pada tahap awal yang sampai pada pengakuan dan pemahaman. Pada tahap kedua adalah menegasikan pemahaman pertama tersebut dalam rangka melahirkan suatu keadaan baru bagi tujuan yang lebih dapat diterima. Urain ini adalah al-husnu al-dzhan Faruqi terhadap pandangan al-Asy’ari tentang ayat-ayat tasybih yang berkesimpulan dengan bi la kaifa. Namun pada akhirnya, Faruqi berkesimpulan bhwa pembelaannya terhadap konsep bi la kaifa tersebut adalah mustahil karena pemahaman awal sifatnya adalah empiris sedangkan tahap kedua bersifat spekulatif.
Pembelaan Faruqi terhadap paham Asy’ari ini mengandung kesatuan pikiran yang bernilai pragmatis. Gagasan pertama Asy’ari yang diterjemahkannya dengan menggunakan makna leksikografis terhadap ayat-ayat tasybih bertujuan untuk konsumsi kaum awam. Sedangkan tahap kedua, dengan masih berdasarkan dan mengikuti tahap pertama yaitu menegasikan makna leksikografis dalam rangka untuk melangkah pada makna yang lebih filosofis cocok untuk konsumsi orang-orang yang ingin mendalami bidang pemikiran kalam.
Sementara itu, pada bagian terpisah Faruqi berpendapat bahwa untuk menerapkan solusinya terhadap pemikiran Asy’ari tentang ayat-ayat tasybih adalah mustahil. Secar tegas pula ia nyatakan bahwa menerapkan makna empiris terhadap ayat-ayat tasybih tidak dapat dilakukan (al-Faruqi 1982:28).
Dari beberapa pemikiran Faruqi dalam bidang teologi tersebut, dapat dikatakan bahwa ia adalah seorang pemikir yang hidup dalam waktu modern. Sebagaimana layaknya wacana teologi modern maka ia beranjak dari isu-isu kemanusiaan. Di samping itu, pluralisme tidak bisa dilepaskan sebagai implikasi dari corak yang timbul pada pemikiran teologi Faruqi.
BAB IX
PEMIKIRAN TEOLOGI HASSAN HANAFI
A. Riwayat Hidup Hassan Hanafi
Hassan Hanafi lahir pada tanggal 13 Pebruari 1935 di Kiro, daerah perkampungan al-Azhar. Ia adalh seorang filosof dan teolog Mesir yang mengambil gelar Sarjana Filsafat di Universitas Kairo pada tahun 1958. Gelar Doktor diperolehnya dari Universitas Sarbone, Paris dengan disertasinya yang berjudul L’Exegesesde la Phenomenologue, L’etat Actel de la Methode Phenomenologue et son Aplication au Phenomene Religieux. Karya setebal 900 halaman ini mendapat penghargaan bi penulisan karya ilmiah terbaik di Mesir pada tahun 1966. Karya ini merupakan upaya Hassan Hanafi untuk menghadapkan ilmu Ushul Fiqh (teori hukum Islam, Islamic Legal Theory) pada mazhab filsafat fenomenologi dari Edmund Husserl (Ridwan 1998:15).
Masa kecil Hassan Hanafi dihadapkan pada kenyataan hidup di bawah penjajahan bangsa asing (Inggris). Kenyataan ini membangkitkan sikap patriotik dan nasionalisnya sehingga ia berusaha mendaftarkan diri menjadi sukarelawan perang melawan Israel pada tahun 1948 meskipun waktu itu usianya baru 13 tahun. Namun, ia ditolak oleh Pemuda Muslimin karena usianya masih terlalu muda.
Setelah menamatkan pendidikan tingkat dasar dan tsanawiyah, Hassan Hanafi melanjutkan pendidikannyake Departemen Filsafat Universitas Kairo. Di samping belajar filsafat, ia juga mempelajari ilmu-ilmu keislaman dan teori-teori ilmu sosial. Pada tahun 1956—1966, ia mendapat kesempatan belajar di Universitas Sarbone, Perancis. Di sinilah ia merasakan sesuatu yang berarti bagi perkembangan pemikirannya. Kemudian ia berlatih berpikir secara metodologis, baik melalui kuliah maupun membaca karya-karya orientalis. Di Perancis inilah tampaknya ia menemukan lingkungan yang kondusif untuk mencari jawaban terhadap persoalan-persoalan yang sedang dihadapi oleh negerinya dan sekaligus merumuskan jawaban-jawabannya. Hassan Hanafi sempat pula belajar pada seorang reformis Katholik, Jean Gitton, tentang metodologi berpikir, pembaharuan dan sejarah filsafat. Ia belajar fenomenologi dari Paul Rocouer, analisis kesadaran dari Husserl dan bimbingan penulisan tentang pembaharuan Ushul Fiqh dari Professor Mansion (Hanafi 1987:15)
Hassan Hanafi banyak menyerap pengetahuan Barat dan mengonsentrasikan diri pada kajian pemikiran Barat pra-modern dan modern.Meskipun ia menolak dan mengritik Barat, sebagaimana yang dikatakan oleh Kazuo Shimogaki (pemerhati Timur Tengah dari Jepang) bahwa ide-ide liberalisme Barat, demokrasi, rasionalisme, dan pencerahan telah memengaruhinya sehingga ia dkategorikan sebagai seorang modernis liberal.
Sejak belajar di Perancis sampai dasawarsa 90-an, Hassan Hanafi telah menghasilkan karya ilmiah dalam berbagai bidang baik dalam bentuk buku, artikel, dan tulisan lainnya. Dilihat dari karya ilmiahnya yang banyak dan mencakup berbagai bidang kajian keislaman terutama mengenai Kiri Islam, Kazuo Shimogaki telah melihat peranan Hassan Hanafi sebagai pemikir Islam dalam tiga wajah. Pertama, Sebagai seorang pemikir revolusioner yang berusaha mencapai revolusi tauhid dalam pandangan dunia Islam. Kedua, sebagai seorang reformis tradisi intelektual Islam klasik, ia adalah seorang rasionalis seperti Muhammad Abduh. Ketiga, sebagai penerus gerakan al-Afghani dalam melawan imperialisme Barat untuk mempersatukan dunia Islam (Shimogaki 1994:4).
Karya Kiri Islam Hassan Hanafi telah menempatkan dirinya sebagai seorang pemikir Islam yang terkenal di Barat dan di Timur. Di samping menulis berbagai buku mengenai masalah keislaman, ia juga pernah mendapat kesempatan menjadi professor tamu di Perancis (1969) dan Belgia (1970). Kemudian pada tahun 1971 sampai tahun 1975 ia mengajar di Universitas Temple, Amerika.
B. Corak Pemikiran Teologi Hassan Hanafi
Walaupun dalam beberapa hal Hassan Hanafi menolak dan mengeritik Barat, namun ia banyak menyerap dan mengonsentrasikan diri pada pemikiran Barat pra modern dan modern. Oleh karena itu, Shimogaki mengategorikan Hassan Hanafi sebagai seorang modernis-liberal karena ide-ide liberalisme Barat, demokrasi, rasionalisme, dan pencerahan telah banyak memengaruhinya (Kusnadiningrat 1999:62).
1. Kritik Hassan Hanafi terhadap Teologi Tradisional
Hassan Hanafi banyak melakukan kritik terhadap teologi tradisional, di antaranya adalah:
Pertama, secara historis teologi tradisional lahir pada waktu inti system kepercayaan Islam digoncang oleh berbagai pengaruh sekte dan budaya lama. Dalam keadaan seperti ini diperlukan suatu kerangka konseptual dengan memakai bahasa dan kategori-kategori yang berlaku pada masanya agar dapat mempertahankan doktrin utama dan memelihara kemurniannya. Memang, seluruh ilmu dialektik dibangun untuk mempertahankan diri dan menolak yang lain.
Kritik Hassan Hanafi terpusat pada ketidakmunculan pembahasan sejarah dalam teologi tradisional. Para penyusun teologi belum menemukan adanya keperluan untuk mengaitkan Tuhan, sejarah, dengan bumi dan dengan kehidupan manusia.
Kedua, secara terminologis dalam pandangan Hassan Hanafi, teologi bukanlah pemikiran murni yang muncul dalam kehampaan kesejarahan, melainkan ia merefleksikan konflik-konflik sosial politik. Oleh karena itu, kritik teologi memang merupakan tindakan yang sah dan dibenarkan. Sebagai hasil pikiran manusia, teologi harus terbuka untuk kritik. Menurutnya, teologi bukanlah ilmu tentang Tuhan, melainkan ilmu tentang kata(‘ilm al-Kalam) (Ridwan 1998:45).
Teologi merupakan refleksi dari wahyu yang memakai kosa kata zamannya dan didorong oleh kebudayaan dan tujuan hidup masyarakat. Dalam konteks ini, teologi merupakan hasil proyeksi kebutuhan dan tujuan masyarakat manusia ke dalam teks kitab suci. Menurut Hassan Hanafi, sejarah teologi adalah sejarah proyeksi keinginan manusia ke dalam kitab suci itu.
Ketiga, Hassan Hanafi juga menunjukkan bahwa teologi tradisional sudah tidak dapat lagi menjadi sebuah pandangan yang benar-benar hidup dan memberi motivasi tindakan dalam kehidupan nyata umat manusia. Secara praxis, teologi tradisional gagal menjadi semacam teologi yang sungguh-sungguh berfungsi bagi kehidupan nyata masyarakat Muslim. Hal ini disebabkan karena para teolog tradisional dalam menyusun teologi tidak mengaitkan dengan kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Akibatnya, secara individual pemikiran manusia terlepas dengan kesadaran, perkataan dan perbuatannya. Kondisi ini akan mudah melahirkan sikap moral yang ganda (al-nifaq) atau sinkritisme kepribadian.
Gejala sinkritis tersebut terlihat dalam kehidupan umat Islam, yaitu antara kultur keagamaan dan sekularisme, antara tradisional dan modern, antara konservatifisme dan progresivisme, dan antara kapitalisme dengan sosialisme. Oleh karena itu, sejarah semestinya merupakan proses menuju pendewasaan dan bukan menciptakan problema-problema teoritis.
Hassan Hanafi menyimpulkan bahwa tidak ada kebenaran obyektif atau arti yang berdiri sendiri, terlepas dari keinginan manusiawi. Kebenaran teologi adalah kebenaran persesuaian antara arti naskah asli yang berdiri sendiri dengan kenyataan obyektif yang selalu berupa nilai-nilai manusiawi yang universal. Dengan kata lain, Hassan Hanafi ingin mengungkapkan bahwa teologi tradisional tidak menyentuh masalah sosial-historis.
