LETAK geografis Desa Muara Lakitan yang unik berjarak 100 kilometer dari Kota Kabupaten Musi Rawas. Lubuk Linggau dan 350 km dari ibukota Provinsi Susmel, Palembang. Saya dilahirkan sebagai anak bungsu dari enam bersaudara. Kakak saya yang pertama Muhammadin, kakak kedua Mursinah, Kakak ketiga Wasi'ah, dan kakak keempat Ahmad Ihsan, kakak kelima Hamdan (alm). Menurut cerita dari orangtua saya (H Komar dan Hj Mahna), kakak saya Hamdan meninggal pada usia 5 tahun, tepatnya dua tahun sebelum saya lahir. Setelah kakak saya meninggal, tidak lama kemudian Emak mengandung anak keenam yang akhirnya lahir itu adalah saya.
Saya dilahirkan bukan dari keluarga yang mampu dan berada, tapi alhamdulillah di Desa ini orangtua punya rumah sendiri. Ubak --panggilan untuk ayah-- kerjanya di hutan menebang kayu, mungkin juga namanya 'illegal logging'. Lokasi jauh di dalam Sungai Lakitan dna bisa tembus ke daerah Jambi. Sedangkan Emak juga kerja nakil para sama dengan mengambil getah karet.
Saya juga tidak tahu ada komitmen dari orangtua untuk menyekolahkan anak-anak ke jenjang yang tinggi. Ketika saya masih kecil, kakak saya yang pertama Muhammadin sudah kuliah di Palembang, begitu pun kakak saya Ihsan juga sudah berjuang diajak oleh bibi (adik Emak) yang sudah tinggal di Palembang. Saya merasakan betapa sulitnya mencari uang, saya merasakan betapa susah orangtua mencari uang untuk menambah dan mencukupi kebutuhan sekolah kakak di Palembang. Karena itu saya pun tidak muluk-muluk bercitacita, bagi saya sekolah pun sudah bersyukur. Masih bisa beli seragam dan buku-buku sekolah. Karena saya merasakan orangtua sulit mencari uang, saya pun di sekolah berusaha untuk mencari peluang. Saya pernah jualan permen atau makanan-makanan kecil. Saya beli per pakc di toko dan saya jual lagi di sekolah per buah. Begitu pulang sekolah saya tidak malu untuk menjual pisang keliling dusun atau un jual es lilin dengan jalan kaki mengelilingi kampung. Prestasi saya di skolah pun tidak menonjol berada di tingkat sedang-sedang saja. Tapi dalam hati saya, saya telah bertekad harus sekolah dan harus kuliah. Tujuan saya kuliah di universitas negeri. bagi saya tidak penting mau fakultas dan jurusan apa, yang penting kuliah dan meraih sarjana.
Minggu, 18 Juli 2010
Rabu, 07 Juli 2010
Bekarang
DESA Muara Lakitan, Kecamatan Muara Lakitan dari letak geografis berada pada posisi yang unik. Karena desa ini boleh dikatakan dikelilingi putaran Sungai Musi. Daratan yang merupakan wilayah Desa Muara Lakitan ini layaknya semenanjung. Dengan demikian antara posisi hulu desa dan hilir desa sangat berdekatan. Desa Muara lakitan yang merupakan ibukota Kecamatan Muara lakitan termasuk di Kabupaten Musi Rawas (Mura). Jarak dari kampung ke ibukota Kabupaten Mura lebih kurang 100 km dengan jarak tempuh dua jam perjalanan.
Karena Desa Muara Lakitan di posisi dikelilingi sungai, belum ada anak Sungai Musi yang terletak di seberang desa namanya Sungai Lakitan. Dari cerita orang tua zaman dahulu, penamaan Sungai Lakitan ini dari peristiwa perang melawan Belanda. Saat perang melawan Balanda, para suami-suami di Desa Muara Lakitan ini turun berperang melawan penjajah. Di tengah perang itulah, para istri-istri ini memberikan dorongan atau motivasi kepada suami mereka dengan berteriak ...LAKI...TAN (maksudnya, Laki = suami dan tan = tahan). Jadilah namanya Lakitan.