2. Teologi Kiri Islam Hassan Hanafi
Hassan Hanafi dapat dikatakan sebagai penerus pemikiran al-Afghani dan Abduh. Pemikiran Hassan Hanafi didorong oleh kondisi lingkungannya yang dijajah . Hal ini tidak jauh berbeda dengan kondisi masyarakat Islam pada zaman al-Afghani dan Abduh hidup. Al-Afghani, melalui Pan-Islamisme, menyeru umat Islam untuk bersatu dalam rangka membebaskan diri dari penjajah. Sedangkan Abduh memilih jalan pendidikan untuk mencerdaskan umat Islam agar terlepas dari kebekuan berpikir. Sementara Hassan Hanafi ingin membebaskan umat Islam dari kebekuan berpikir dan membebaskan umt Islam dari ketertindasan ekonomi dan politik.
Hassan Hanafi ingin memungsikan teologi sebagai ilmu-ilmu yang bemanfaat bagi masa kini. Dengan melakukan rekonstruksi dan revisi serta membangun kembali epistimologi baru yang sahih dan lebih signifikan, keinginan Hassan Hanafi mungkin terwujud. Tujuan rekonstruksi teologi adalah untuk menjadikan teologi itu sendiri tidak sekedar dogma keagamaan yang kosong, melainkan menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial sehingga berfungsi sebagai landasan etik dan motivasi tindakan manusia.
Hassan Hanafi tampaknya ingin mengembalikan agama pada fungsinya yang semula, yaitu sebagai landasan etik-teoritis dan motivasi berbuat menuju revolusi da transformasi sosial. Ia mendeskripsikan Zat dan Sifat Tuhan secara metaforis, umpamanya, dalam memahami al-wahdaniyah sebagai sebuah eksperimentasi kemanusiaan. Al-wahdaniyah adalah pengalaman psikologis, sosial politik, kesejarahan, dan artistik. Al-wahdaniyah menyingkap pengalaman umum kemanusiaan tentang kesatuan; kesatuan tujuan, kesatuan kelas, kesatuan nasib, kesatuan tanah air, kesatuan kebudayaan, dan kesatuan kemanusiaan (Hanafi 1981:13).
Menurut Hassan Hanafi, tauhid berarti kesatuan pribadi manusia, yang jauh dari perilaku dualistik seperti hipokratis, kemunafikan (double talk), dan perilaku oportunistik. Pikiran, perasaan, dan perkataan adalah identik dengan perbuatan. Tauhid berarti pula kesatuan sosial: masyarakat tanpa kelas (tanpa kelas kaya dan miskin). Dalam pandangan universal seperti ini, distingsi kelas adalah bertentangan dengan kesatuan dan persamaan eksistensial antara manusia. Tauhid juga mempunyai arti kesatuan kemanusiaan tanpa diskriminasi rasial apapun, tanpa perbedaan ekonomi, tanpa perbedaan antara masyarakat maju dan berkembang, Barat dan bukan Barat, dan seterusnya. Menurutnya, transendensi Mu’tazilah yang diapresiasikan secara demikian tinggi dapat dengan baik mendorong individu selalu mencari kemungkinan terjauh dalam meraih maksimalitas universalisme (Hanafi 1980:2).
Pemikiran Hassan Hanafi menjadi terkenal setelah tulisannya yang berjudul Al-Yasar al-Islamy (Kiri Islam) muncul dalam bentuk jurnal. Tulisannya ini direncanakan sebagai tajuk rencana jurnal gerakan pemikirannya. Istilah Kiri Islam bukanlah yang pertama digunakan oleh Hassan Hanafi. Sebelum Hassan Hanafi memakai istilah tersebut, sudah ada orang yang menggunakannya yaitu Ahmad Gabbas Salih. Dalam tulisannya yang berjudul Kiri Islam, ia menguraikan langkah-langkah (konstruksi) masyarakat Islam untuk mengubah keadaan umat Islam dalam menghadapi zaman modern. Langkah-langkah tersebut adalah:
1. Dari Tuhan ke bumi.
Segala sesuatu yang diberikan Tuhan (keimanan) pada manusia bertujuan agar manusia dapat mengelola bumi dengan baik. Dengan demikian, segala sesuatu harus dilandasi dengan iman.
2. Dari keabadian (pasca dunia) ke waktu.
Pemikirannya ini bertujuan untuk membumikan pemikiran manusia, jangan berpikir mengawang terus. Manusia harus melihat kenyataan yang ada dalam berpikir dan bertindak.
3. Dari Takdir ke kehendak bebas.
Hassan Hanafi menekankan bahwa manusia bebas menentukan nasibnya sendiri. Jadi, nasib manusia tidak ditetapkan oleh Tuhan dengan kehendak mutlak-Nya.
4. Dari otoritas (wahyu) ke akal.
Menurutnya, wahyu dan akal sama-sama dari Tuhan, jadi argument keduanya sama-sama benar. Pernyataannya ini bertujuan agar manusia menggunakan akalnya untuk merombak kebekuan berpikir.
5. Dari teori ke tindakan.
Ini dimaksudkan agar manusia mengaktualisasikan konsep atau ide ke dalam perbuatan. Hal ini dipertegas dengan pernyataannya bahwa tindakan yang benar dari teori yang salah lebih baik daripada teori yang benar tanpa tindakan. Dari sini dapat dilihat motivasi yang diberikan oleh Hassan Hanafi agar manusia mau bertindak. Umat Islam harus mengaktualisasikn konsep-konsep yang ada dalam ajaran Islam. Tanpa adanya aktualisasi, konsep tersebut tidak berguna.
6. Dari kharisma ke partisipasi Massa.
Umat Islam sering bertindak karena kharisma seseorang, biasanya ulama. Umat Islam harus berpartisipasi aktif dalam membina umat jangan hanya bergantung pada kharisma seseorang. Umat Islam harus membiasakan diri bersosialisasi agar dapat berpartisipasi dalam setiap kegiatan.
7. Dari jiwa ke tubuh.
Untuk kebahagiaan jiwa terlebih dahulu sejahterakan tubuh. Maksudnya, untuk mencari kebahagiaan jiwa (ruhani) jangan mengabaikan dunia. Hal ini sejalan dengan hadis nabi yang menyuruh manusia mencari keseimbangan antara kepentingan dunia dan kepentingan akhirat ( kepentingan jiwa dan raga).
8. Dari eskatologi ke futurologi (Shimogaki 1994).
Dari beberapa pemikiran Hassan Hanafi tersebut dapat dikatakan bahwa ia berorientasi ke anthroposentris yang didorong oleh kondisi lingkungannya.
Hassan Hanafi mengakui bahwa istilah kiri dan kanan memang tidak ada dalm akidah Islam. Istilah ini hanya ada dalam tataran sosial, politik, ekonomi, dan sejarah. Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa Kiri Islam berbicara dalam koteks umat Islam dalam realitas historis tertentu dan dalam sistem sosial tertentu.
Kiri Islam juga bermula dari diferensiasi dikotomis antara Barat dan Timur. Barat baginya adalah entitas Negara-negara yang terkait dengan imperialisme. Dalam pandangan Kiri Islam, Barat adalah suatu kawasan, bangsa, kebudayaan, peradaban, masyarakat yang selalu terkait dengan penjajahan. Kiri Islam lahir untuk membebaskan diri dari penjajahan Barat dalam bentuk ancaman ekonomi, politik, dan kebudayaan.
Pada bagian lain, Hassan Hanafi menyatakan bahwa Kiri Islam lahir setelah berbagai metode pembaharuan masyarakat Islam dalam beberapa generasi menghasilkan hal yang semu, bahkan sebahagiannya gagal. Kegagalan ini menurutnya disebabkan beberapa faktor. Pertama, kecenderungan agama dikooptasi oleh penguasa dan praktik keagamaan diarahkan menjadi ritus semata-mata. Kedua, liberalisme yang pernah berkuasa ternyata memakai kebudayaan Barat, meskipun secara teori menolak kolonialisme namun dalam berperilaku seperti colonial yang hanya melayani kelas-kelas elite. Ketiga, Marxisme yang berpotensi mewujudkan keadilan sosial dan menentang kolonialisme ternyata tidak diikuti dengan pembebasan masyarakat dan pengembangan wawasan mereka sebagai energi untuk mewujudkan tujuan-tujuan kemerdekaan. Keempat, nasionalisme revolusioner yang berhasil membuat perubahan-perubahan radikal dalam sistem politik dan ekonomi ternyata tidak bertahan lama dan tidak memengaruhi mayoritas masyarakat. Untuk itu, Kiri Islam lahir dalam rangka merealisasikan tujuan-tujuan pergerakan nasional dan prinsip-prinsip revolusi sosial.
Kiri Islam dimunculkan oleh Hassan Hanafi setelah kemenangan Revolusi Islam di Iran pada tahun 1979. Peristiwa besar dalam sejarah modern itu juga menjadi perhatiannya (Shimogaki 1994:8). Dalm tulisannya Agama dan Revolusi, Hassan Hanafi mengatakan bahwa tugas Kiri Islam adalah untuk menguak unsur-unsur revolusioner dalam agama dengan menjelaskan hubungan agama dan revolusi atau memberi makna agama sebagai revolusi. Agama adalah revolusi dan para nabi merupakan revolusioner sejati.
Kiri Islam ingin mengembangkan reformasi agama secara revolusioner menghdapi ancaman kolonialisme, proteksionisme, kapitalisme, keterbelakangan, dan penindasan. Kiri Islam adalah upaya untuk melakukan transformasi umat dari belenggu colonial pada pembebasan dan demokrasi.
Adapun tujuan dari Kiri Islam adalah:
1. Membebasan umat Islam dari ketertindasan di bidang ekonomi dan politik,
2. Membebaskan umat Islam dari belenggu keakhiratan menuju kekinian,
3. Menghidupkan kembali khazanah klasik,
4. Menentang peradaban Barat dan digantikan dengan kiri Islam,
5. Mempersatukan umat Islam dalam ukhuwah al- ummah,
6. Revolusi tauhid.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa teologi kiri Islam sama dengan Islam rasional. Kiri Islam dikemukakan Hassan Hanafi sebagai wujud kesadaran penuh atas posisi kaum Muslimin yang tertindas. Ia menginginkan umat Islam melakukan rekonstruksi terhadap seluruh bangunan pemikiran Islam tradisional agar dapat berfungsi sebagai kekuatan pembebasan. Adapun ciri-ciri Teologi Hassan Hanafi adalah:
1. Akal mampu memecahkan berbagai persoalan kehidupan manusia, akal dapat mengetahui baik dan buruk, andai akal bertentangan dengan wahyu, akal dimenangkan dan wahyu ditakwil,
2. Wahyu bersifat konfirmatif,
3. Kehendak bebas dan takdir dalam arti sunnatullah,
4. Mengutamakan tindakan daripada teori atau konsep,
5. Surga dan nerak tidak kekal.
Dari ciri-ciri teologinya ini, Hassan Hanafi dapat dikatakan sebagai pemikir yang sangat rasional dan progresif. Kerasionalannya dituangkannya dalam gagasan Kiri Islam yang merupakan sebuah konsep sebagai landasan untuk mengangkat posisi kaum lemah, tertindas dan miskin yang diakibatkan oleh imperialisme Barat. Sedangkan progresivitasnya dapat dilihat dari keinginannya merekonstruksi Islam untuk masa depan dan bersifat terbuka terhadap pembaharuan serta sangat kritis.
BAB X
PEMIKIRAN TEOLOGI H. AGUS SALIM
a. Riwayat Hidup H. Agus Salim
Dalam buku sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, hampir dapat dipastikan kita tidak akan menemukan nama Masyhudul Haq. Padahal ia merupakan seorang pemikir, ulama, politikus, sastrawan, dan bermacam-macam gelar atau sebutan yang diberikan kepadanya. Kebesaran namanya sebagai seorang tokoh pejuang kemerdekaan diakui oleh masyarakat internasional. Namun, nama yang kita kenal adalah H. Agus Salim, bukan nama aslinya yaitu Masyhudul Haq.
H. Agus Salim dilahirkan di kota Gadang, Bukittinggi pada tanggal 8 Oktober 1884. Ayahnya bernama Sutan Muhammad Salim dan ibunya bernama Siti Zainab. Agus Salim tergolong kaum priyayi karena ayahnya adalah seorang pejabat Jaksa Tinggi di Riau. Jabatan ayahnya tersebut cukup terhormat untuk bangsa pribumi waktu itu. Atas dasar inilah Agus Salim diterima di sekolah dasar Belanda Europeese Lagere School (ELS) (Tim Penulis 1981:177).
Pada tahun 1897, Agus Salim berangkat ke Batavia (sekarang Jakarta) untuk melanjutkan studi di HBS (Hogere Burger School). Sekolah ini dikhususkan untuk orang-orang Eropa karena itu jarang sekali ditemukan bangsa pribumi yang sekolah di sana. Kecerdasan Agus Salim makin terlihat ketika ia sekolah di HBS ini. Hal itu dibuktikan dengan keberhasilannya sebagai juara umum untuk tiga sekolah menengah sekaligus. Ketiga sekolah tersebut masing-masing berada di Jakarta (Batavia), Surabaya, dan Bandung. Prestasi gemilang itu diraihnya pada tahun 1903.
Setelah lulus dari HBS, Agus Salim bermaksud melanjutkan studinya ke perguruan tinggi di negeri Belanda jurusan kedokteran. Akan tetapi, keinginan tersebut tidak tercapai karena ayahnya tidak cukup mampu untuk membiayai pendidikan itu. Kemudian ia berusaha untuk mengajukan beasiswa ke pemerintah Belanda, tetapi permohonan itu ditolak dengan alasan tidak ada beasiswa bagi bangsa pribumi. Walaupun R.A. Kartini telah berusaha membantu dengan memberikan jatah beasiswanya kepada Agus Salim, tetapi tetap tidak diizinkan (Panitia 1996:24)
Pada tahun 1906, ia menerima tawaran pemerintah Belanda untuk menjadi konsulat Belanda di Jeddah. Atas pertimbangan keluarga tawaran itu ia terima dengan berat hati karena cita-citanya untuk sekolah kedokteran di Belanda tidak tercapai. Lima tahun lamanya bekerja di Konsulat Belanda di Jeddah, ia banyak membantu jemaah haji Indonesia. Di samping itu ia memperdalam ilmu agama kepada pamannya Syekh Ahmad Khatib yang telah bermukim di Jeddah sejak tahun 1876. Potensi kritis dan kecerdasan pikiran Agus Salim memungkinkan ia belajar kepada Syekh Ahmad Khatib dengan metode diskusi. Hal ini berbeda dengan murid-murid Ahmad Khatib yang lain seperti Syekh Jamil Jambek, Syekh Jamil Jaho, Abdul Karim Amrullah, Syekh Sulaiman Rasuli, Ibrahim Musa Parabek, bahkan K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Ibrahim (Panitia 1996:24).
Pada bulan Desember tahun 1911 tugasnya di Jeddah berakhir. Setahun kemudian ia menikah dengan gadis pujaannya, Zainatun Nahar. Ia mulai memasuki pergerakan nasional pada tahun 1915 melalui wadah Syarikat Islam (SI). Bersama dengan H.O.S Cokroaminoto ia bergulat dengan memperjuangkan nasib bangsa yang mayoritas beragama Islam. Diawali sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung, setelah itu menjabat sebagai menteri Muda Luar Negeri dalam Kabinet Syahrir II dan III (1946—1947). Kemudian dalam Kabinet Amir Syarifuddin, ia menjabat sebagai Menteri Luar Negeri (1947). Ia tetap menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Hatta I dan II (1948—1949).
Dalam bidang intelektual, sejak Januari hingga Juni 1953 Agus Salim menjadi dosen tamu di Cornel University, Amerika. Ia memberi kuliah tentang pergerakan dan cita-cita Islam Indonesia. Sebelum pulng ke Indonesia, ia sempat mengikuti pertemuan tingkat Internasional di Washington yang diadakan oleh Princeton University dan The Library of Conggres yang bertema : Collogium on Islamic Culture. Pada tanggal 8 Oktober 1954 ia sempat merayakan ulang tahun yang ke-70 namun sebulan kemudian, tepatnya tanggal 4 Nopember 1954 ia wafat.
B. Corak Teologi H. Agus Salim
Dalam pengamatan orangtuanya, ketaatan Agus Salim dalam beragama sangat berkurang selama ia sekolah di HBS, Batavia (Jakarta). Oleh karena itu, ketika ibunya (Zainab) mendengar ada tawaran untuk bekerja sebagai konsulat Belanda di Jeddah, ibunya memberikan dorongan sepenuhnya pada Agus Salim. Ibunya berharap agar Agus Salim kembali taat beragama di bawah bimbingan pamannya syekh Ahmad Khatib yang sudah lama bermukim di Mekah (Panitia 1996:42). Pemikiran Agus Salim selama di ELS dan HBS yang kritis dan sistematis sebagai hasil didikan Eropa, bertemu dengan ajaran Islam yang bercorak pembaharuan dari pamannya mengantarkannya pada kenikmatan beragama dalam tataran rasional (Nasution 1992:23).
Zaman pencerahan dalam dunia Islam ditandai dengan munculnya para tokoh yang berhaluan rasional seperti Jamaluddin al-afghani di Mesir, Zia Gokalp di Turki, Sayyid Ahmad khan di India. Mereka menyeru agar umat Islam kembali ke teologi sunnatullah dengan pemikiran yang rasional, filosofis dan ilmiah seperti yang dilaksanakan oleh umat Islam zaman klasik. Sementara itu, Agus Salim telah bertemu dengan tokoh-tokoh yang berpaham Wahabi yang menganut paham teologi tradisional. Paham teologi tradisional inilah yang tumbuh subur di Indonesia yang menyebabkan umat Islam bersikap statis menghadapi kehidupan. Paham kehendak mutlak Tuhan yang dianut oleh sebagian besar umat Islam di Indonesia membawa keuntungan bagi kolonial Belanda (Nasution 1998:118).
Agus Salim berpendapat bahwa kemunduran umat Islam Indonesia disebabkan kekeliruan dalam menafsirkan ajaran-ajaran Islam. Selain itu, sikap taklid buta tanpa menghiraukan kedudukan akal sebagai pembanding ajaran Alquran dengan realitas yang mengitarinya menyebabkan terbungkusnya dinamika kehidupan umat yang berkepanjangan (Salam 1963:92). Di sisi lain, tampaknya ia sangat tidak puas dengan sikap ulama ortodoks yang kaku dalam memahami ajaran Islam sehingga usaha mereka dalam mendakwahkan agama kurang berarti dalam mengimbangi perkembangan zaman.
Keberanian Agus Salim dalam merombak tatanan tradisi lama yang dianggap syari’at oleh masyarakat, seperti menanggalkan kain(dinding) pembatas antara kaum wanita dan kaum pria yang sengaja dipasang dalam berbagai kegiatan, merupakan satu tindakan yang membutuhkan keberanian sekaligus kesiapan intelektual yang matang. Ia mengatakan bahwa sangat janggal bila kita lihat kaum wanita disembunyikan dalam suatu pertemuan. Hal itu merupakan tradisi(kebiasaan) bangsa Arab yang jika dilaksanakan tidak menguntungkan bagi propaganda perhimpunan kita (Jong Islamited Bond), ujarnya (Panitia 1996:232).
Gagasan-gagasan Agus Salim dalam pembaharuan keagamaan bertumpu pada aide kaum Wahabi. Meskipun ia bertumpu pada ide kaum Wahabi yang bercorak teologi tradisional, tetapi ia memberikan porsi yang besar pada akal dalam memahami agama. Gerakan pemurnian ajaran Islam memang sedang berkembang di dunia Islam pada saat itu seperti di Mesir, Turki, India dan sebagainya. Kehadiran gerakan pemurnian Islam di Indonesia terkesan terlambat bila dibandingkan dengan negara-negara lain.
Menurut Agus Salim, agama Islam mendidik akal manusia dan juga hati supaya jangan bergantung pada duniawi semata. Namun demikian, ia juga menganjurkan agar manusia berikhtiar dalam kehidupan dunianya. Ajaran Islam merupakan pedoman dan pandu (penunjuk jalan) yang sempurna bagi manusia untuk menjalani kehidupan dunia sambil mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat kelak (Panitia 1996:232). Dengan demikian, ia menganjurkan agar manusia bersikap aktif dan dinamis dalam kehidupannya. Sikap aktif dan dinamis akan menghindarkan manusia dari berpikir sempit dan sektarian. Selain itu, sikap demikian akan menumbuhkan kembali pengertian bahwa beragama bukan hanya ritual semata, tetapi menyangkut soal kemasyarakatan, politik, ekonomi, sosial budaya, dan sebagainya. Hal ini ia contohkan sampai ia wafat.