Karena potensi sungai yang luar biasa, kehidupan masyarakat pun masih bergantung dari sungai. Dari sarana transportasi sampai kegiatan ekonomi lainnya. Termasuk bekarang, yaitu menangkap ikan di sungai pada malam hari. Bekarang biasa dilakukan untuk mencukupi kebutuhan lauk makan, tapi kadang juga ikan-ikan hasil bekarang dijual. Selain berkebun, penghasilan dari 'nakil' atau ambil getah karet, pada tahun 1970-an masih marak 'bekayu' yaitu mengambil pohon di tengah hutan. Sungai Lakitan menjadi poros bagi kegiatan ekonomi bagi warga Lakitan. warga yang mau bekayu dan ke kebun karet kebanyakan melalui Sungai Lakitan. Bekarang walaupun pekerjaan selingan, cukup membantu keluarga. Peralatan dalam bekarang yang pasti perahu, selain itu sanggi (alat menangkap ikan). Sanggi ini memiliki dua fungsi, pertama berupa jaring yang dianyam terbuat dari benang atum yang diikat di sehelai kayu kecil berukuran 1,5-2 meter. Fungsinya untuk menangguk atau menangkap ikan. Kedua, fungsi dari ujung kayu ini dipasang besi yang tajam yang fungsinya digunakan untuk menombak ikan. Selain sanggi ada lampu ledeng, lampu minyak tanah tapi memiliki penutup bagian atas dan belakang. Otomatis lampu tidak akan padam walaupun hujan dan kena tiupan angin. Satu orang posisi di bagian belakang dalam perahu bertugas mengendalikan jalannya perahu, sedangkan satu orang lagi di bagian depan dalam posisi berdiri memegang lampu dan siap dengan alat sanggi. Perahu dikemduikan menyusuri pinggir sungai, mengintai ikan-ikan yang muncul ke permukaan sungai. Ikan-ikan ini biasanya berada di permukaan air yang ada semak-semaknya.Jika ikan masih kecil ditangkap dengan sanggi ini. Jika ikan ukuran besar, biasanya ikan lampam digunakan tombak. O cerita ini mengingatkan saya pada masa kecil di Desa Muara lakitan, tempat kelahiran saya. Mungkin di antara Anda pernah menjalani hidup di pinggiran sungai tak akan beda kisahnya.
Karena Desa Muara Lakitan di posisi dikelilingi sungai, belum ada anak Sungai Musi yang terletak di seberang desa namanya Sungai Lakitan. Dari cerita orang tua zaman dahulu, penamaan Sungai Lakitan ini dari peristiwa perang melawan Belanda. Saat perang melawan Balanda, para suami-suami di Desa Muara Lakitan ini turun berperang melawan penjajah. Di tengah perang itulah, para istri-istri ini memberikan dorongan atau motivasi kepada suami mereka dengan berteriak ...LAKI...TAN (maksudnya, Laki = suami dan tan = tahan). Jadilah namanya Lakitan.
Karena potensi sungai yang luar biasa, kehidupan masyarakat pun masih bergantung dari sungai. Dari sarana transportasi sampai kegiatan ekonomi lainnya. Termasuk bekarang, yaitu menangkap ikan di sungai pada malam hari. Bekarang biasa dilakukan untuk mencukupi kebutuhan lauk makan, tapi kadang juga ikan-ikan hasil bekarang dijual. Selain berkebun, penghasilan dari 'nakil' atau ambil getah karet, pada tahun 1970-an masih marak 'bekayu' yaitu mengambil pohon di tengah hutan. Sungai Lakitan menjadi poros bagi kegiatan ekonomi bagi warga Lakitan. warga yang mau bekayu dan ke kebun karet kebanyakan melalui Sungai Lakitan. Bekarang walaupun pekerjaan selingan, cukup membantu keluarga. Peralatan dalam bekarang yang pasti perahu, selain itu sanggi (alat menangkap ikan). Sanggi ini memiliki dua fungsi, pertama berupa jaring yang dianyam terbuat dari benang atum yang diikat di sehelai kayu kecil berukuran 1,5-2 meter. Fungsinya untuk menangguk atau menangkap ikan. Kedua, fungsi dari ujung kayu ini dipasang besi yang tajam yang fungsinya digunakan untuk menombak ikan. Selain sanggi ada lampu ledeng, lampu minyak tanah tapi memiliki penutup bagian atas dan belakang. Otomatis lampu tidak akan padam walaupun hujan dan kena tiupan angin. Satu orang posisi di bagian belakang dalam perahu bertugas mengendalikan jalannya perahu, sedangkan satu orang lagi di bagian depan dalam posisi berdiri memegang lampu dan siap dengan alat sanggi. Perahu dikemduikan menyusuri pinggir sungai, mengintai ikan-ikan yang muncul ke permukaan sungai. Ikan-ikan ini biasanya berada di permukaan air yang ada semak-semaknya.Jika ikan masih kecil ditangkap dengan sanggi ini. Jika ikan ukuran besar, biasanya ikan lampam digunakan tombak. O cerita ini mengingatkan saya pada masa kecil di Desa Muara lakitan, tempat kelahiran saya. Mungkin di antara Anda pernah menjalani hidup di pinggiran sungai tak akan beda