Selain itu, Agus Salim menolak pendapat yang mengatakan bahwa ajaran Islam tentang takdir bersifat fatalisme. Paham tentang takdir yang dipahami sebagian besar umat Islam telah membuat umat Islam menjadi fanatik, nekad, dan tidak takut mati. Menurutnya, memahami ajaran Islam tentang takdir harus selalu dikaitkan dengan prinsip tauhid. Dari prinsip tauhidlah orang harus membaca konsep takdir yang mewajibkan orang tawakkal dan sabar. Konsep takdir yang lepas dari kendali tauhid dapat menyeret orang ke dalam faham fatalistik yang menempatkan manusia pada posisi yang sama sekali tidak berdaya. Ajaran tentang takdir dalam Islam sebenarnya bukan ajaran tentang fatalisme. Dalam takdir ada unsur ikhtiar manusia, dikatakan ada ketetapan (takdir) Tuhan dimaksudkan agar manusia tidak sombong.
Iman menurutnya bukan hanya pengakuan akan ada dan kuasanya Allah, melainkan mengandung pula arti harap dan percaya kepada-Nya yang bersifat pengasih dan penyayang. Oleh karena itu, pengakuan Islam akan kekuasaan dan takdir Tuhan tidak mengandung perasaan kecewa pada Allah (Salim 1967).
Dari beberapa pandangan Agus Salim tentang teologi, dapat diktakan bahwa ia adalah seorang teolog yang berpaham rasional. Hal ini dapat dilihat dari beberapa pendapatnya terutama dalam hal menghidupkan kembali fungsi akal dalam memahami ajaran agama, menjauhkan diri dari taklid buta yang hanya akn mempersempit pemahaman terhadap agama, dan konsepnya tentang takdir yang berlandaskan pada tauhid. Takdir bukan berarti tidak ada usaha dari manusia, tetapi manusia harus tawakal dan sabar dalam setiap usahanya.
Pemikiran-pemikiran Agus Salim dalam bidang keagamaan maupun kebangsaan terus mengalir seiring perkembangan zaman. Oleh karena itu, tidak berlebihan bila Ahmad Syafi’i Ma’arif mengatakan bahwa tokoh-tokoh intelektual muslim seperti Natsir, Roem, Kasman, Wibisono, Prawoto, dan masih banyak lagi yang lainnya adalah hasil bentukan Agus Salim yang gemilang terutama lewat Jong Islamited Bond yang didirikan pada tahun 1925. Selain kemampuan berbahasa Arab, ia juga telah mewariskan segala-galanya kepada mereka, seperti kejujuran, intelekualisme Islam, percaya kepada diri sendiri, kecakapan mengurus Negara, kesetiaan pada prinsip-prinsip perjuangan, kesederhanaan, dan rasa tanggung jawab.
BAB XI
PEMIKIRAN TEOLOGI HAMKA
A.Riwayat Hidup Hamka
H. Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan sebutan Hamka, dilahirkan pada tanggal 13 Muharram 1316 H atau bertepatan dengan tanggal 16 Februari 1908 M. Ia lahir di sebuah desa bernama Tanah Sirah dalam Nagari Sungai Batang, di tepi Danau Maninjau. Kelahirannya bertepatan dengan 10 hari kematian kakeknya, Syekh Muhammad Amrullah atau tuanku Syekh Nan Tuo, sehingga kelahirannya sebagai anak laki-laki dapat menjadi obat bagi ayahnya Syekh Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) dan ibunya Syafiah (Hamka 1982:64). Pemberian nama Abdul Malik tersebut, diambil ayahnya dari nama anak gurunya, Syekh Ahmad Khatib, yang bernama Abdul Malik. Anak gurunya tersebut pernah menjabat sebagai Duta Besar di Mesir pada zaman pemerintahan Syarif Husain di Mekkah.
Menjelang kelahiran Hamka, Ranah Minang diliputi oleh berbagai konplik, baik masalah politik, agama, maupun adat. Di samping upaya melepaskan diri dari penjajah, timbul pula pertentangan yang tajam antara Kaum Tuo dengan Kaum Mudo dal masalah agama. Ketika itu Kaum Mudo bangkit untuk menyemaikan ide-ide pembaharuan dalam Islam di Ranah Minang. Kaum Mudo dimotori oleh empat orang tokoh yang terkenal yaitu: Syekh Thaher Djalaluddin, Syekh Muhammad Djamil Djambek, Dr. H. Abdul Karim Amrullah, dan H. Abdullah Ahmad. Mereka berusaha melakukan pemurnian ajaran Islam dari praktik-praktik bid’ah, khurafat, dan takhayul. Hal ini bertentangan dengan Kaum Tuo sehingga mereka dituduh kafir karena mereka telah memakai pakaian layaknya orang Belanda (penjajah) (Hamka 1982:106—107). Meskipun mendapat tantangan dari Kaum Tuo, mereka tetap melakukan gerakan pembaharuan yang diwarnai oleh pemikiran Muhammad Abduh.
Suasana konflik mewarnai kehidupan Hamka kecil yang dipanggil dengan Abdul Malik. Sebagai pewaris genologis keulamaan, maka ayahnya mengawali pendidikan Hamka dengan belajar Alquran di rumah orangtuanya di Maninjau (Hamka 1979:28). Pada tahun 1914 M. mereka sekeluarga pindah dari Maninjau ke Padang Panjang. Setahun kemudian, ketika usia Hamka mencapai tujuh tahun, ia dimasukkan ayahnya ke sekolah desa, sore harinya pergi belajar ke sekolah diniyah yang didirikan oleh Zainuddin Labai el-Yunusi di Pasar Usang Padang Panjang. Sedangkan pada malam harinya Hamka berdiam di surau bersama teman-teman sebayanya. Rutinitas tersebut sangat tidak menyenangkan bagi anak-anak seusia Hamka. Perasaan terkekang dan sikap ayahnya yang otoriter sebagai seorang ulama yang disegani kala itu, membuat Hamka kecil dikenal sebagai anak nakal dan berprilaku menyimpang. Hal ini dibenarkan oleh A.R. Sutan Mansyur yang berperan besar bagi pertumbuhan Hamka sebagai seorang muballigh (Yusuf 1990:35).
Sistem pendidikan yang diterapkan oleh Thawalib School yang mengharuskan murid menghafal buku-buku lama membuat Hamka jenuh. Sebagai pelarian dari kejenuhannya, Hamka menyibukkan diri di perpustakaan umum milik Zainuddin Labai el-Yunusi dan Bagindo Sinaro. Hamka asyik membaca buku-buku cerita dan sejarah di perpustakaan sehingga ia mendapat teguran dari ayahnya. Hamka kemudian menemui kenyataan pahit ketika ia menyaksikan perceraian kedua orangtuanya. Ibunya lebih rela dicerai daripada dipoligami oleh ayahnya. Untuk mengobati kesedihan hatinya, Hamka pergi ke rumah pamannya, Ja’far Amrullah, di Yogyakarta.
Kota Yogyakarta memberi arti tersendiri bagi kesadaran keagamaan Hamka. Di sana ia menimba ilmu dari tokoh-tokoh terkenal seperti Ki Bagus Hadikusumo, H.O.S. Cokroaminoto, Haji Fachruddin, dan Syamsul Ridjal, tokoh Jong Islamited Bond (Yusuf 1990:39). Kemudian ia aktif dalam organisasi Muhammadiyah (Tim Penyusun 1992:294). Melalui organisasi Muhammadiyah dan Syarikat Islam, ia menemukan corak pembaharuan yang berbeda dengan di Minang. Pembaharuan di Yogya lebih berorientasi pada upaya memerangi keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan serta bahaya kristenisasi yang mendapat dukungan dari pemerintah kolonial. Syarikat Islam tampil menggalang kekuatan ekonomi dengan jiwa dan semangat Islam. Sementara Muhammadiyah membuka berbagai lembaga pendidikan formal dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Semangat baru keislaman yang termanifestasikan dalam wujud gerakan sosial, politik, serta keagamaan di Yogyakarta, telah menimbulkan kesadaran baru bagi Hamka. Sejak saat itu ia mengaktualisasikan dirinya sebagai seorang penganjur dan penyiar Islam. Pada usia yang relative muda, 16 tahun, ia telah berpidato dan menyiarkan Islam di mana-mana (Yusuf 1990:41).
Untuk memperkuat citra keulamaannya, pada tahun 1927 ia berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Sekembaliny dari tanah suci ia menetap di Medan sampai tahun 1945. Di daerah ini ia aktif melaksanakan karier keulamaannya. Sementara itu, antara tahun 1938—1941, ia aktif sebagai redaktur majalah Pedoman Masyarakat dan Pedoman Islam. Sebagai ulama yang produktif dan berwawasan luas, ia banyak menulis di bidang pengetahuan Islam dari yang bersifat umum sampai yang khusus seperti: Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, dan Tasawuf Modern. Di samping itu, Hamka juga menulis roman, suatu aktivitas yang dipandang menyalahi tradisi keulamaan sehingga menimbulkan kritikan dari berbagai kalangan.
Adapun roman yang ditulis oleh Hamka antara lain yaitu: Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938), Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1939), Merantau ke Deli (1940). Selain menulis roman, ia juga menulis cerpen seperti Di dalam Lembah Kehidupan (1940). Karya sastranya dipandang terpengaruh pujangg Mesir, al-Manfalutti. Di samping itu, timbul pula tuduhan bahwa roman Tenggelamnya Kapal van Der Wijck sebagai plagiat dari roman Alphonse Karr (pengarang Perancis) yang telah disadurke dalam bahasa Arab oleh al-Manfaluti (Tim Penyusun 1992:294). Tuduhan tersebut sempat menimbulkan polemik yang cukup hebat. Hal ini menunjukkan gejala kontroversi ketokohan Hamka sebagai seorang ulama dan sastrawan yang mempunyai pengaruh mendalam di hati masyarakat. Polemik mengenai karya Hamka ini dimanfaatkan oleh golongan kiri untuk menjatuhkan Hamka secara politis.
Ketokohan Hamka yang semakin berpengaruh dalam masyarakat sempat menimbulkan kekhawatiran di kalangan politik Orde Lama. Atas dasar inilah Hamka sempat dipenjarakan selama beberapa tahun. Namun demikian, ada hikmah yang tidak ternilai karena di penjara itulah ia berhasil menyelesaikan karya monumentalnya, yaitu Tafsir al-Azhar.
Hamka sebagai seorang tokoh yang berpandangan moderat terpilih menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia. Sikap moderatnya tersebut membuat ia mampu berkomunikasi dan diterima oleh segala lapisan masyarakat. Di kalangan masyarakat awam, Hamka dikenal dengan pidatonya yang sangat menyejukkan hati dan memberi semangat serta rasa optimis. Sedangkan untuk kalangan elite, termasuk pemerintah, Hamka mampu menyajikan pemahaman keislaman yang lebih rasional. Menurut Adnan Buyung Nasution, Hamka merupakan seorang tokoh yang langka (Tamara dkk 1983:283).Ia seorang ulama, pujangga dan sekaligus sebagai politisi (Tamara dkk 1983:225). Ia wafat di Jakarta pada tanggal 24 Juli 1981.
B. Corak Teologi Hamka
Untuk mengetahui corak teologi Hamka, dapat ditelaah melalui karya monumentalnya Tafsir al-Azhar. Akan tetapi, sistematika kalamnya tidak berpijak pada satu aliran kalam tertentu sehingga memungkinkan adanya kelonggaran dalam penerapan sistematika kalam Tafsir al-Azhar tersebut. Adapun untuk memudahkan pembahasan tentang corak teologi Hamka, akan diuraikan satu persatu pokok-pokok pemikirannya.
1. Kemampuan akal dan fungsi wahyu
Masalah kemampuan akal ini sudah menjadi bahan polemik yang cukup tajam di kalangan para mutakallimin sebelumnya. Perdebatan itu menyangkut empat masalah, yaitu:
a. mengetahui Tuhan,
b. kewajiban mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya,
c. mengetahui kebaikan dan kejahatan,
d. kewajibn mengerjakan kebaikan dan menjauhi kejahatan (Nasution 1987:54—55).
Sedangkan menurut Hamka, akal adalah anugerah Tuhan kepada makhluk yang dipilihnya, yaitu manusia. Keberadaan akal bagi manusia dapat membedakannya dengan makhluk lain dan dengan akal itu pulalah manusia memiliki potensi untuk meneliti, merenungi, dan mencari rahasia-rahasia alam ini. Pandangan Hamka ini menunjukkan bahwa akal mempunyai kebebasan untuk mencari, kendatipun hanya sebatas yang terjangkau oleh akal. Selanjutnya, ia mengatakan bahwa dengan akal itu manusia memunyai kecerdasan dan inilah yang memberikan kemampuan untuk menilai dan mengukur pelaksanaan perbuatan manusia sehari-hari (Hamka 1984:182—185).
Dengan demikian, akal menurut Hamka dapat mengetahui baik dan buruk sebelum wahyu turun, khususnya untuk hal-hal yang ringan-ringan saja. Nilai baik dan buruk yang ringan itu menurutnya hanya dalam batas-batas local dan temporal, seperti baik menurut suatu kaum boleh jadi buruk menurut pandangan kaum yang lain atau buruk dipandang pada suatu masa mungkin dipandang baik pada masa yang lain. Nilai baik dan buruk tadi akan menjadi nilai yang universal atu nilai yg sesuai dengan akal murni setelah wahyu turun (Yusuf 1990:108).
Di samping mengetahui baik dan buruk, akal juga mampu mengetahui Tuhan sebelum wahyu turun. Hal ini dapat dipahmi dari ungkapan Hamka bahwa kepercayaan akan adanya zat yang Mahakuasa adalah sama tumbuhnya dengan akal manusia (Yusuf 1990:107). Pandangan ini menunjukkan awal keberagamaan orang primitif yaitu pada saat mereka merasakan ada sesuatu yang besar di luar dirinya. Sesuatu itu akan dipuja dan ditakutinya. Penghargaan yang tinggi pada akal manusia menyebabkan Hamka sangat menentang taklid. Menurutnya, taklid merupakan musuh kemerdekaan berpikir yang membuat akal tidak bekerja dan menjadi beku (Yusuf 1990:105). Dari pandangan Hamka tentang kemampuan akal manusia dapat disimpulkan bahwa akal manusia mampu mengetahui adanya Tuhan dan mengetahui baik dan buruk.
Sedangkan fungsi wahyu, menurut Hamka adalah sebagai sumber informasi bagi manusia berkenaan dengan masalah-masalah yang di luar jangkauan akal. Wahyu adalah pengetahuan yang diberikan Tuhan kepada nabi, selanjutnya nabi yang menjelaskan bahwa Tuhan memang satu adanya (Yusuf 1990:110). Dengan demikian, wahyu berfungsi untuk menjelaskan tentang Tuhan dalam arti yang sebenarnya, apa kewajiban manusia kepada-Nya serta bagaimana cara berterima kasih kepada-Nya.
Di samping itu, wahyu juga berfungsi untuk menuntun manusia agar mengetahui apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Dengan demikian, wahyu sebenarnya merupakan pertanda bahwa Tuhan tidak bertindak sewenang-wenang terhadap makhluk-Nya (Yusuf 1990:112). Hal ini menunjukkan bahwa manusia dapat mengetahui kewajiban-kewajibannya untuk melakukan perbuatan yang diridhai Tuhan dan menjauhi apa yang dibenci-Nya melalui petunjuk wahyu.
2. Kebebasan manusia dan kehendak mutlak Tuhan
Pandangan Hamka tentang perbuatan manusia dapat dilihat pada Tafsir al-Azhar, yaitu surah al-Kahfi ayat 29 dan surah al-Taghabun ayat 91. Dalam penjelasan tafsir ayat ini, Hamka mengatakan bahwa manusia telah diberi akal dan dengan akalnya itu manusia dapat menimbang apakah ia akan menjadi mukmin atau menjadi kafir. Hal ini menunjukkan bahwa manusia dengan akalnya memunyai kebebasan dalam kehendak dan perbuatan. Pilihan untuk menjadi mukmin atau kafir ditempatkan atas pilihan manusia itu sendiri, tidak ditentukan Tuhan (Yusuf 1990:116). Dengan demikian, hamka dengan tegas menyatakan bahwa kafir atau mukmin merupakan pilihan bebas manusia.
Meskipun manusia bebas memilih, tetapi kebebasan manusia dibatasi oleh sunnatullah. Ini berarti bahwa kebebasan manusia tidak mutlak karena dibatasi oleh sunnatullah yang tidak akan pernah berubah. Hal ini dijelaskan Allah dalam firman-Nya pada surah al-Fathir ayat 43. Dalam hal sunnatullah ini, Hamka mengambil contoh air. Air selamanya akan mengalir ke tempat yang lebih rendah dan akan mengisi dan mengaliri tempat yang kosong. Aturan Allah ini tidak akan tertukar, misalnya air akan mengalir ke tempat yang lebih tinggi (Hamka 1984:329). Tampaknya Hamka ingin mengatakan bahwa sunnatullah tidak dijadikan secara kacau atau sia-sia. Keyakinan pada sunnatullah dapat memotivasi manusia agar berpikir dinamis untuk menemukan sunnatullah-sunnatullah yang lain karena kemampuan manusia terbatas.
Sejalan dengan itu, Hamka berpendapat bahwa manusia sebenarnya hanya bebas memilih hukum alam mana yang akan ditempuh dan dipakainya dalam menjalani kehidupan ini. Oleh karena itu, Hamka menganjurkan agar setiap orang mengejar takdirnya karena takdir itu tidak dapat dielakkan. Setiap orang harus mendatangi takdirnya bukan malah menghindarinya (Hamka 1984:349).
Dari pendapat Hamka tentang takdir ini dapat disimpulkan bahwa Tuhan mengetahui apa yang akan dipilih oleh manusia. Tuhan telah menetapkan segala sesuatu, termasuk surga dan neraka tetapi manusia tidak tahu apa takdirnya sehingga manusia harus berikhtiar. Jadi, dalam menemukan takdir ada peluang berusaha bagi manusia karena manusia berhak untuk menentukan baik dan buruk berdasarkan pertimbangan akalnya. Takdir bukanlah kehendak mutlak Tuhan atas manusia, Tuhan menyebut takdir-Nya sebagai bukti kekuasaan-Nya.
Sedangkan mengenai kekuasaan mutlak Tuhan, Hamka mengatakan bahwa Tuhan memang berkuasa dan berkehendak mutlak. Segala gerak dan diam yang terjadi di alam ini adalah qudrat Ilahi. Qudrat dan iradat Allah itu berlaku bersamaan dengan hikmat, yakni kebijaksanaan yang Mahatinggi (Yusuf 1990:137). Dari pernyataan ini dapat dipahami pendapat Hamka bahwa Tuhan memang berkuasa dan berkehendak secara mutlak, tetapi kekuasaan dan kehendak Tuhan itu tidaklah berlaku sewenang-wenang. Semua takdir Allah berjalan sesuai dengan sunnatulah yang disebutnya sebagai hikmat kebijaksanaan yang Mahatinggi. Kemampuan untuk menangkap hikamat kebijaksanaan yang Mahatinggi itu tergantung pada kekuatan jiwa dan kejernihan akal seseorang.
Berdasarkan hikmat kebijaksanaan yang Mahatinggi inilah menurut Hamka tidak logis bila Allah berbuat zalim dengan menyiksa orang yang taat dan memberi pahala orang yang durhaka (Yusuf 1990:141). Dengan demikian, Hamka menegaskan bahwa Tuhan tidak akan menjatuhkan hukuman sewenang-wenang serta kehendak dan perbuatan Tuhan dibatasi oleh hukum alam ciptaan-Nya (sunnatullah).
3. Sifat-sifat Tuhan
Dalam membicarakan tentang sifat-sifat Tuhan, Hamka kurang tertarik untuk membicarakan hakikat sifat tersebut apakah termasuk zat atau di luar zat. Hamka lebih tertarik membahas manfaat (pragmatisme) yang dapat dipetik dari diskusi tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya guna untuk meningkatkan kualitas iman dan amal saleh. Dengan semangat ini, Hamka membicarakan sifat-sifat Tuhan khususnya tentang antropomofisme dan melihat Tuhan.
Antropomorfisme membahas nash-nash Alquran tentang sifat-sifat jasmani yang dimiliki Tuhan (mutasyabih al-shifat). Apakah nash-nash tersebut dipahami dalam makna harfiah atau majazi ? Berkenaan dengan masalah ini Hamka mengambil makna majazinya dengan menggunakan takwil. Adapun kata-kata yang ditakwil oleh Hamka seperti wajh diartikan sebagai zat; biyadi dimaknai sebagai kekuasaan dan restu Allah; biyaminihi dengan takwil hakikat Ilahiyah yang mutlak; dan ja’a Rabbuka dengan arti ketentuan Allah (Yusuf 1990:160—165).
Dalam masalah melihat Tuhan, Hamka berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala. Hal ini dinyatakannya dalam Tafsiral-Azhar bahwa pandangan mata yang lemah peralatannya ini tidak dapat mencapai untuk melihat Tuhan. Olek karena itu, janganlah kamu bersikap bodoh sehingga kamu tidak percaya akan adanya Allah lantaran matamu tidak dapat melihat Dia (Yusuf 1990:165).
Adapun pemahaman Hamka tentang diberi kesempatan melihat wajah Tuhan, yang tidak secara tegas menyebutkan melihat dengan mata kepala, ia memahaminya Tuhan memang dapat dilihat tetapi tidak dengan mata kepala. Perdebatan tentang masalah ini sebenarnya tidak disukai Hamka karena hanya akan menghabiskan energi tanpa mampu menangkap manfaat praktis dari perdebatan itu. Oleh karena itu, ia mengambil jalan tengah yaitu menangkap makna dan meresapkan rasa bahagia dengan penuh pengharapan atas ridha Allah.
Bila dilihat pemikran-pemikiran Hamka dalam bidang teologi maka dapat dikatakan bahwa Hamka beraliran teologi rasional. Hal ini dapat dilihat indikasinya dari pendapatnya tentang kekuatan akal, memercayai sunnatullah, menumpas taklid yang membelenggu kemerdekaan berpikir, mengambil makna metaforis dari ayat-ayat Alquran yang tidak jelas maksudnya, dan melihat Tuhan di akhirat. Hamka mengajak umat Islam untuk berpikir secara dinamis dan kreatif serta menghindari pembicaraan yang tidak bisa dipetik manfaatnya.
BAB XII
PEMIKIRAN TEOLOGI HARUN NASUTION
A. Riwayat Hidup Harun Nasution
Harun Nasution (selanjutnya akan ditulis Harun) lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara, pada tanggal 23 September 1919. Ayahnya bernama Abdul Jabbar Ahmad yang bekerja sebagai kepala agama merangkap hakim agama dan imam masjid (Suminto 1989:3—5). Dengan demikian, Harun merupakan keturunan dari keluarga yang taat beragama.
Setelah menyelesaikan pendidikan tingkat dasar di Hollandsch Inlandsch Scholl (HIS), Harun melanjutkan pendidikannya ke sekolah agama yang menunjang pengetahuan umum di Bukittinggi, yaitu Modern Islamietische Kweekscholl (MIK). Setelah tiga tahun belajar agama di MIK ini, ternyata sikp Harun mulai tampak berlawanan dengan sikap keberagamaan orangtuanya dan juga lingkungan kampungnya. Harun bersikap rasional sedangkan orangtua dan lingkungannya bersikap tradisional. Orangtuanya tidak dapat menerima pikiran baru seperti yang diyakini oleh Harun bahkan, Harun dianggap anak yang rusak dan telah menyimpang. Oleh karena itu, orangtua Harun merasa perlu untuk memindahkannya belajar ke Mekah (Suminto 1989:6—9). Sebelum berangkat ke Mekkah, Harun terlebih dahulu berkonsultasi dengan seorang guru terkemuka dari Padang, namanya Mukhtar Yahya. Dari konsultasi tersebut, Harun lebih tertarik untuk belajar ke Mesir (Suminto 1989:10).
Ketika tiba di Mekkah, yang dilihatnya adalah suasana abad pertengahan di zaman modern. Ilmu pengetahuan dan teknologi modern belum berkembang sama sekali, bahkan alat transfortasi seperti mobil belum ada, yang adahya unta dan keledai. Sarana belajar seperti meja dan kursi pun belum ada sehingga ia ingin mencari sekolah lain (Suminto 1989:11). Kemudian, Harun memohon kepada orangtuanya agar diizinkan pergi ke Mesir untuk belajar di al-Azhar yang sudah memiliki sarana belajar.
Setelah melalui berbagai kendala, Harun dapat masuk ke Universitas al-Azhar dan memilih Fakultas Ushuluddin. Ia memilih Ushuluddin dengan pertimbangan di fakultas ini diajarkan pelajaran umum seperti filsafat, ilmu jiwa, etika, bahasa Inggris, dan bahasa Perancis. Akan tetapi, Harun tidak puas belajar di sini, bahkan ia merasa seolah-olah tidak punya ilmu apa-apa (Suminto 1989:14—15).
Walaupun al-Azhar telah mengalami perbaikan-perbaikan dan pembaharuan yang dipelopori oleh Muhammad Abduh pada tahun 1895 dengan memasukkan mata kuliah umum ke dalam kurikulumnya, namun sistem perkuliahannya tidak mendukung kedinamisan mahasiswa (Nasution 1987:20). Tanpa meninggalkan al-Azhar, Harun yang telah terlatih berpikir kritis dan rasional kemudian masuk ke Universitas Amerika di Kairo. Ketika itu ia telah bekerja sebagai juru tulis tentara Inggris (klerk). Harun tidak senang dengan sikap tentara Inggris yang selalu memerintah dan memaki. Oleh karena itu, ia berhenti dan kemudian bekerja pada perusahaan radio dan lampu di Philips SA (Suminto 1989:19—20). Selama bekerja di sini, ia tidak bisa belajar dan kuliah, tetapi ia selalu membaca buku dan surat kabar. Akhirnya ia meninggalkan perusahaan ini dan kemudian bekerja di Delegasi RI.
Pada tahun 1953, Harun dipanggil pulang ke Indonesia. Kemudian ia ditugaskan oleh pemerintah Indonesia ke Arab Saudi untuk bekerja di keduraan RI. Pada akhir tahun 1955, ia dipindahkan ke Kedutaan RI di Brussels, Belgia. Setelah selesai menjalankan tugas di kedutaan, keinginan Harun untuk belajar kembali bergejolak. Dia bermaksud untuk melanjutkan studinya di Dirasah al-Islamiyyah, yaitu suatu sekolah yang berbeda metode belajarnya dengan al-Azhar. Di sekolah ini mahasiswa bisa berdialog dengan dosen, belajar filsafat, sejarah perkembangan dunia Islam, tasawuf, dan fiqh secara rasional (Suminto 1989:25—30). Akan tetapi, semangat Harun yang berkobar akhirnya kandas karena kekurangan biaya. Namun, dua tahun kemudian, dating panggilan untuk belajar ke McGill, Kanada.
Pada tanggal 20 September 1962 Harun berangkat ke McGill untuk mempelajari Islm secara rasional. Menurutnya, di McGill inilah ia baru merasa puas belajar Islam dan mendapat pengetahuan yang luas dan bercorak rasional, bukan Islam tradisional seperti yang dipelajari di Indonesia dan al-Azhar (Suminto 1989:34). Setelah belajar di McGill selama dua setengah tahun, Harun berhasil meraih gelar M.A. dengan tesis tentang Negara Islam di Indonesia. Tesisnya ini membuktikan bahwa konsep Negara Islam tidak ada, baik dari NU, PERSIS, maupun Masyumi. Kalau ide tentang Negara Islam ditemukan dari pemimpin Masyumi seperti Natsir, Zainal Abidin, Ahmad, dan Isa Anshari. Ide tentang Negara Islam dijumpai pada gerakan konstitusional yang ditempuh oleh Masyumi, sedangkan gerakan inkonstitusional ditempuh oleh DI/TII, tetapi keduanya gagal (Suminto 1989:35)
Setelah berhasil mempertahankan tesisnya, Harun melanjutkan studinya untuk mendapatkan gelar Ph.D. Pada tahun 1968 ia dapat enyelesaikan kuliahnya dengan disertasi berjudul Kedudukan Akal dalam Teologi Muhammad Abduh; Pengaruhnya pada sistem dan pendapat-pendapat Teologinya (Nasution 1987:V). Harun tertarik dengan pemikiran Abduh karena metode berpikirnya bisa dipakai untuk perkembangan dunia Islam modern dan pemikirannya sangat berpengaruh di dunia Islm.
Pada tanggal 27 Januari 1969 Harun tiba di Jakarta dan mulai bekerja di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Suasana IAIN ketika itu masih tradisional, buku-buku yang berbau modern tidak dipelajari. Kedatangan Harun di IAIN ini membawa angin segar terhadap nunsa pemikiran Islam di Indonesia. Dialah orang pertama yang berani mengubah kurikulum yang dianggap sudah baku dengan memasukkan pengantar ilmu agama, filsafat, tasawuf, ilmu kalam, sosiologi, dan metodologi riset ke dalam kurikulum yang ada. Kurikulum ini mengandung aspek-aspek Islam (Suminto 1989:39—41).
Harun tertarik dengan karya orientalis, walaupun butir-butir pemikirannya ada yang menimbulkan opini pro dan kontra dalam masyarakat Indonesia. Yang jelas, dalam sejarah pemikiran Islam Indonesia, Harun telah memberikan sumbangan intelektual dengan membuka agenda akal dalam memahami ajaran Islam (Abdurrahman 1995:70). Walaupun banyak menghadapi kendala, tetapi masih ada yang mendukung pemikiran-pemikirannya yang dianggap kontroversial, terutama di kalangan pemikir-pemikir yang telah berkenalan dengan pemikiran modern.
Pada tahun 1973, Harun diangkat oleh Menteri Agama RI, Mukti Ali, menjadi Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakrta. Ia menjabat rector selama dua periode yaitu sampai tahun 1982 (Suminto 1989:39—41). Kemudian ia memelopori berdirinya Pascasarjana untuk studi Islam di IAIN. Sampai akhir hayatnya (1998), ia bekerja sebagai Direktur Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
B. Corak Teologi Harun Nasution
1. Kedudukan akal dan fungsi wahyu
Manusia merupakan makhluk Tuhan yang paling sempurna dan mulia. Ketinggian, keutamaan, dan kelebihan manusia dari makhluk lainnya terletak pada akal yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Akal yang membuat manusia memunyai kebudayaan yang tinggi, mewujudkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta mengatur dan mengubah alam sekitarnya untuk kesejahteraan dan kebahagiaannya baik di masa kini maupun di masa datang. Begitu pentingnya peranan akal dalam kehidupan manusia sehingga perlu dipelajari kedudukannya dalam ajaran Islam. Islam.
Akal, dalam pengertian Islam bukanlah otak, tetapi daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Daya, sebagaimana digambarkan dalam Alquran, memeroleh pengetahuan dengan memerhatikanalam sekitarnya. Akal dalam pengertian inilah yang dikontraskan dalam Islam dengan wahyu yang membawa pengetahuan dari luar diri manusia, yaitu dari Tuhan (Nasution 1986:13). Dengan demikian, akal sangat penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan perkembangan ajaran-ajaran agama Islam itu sendiri.
Kalau ditelaah Alquran dan hadis sebagai sumber asli dan utama ajaran-ajaran Islam, akan didapatkan kesimpulan bahwa peranan akal sangat penting dalam Islam, di samping wahyu. Wahyu membawa ajaran-ajaran dasar yang selain jumlahnya tidak banyak, tetapi juga hanya memberi ketentuan-ketentuan secara global. Penafsiran dan cara pelaksanaan serta perincian-perincian ajaran dasar itu diserahkan pada akal manusia untuk menentukannya. Demikian juga dengan masalah-masalah yang tidak disebutkan dalam Alquran dan hadis, penyelesaiannya diserahkan pada akal manusia sesuai dengan jiwa ajaran-ajaran tersebut (Nasution 1998:139—140).
Penghargaan yang tinggi pada akal menimbulkan teologi atau filsafat hidup yang bercorak liberal dalm Islam. Menurut Harun, akal yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia dapat mengetahui empat masalah dasar dan pokok dalam agama. Masalah dasar tersebut adalah adanya Tuhan pencipta alam semesta dan asal kebaikan dan kejahatan. Akal manusia cukup kuat untuk mengetahui adanya Tuhan pencipta serta pemberi rezeki dan untuk membedakan antara perbuatan baik dengan perbuatan jahat. Setelah dapat mengetahui Tuhan pencipta dan pemberi rezeki, akal dapat pula mengetahui bahwa manusia wajib berterima kasih kepada-Nya. Setelah mengetahui perbuatan baik dan perbuatan jahat, akal dapat pula mengetahui bahwa manusia punya kewajiban untuk melakukan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan jahat.
Sementara wahyu turun untuk memperkuat pendapat akal manusia dan untuk membuat norma-norma yang ditentukan akal manusia yang bersifat absolut sehingga tidak dapat ditentang lagi oleh manusia yang suka membantah. Di samping itu, wahyu turun untuk menolong akal manusia dalam mengetahui hal-hal yang memang terletak di luar jangkauan akal, yaitu hal-hl yang berhubungan dengan hidup manusia di akhir setelah hidup di dunia selesai (Nasution 1998:142).
Dilihat dari kemampuan akal, tampaknya Harun sependapat dengan Mu’tazilah. Sementara wahyu berfungsi sebagai konfirmasi bagi kemampuan akal tersebut. Wahyu berfungsi sebagai informasi bi hal-hal yang berkaitan dengan masalah kehidupan di akhirat nanti.
Menuruti anjuran atau perintah Alquran supaya manusia menggunakan akalnya untuk menyelidiki alam sekitarnya, kaum Mu’tazilah, para filosof, dan para sarjana Islam sampai pada kesimpulan bahwa alam semesta ini diatur Tuhan menurut hukum alam yang diciptakan-Nya (sunnatullah). Sewaktu menciptakan alam, Tuhan sekaligus telah menciptakan peraturan atau hukum yang harus dipatuhi alam dalam peredaran dan perkembangannya (Nasution 1998:143). Dengan demikian segala kejadian di alam ini sesuai dengan sunnatullah, tidak ada yang terjadi dengan sendirinya.
Dengan mengetahui hukum alam, manusia dapat memperkirakan apa yang akan terjadi di alam sekitarnya sehingga manusia dapat menyusun rencana untuk masa depannya. Bila rencana telah disusun dengan baik dan sempurna lalu diusahakan dengan sungguh-sungguh, manusia akan sampai pada tujuannya. Kegagalan terjadi karena kurang sempurna perhitungannya, tidak sungguh-sungguh usahanya, dan timbul halangan yang mendadak. Jadi, masa depan kehidupan manusia di dunia ini tergantung pada usahanya sendiri. Demikian juga dengan kehidupan manusia di akhirat kelak tergantung pada manusia sendiri. Tuhan telah menjelaskan dalam Alquran tentang jalan yang akan membawa pada kebahagiaan atau kesengsaraan di akhirat kelak. Patuh pada perintah dan larangan Tuhan, melakukan perbuatan baik dan berakhlak mulia adalah jalan yang membawa pada masa depan yang bahagia di akhirat. Berbuat sebaliknya adalah jalan yang membawa pada masa depan yang sengsara di akhirat kelak.
2. Kebebasan manusia
Manusia memiliki kebebasan dalam kehendak dan perbuatan. Dengan kebebasan itu manusia menjadi aktif dan dinamis. Kebebasan manusia sesuai dengan ajaran yang terdapat dalam Alquran, misalnya: Berbuatlah apa yang kamu kehendaki (Q.S. al-Mukmin/40:41); Siapa yang mau percaya, percayalah ia, dan siapa yang tidak mau percaya, janganlah ia percaya (Q.S. al-Kahfi/18:29); Tuhan tidak akan mengubah keadaan suatu kaum(umat) sebelum umat itu sendiri mengubah keadaannya (Q.S. al-Ra’d/13:11).
Tuhan telah menganugerahkan akal pada manusia. Dengan akalnya manusia dapat membedakan antara kebaikan dengan kejahatan. Oleh karena itu, manusia bebas memilih antara kebaikan dan kejahatan yang disertai dengan tanggung jawab moral atas segala perbuatannya. Menurut Harun, manusia diberi kebebasan dalam kehendak dan perbuatan untuk memperlihatkan ke-Mahaadilan-Nya. Bila perbuatan musia diwujudkan atas kehendak mutlak Tuhan, itu bertentangan dengan ke-Mahaadilan Tuhan. Tidak adil bila manusia berbuat dosa atas kehendak Tuhan kemudian ia dihukum dengan siksa neraka atas dosa yang dilakukan bukan atas kehendaknya itu. Yang sesuai dengan keadilan ialah bahwa manusia berbuat dosa atas kehendak serta pilihannya sendiri, dan atas dosa yang dikehendaki dan dipilihnya sendiri itu, ia diberi hukuman oleh Tuhan sesuai dengan dosa yang telah dilakukannya (Nasution 1998:144). Pendapat Harun tentang kebebasan manusia sejalan dengan faham Qadariyah yang berpendapat bahwa manusia memiliki kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan jalan hidupnya. Manusia memunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Manusia memunyai kebebasan dalam kehendak (free will) dan kebebasan dalam perbuatan (free act). Dengan kebebasan tersebut, manusia menjadi aktif dan dinamis. Bila manusia tidak punya kebebasan dan berkeyakinan bahwa segal sesuatu tergantung pada kehendak mutlak Tuhan, maka manusia akan bersifat pasif dan menyerahkan masa depannya kepada nasib dan perkembangan zaman. Menurut Harun, kemunduran umat Islam disebabkan karena digantinya teologi sunnatullah yang berpemikiran rasional, ilmiah, dan filosofis dengan teologi kehendak mutlak Tuhan (fatalisme). Hal ini sangat besar pengaruhnya pada umat Islam di dunia, termasuk di Indonesia (Nasution 1998:116).
Teologi kehendak mutlak Tuhan membuat umat Islam statis dalam sikap dan berpikir. Umat Islam tidak memercayai hukum alam ciptaan Tuhan dan kausalitas sehingga menimbulkan keyakinan bahwa alam ini diatur Tuhan menurut kehendak mutlak-Nya. Manusia tidak punya kebebasan, karena segala sesuatu telah ditentukan secara langsung dan secara mutlak oleh Tuhan. Dengan keyakinan ini, manusia tidak produktif, usaha yang dijalankan sedikit dan doa yang diperbanyak.
Teologi kehendak mutlak Tuhan dengan pemikiran tradisional, nonfilosofis, dan nonilmiah sangat besar pengaruhnya terhadap umat Islam Indonesia. Sebagian besar umat Islam Indonesia sangat percaya bahwa nasib (takdir) manusia secara mutlak terletak di tangan Tuhan. Manusia tidak berdaya dan hanya menyerah pada qada dan qadar Tuhan (Nasution 1998:119). Tampaknya Harun menyamakan pengertian qada dan qadar Tuhan dengan nasib (takdir) sehingga ia menggunakan istilah lain untuk menggambarkan kebebasan manusia dalam berbuat dan berkehendak. Harun mengaitkan kebebasan manusia dengan teologi sunnatullah.
3. Konsep iman
Pembicaraan tentang iman sudah menjadi bahan polemic yang cukup lama dalam sejarah pemikiran Islam. Permasalahan apakah iman itu hanya sebatas pembenaran dalam hati saja ataukah iman harus sampai pada pengetahuan rasio dan pengalaman dalam kehidupan nyata. Dengan kata lain, apakah iman hanya tasdiq atau harus ditingkatkan pada ma’rifah.
Iman erat sekali kaitannya dengan akal dan wahyu. Iman yang didasarkan pada wahyu disebut tasdiq, yaitu pembenaran tentang apa yang datang dari wahyu. Sedangkan iman yang didasarkan pada akal disebut ma’rifah, yaitu mengetahui benar apa yang diyakini. Tasdiq berdasarkan pada pemberitaan, sedangkan ma’rifah berdasarkan pengetahuan mendalam (Nasution 1987:89). Dalam aliran-aliran teologi yang memberi kedudukan lemah pada akal, iman adalah tasdiq. Akan tetapi, dalam aliran-aliran teologi yang memberi kedudukan kuat pada akal, iman adalah ma’rifah atau amal (perbuatan).
Menurut Harun, iman bukan berarti tasdiq dan bukan pula ma’rifah. Sebagai pengagum Abduh, Harun sependapat dengannya yang menggambarkan iman sebagai ‘ilm (pengetahuan) yang ia sebut iman haqiqi (Nasution 1987:90). Iman haqiqi juga mementingkan amal. Sebenarnya, pemikiran Harun ini sejalan pula dengan pemikiran Mu’tazilah yang rasional. Bagi Mu’tazilah, iman yang disandarkan pada pengetahuan disebut ma’rifah. Sebagai penganut teologi rasional, tasdiq dan ma’rifah saja tidak cukup untuk membentuk iman, karena amal (perbuatan) merupakan bagian yang penting dari iman.
Dalam persoalan amal, Harun membedakan antara mukmin dengan muslim. Hal ini tergambar dalam sebuah dialog yang mempermasalahkan: “Apakah seseorang masih Islam atau tidak, apabila ia tidak salat ?” Harun menjelaskan: “Asalkan kamu percaya kepada Tuhan Yang Mahaesa dan Muhammad saw nabi terakhir, kamu tetap Islam sekalipun kamu tidak salat, tetapi kamu berdosa karena tidak salat” (Suminto 1989:286).
Alquran telah menginformasikan kepada manusia untuk beriman kepada Tuhan, malaikat, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhirat. Informasi ini tidak akan berguna kalau tidak ditanggapi dengan iman. Bagi Harun, iman itu adalah ‘ilm (pengetahuan). Mengetahui saja tentang informasi ini tidaklah cukup kalau tidak diikuti dengan amal, yaitu mengerjakan perintah Tuhan dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya. Bagi Harun, rukun iman hanya lima, seperti yang disebutkan dalam Alquran. Iman kepada qada dan qadar tidak disebutkan dalam Alquran sehingga Harun tidak memasukkannya ke dalam rukun iman (Suminto 1989:55). Rukun iman yang keenam (bila diyakini sebagai kehendak mutlak Tuhan) dikhawatirkan akan membawa umat Islam pada sikap pasif dan menyerah pada nasib. Padahal yang dituntut sekarang adalah sikap aktif dan dinamis.
Bila diperhatikan secara cermat, maka dapat dikatakan bahwa konsep teologi rasional Harun berakar pada konsep ajaran absolut dan relatif. Ajaran absolut yaitu mutlak benar, tidak berubah dan tidak bisa diubah. Sementara yang relatif tidak mutlak benar, dapat berubah dan bisa diubah. Ajaran relative inilah yang berkembang sesuai dengan tuntutan zaman dan kondisi setempat.
Harun menempatkan akal pada kedudukan yang tinggi, namun akal punya keterbatasan untuk mengetahui persoalan-persoalan yang rinci dalam agama sehingga ia memerlukan wahyu. Wahyu berfungsi sebagai informasi tentang hari akhirat dan persoalan-persoalan gaib. Faham free will dan free act dalam teologi rasional Harun, melahirkan faham sunnatullah, yaitu faham adanya hukum alam ciptaan Tuhan. Sedangkan iman bagi Harun adalah ‘ilm, yaitu iman yang didasarkan pada pengetahuan atau iman haqiqi. Dilihat dari beberapa pendapatnya tersebut, tampaknya banyak yang cocok dengan pendapat Abduh sehingga ia digelari Abduhis oleh Nurcholish Madjid.
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad., 1979, Risalah Tauhid, terj.K.H.. Firdaus A.N., Jakarta: Bulan Bintang.
Abdurrahman, Muslim., 1995, Islam Transformatif, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Adam, E. Charles., 1986, Islam and Modern in Egypt, London: Oxford University Press Humphrey Millford.
al-Adawi, Ibrahim Ahmad., tt., Rasyid Ridha:Al-Imam al-Mujtahid, Mesir:Muassasat al-Mishriyat al-‘Ammah.
Ali, Amir., 1995, The Spirit of Islam, New Delhi:Low Price Publications.
Ali, A. Mukti., 1998, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Bandung:Mizan.
Ali Fauzi, Ihsan., 1996, “Membangun Umah di Negeri Kafir”, dalam Umat, no.25.
Ali, K., 1997, Sejarah Islam:Tarikh Pramodern, Jakarta:Raja Grafindo Persada.
Amal, Taufik Adnan (peny.), 1987, Metode dan Alternatif Neo-Modernisme Islam Fazlur Rahman, Bandung:Mizan.
--------------., 1992, Islam dan Tantangan Modernitas:Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Bandung:Mizan.
Amin, M. Masyhur., 1989, Teologi Pembangunan, Paradigma Baru Pemikiran Islam, Yogyakarta:LKPSM-NU.
Asmin, Yudian, W., (ed.), 1997, Pengalaman Belajar Islam di Kanada, Yogyakarta: Titian Ilahi Press.
Azra, Azyumardi., 1999, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme, hingga Post-Modernisme, Jakarta:Paramadina.
al-Bahiy, Muhammad, 1986, Pemikiran Islam Modern, terj. Su’adi Sa’ad, Jakarta:Pustaka Panji Mas.
Departemen Agama RI, 1993, Ensiklopedi Islam, Jakarta:tp.
Effendi, Djohan., 1994, Konsep-konsep Teologis:Kontekstualisasi Doktrin-doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta:Paramadina.
Esposito, John L., 1992, “Muhammad Iqbal dan Negara Islam”, dalam John L. Esposito (ed.), Voices of Resurgent Islam, terj. Bakri Siregar, Jakarta:Rajawali Press.
Fahal, Muktafi dan Achmad Amir Aziz, 1999, Teologi Islam Modern, Surabaya: Gitamedia Press.
Fakih, Mansour, 1995, “Teologi Bukan Salah-Benar”, dalam Ulumul Qur’an, Vol. VI No. 3.
Al-Faruqi, Ismail Raj’I, 1982, Tauhid, Bandung: Pustaka.
--------------, 1994, Hakikat Hijrah Strategi Dakwah Islam Membangun Tatanan Dunia Baru, Bandung: Mizan.
--------------, 1999, Seni Tauhid Esensi dan Ekspresi Estetika Islam, terj. Hartono Hadikusumo, Yogyakarta: Bentang.
Gibb, H.A.R., 1995, Aliran-aliran Modern dalam Islam, terj. Machnun Husain, Jakarta: Rajawali Press.
Haddad, Yvonne, 1995, “Muhammad Abduh Perintis Pembaharuan Islam”, dalam Para Perintis Zaman Baru Islam, terj. Ilyas Hasan, Bandung: Mizan.
Hamka, 1979, Kenang-kenangan Hidup, jilid I, Jakarta: Bulan Bintang.
--------------, 1982, Ayahku, Jakarta: Umminda.
--------------, 1984, Pelajaran Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
--------------, 1984, Tafsir al-Azhar Juz XXII, Jakarta: Pustaka Panjimas.
Hanafi, A., 1985, Pengantar Teologi Islam, Jakarta: Al-Husna Dzikra.
Hanafi, Hassan,. 1980, “Morality and Integrity of Islamic Society”, Makalah, USA: Durham New Hampshire.
--------------, 1981, Al-Yasar al-Islami, Kairo: tp.
--------------, 1987, Al-Din wa al-Tsaurat fi Mishr 1952—1981, Kairo: Al-Maktabat al-Madbuliy.
Hourani, Albert., 1983, Arabic Thought in The Liberal Age 1798—1939, London: Cambridge University Press.
Iqbal, Muhammad,. 1982, Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam, terj. Ali Audah, Jakarta: Tinta Mas.
Jafri, S.H.M., 1995, Awal dan Sejarah Perkembangan Islam Syi’ah: Dari Saqifah sampai Imamah, Bandung: Pustaka Hidayah.
Kerr, H. Malcolm., 1996, Islamic Reform: The Political and Legal Theories of Muhammd Abduh and Rasyid Ridha, Barkeley: University of California Press.
Kusnadiningrat, E., 1999, Teologi dan Pembebasan, Gagasan Islam Kiri Hassan Hanafi, Jakarta: Logos.
Lee, Robert D., 2000, Mencari Islam Terlatih, Bandung: Mizan.
Ma’arif, Ahmad Syafi’i, 1995, Membumikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Madjid, Nurcholish., 1993, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan.
--------------, 2000, Islam, Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina.
Malik, Hafeez dan Linda P. Malik, 1992, “Filosof-Penyair dari Sialkot”, dalam Ikhsan Ali Fauzi dan Nurul Agustina (ed.), Sisi Manusiawi Iqbal, Bandung: Mizan.
Al-Maududi, Abul A’la., 1985, Nazhariyat al-Islam wa Hadafuhu fi al-Siyasat wa al- Qanun wa al-Dustur, Jeddah: Dar al-Su’udiyah.
--------------, Abul A’la, 1990, Khilafah dan Kerajaan, terj. Muh. Al-Baqir, Bandung: Mizan.
Al-Munawwar, Ahmad Warson, 1984, Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Progresif.
Nasution, Harun, 1986, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press.
--------------, 1986, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: UI Press.
--------------, 1987, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Jakarta: UI Press.
--------------, 1992, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang.
--------------, 1998, Islam Rasional, Bandung: Mizan.
-------------- dkk, 1992, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta:Djembatan.
Nata, Abuddin, 1995, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, Jakarta: Rajawali Press.
Panitia Buku Peringatan, 1996, Seratus Tahun H. Agus Salim, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Rahman, Fazlur., 1967, “The Qur’anic Concept of God, the Universe and Man”, in Jurnal Islamic Studies, No. 1.
--------------, 1992, “Membangkitkan Kembali Visi Al-Qur’an: Sebuah Catatan Otobiografis”, terj. Ikhsan Ali Fauzi, dalam al-Hikmah,No. 6.
--------------, 1995, Islam dan Modernitas tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka.
--------------, 1996, Tema-tema Pokok Al-Qur’an , terj. Anas Mahyudin, Bandung: Pustaka.
Rais, M. Amin., 1990, “Kata Pengantar”, dalam al-Maududi: Khilafah dan Kerajaan, Bandung: Mizan.
Ridha, Rasyid, 1931, Tarikh al-Ustadz al-Imam Muhammad Abduh, Mesir: tp
--------------, 1958, Al-Urwat al-Wutsqa wa al-Tsurat al-Tahririyah, Mesir: Dar al-Arab.
--------------, 1280 H, Tafsir al-Manar, Juz V, Mesir: Al-Maktabat al-Khairah.
Ridwan, A.H., 1998, Reformasi Intelektual Islam, Pemikiran Hassan Hanafi tentang Reaktualisasi Tradisi Keilmuan Islam, Yogyakarta: Ittaqa Press.
Salam, Solihin, 1963, Haji Agus Salim Pahlawan Nasional, Djakarta: Djaja Murni.
Salim, H. Agus, 1967, Keterangan Filsafat tentang Tauhid, Takdir dan Tawakkal, Jakarta: Tintamas.
Al-Shiddiqy, Hasbi, 1981, Pengantar Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Shimogaki, Kazuo, 1994, Kiri Islam, Yogyakarta:LKIS.
Sjadzali, Munawir, 1993, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: UI Press.
Smith, Wilfred Cantwell, 1979, Modern Islam in India, New Delhi: USHA Publications.
Sou’yb, Josoef, 1987, Perkembangan Teologi Modern, Jakarta: Rainbow.
Suminto, Aqib, 1989, Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution, Jakarta:LSAF.
Tim Penulis, 1981, Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat, Sumatera Barat: Islamic Centre.
Yusuf, Yunan, 1990, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas.
Zar, Sirajuddin, 2001, “Filsafat Islam dalam Perspektif Era Modern”, disampaikn pada Sidang Senat Terbuka IAIN Imam Bonjol Padang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar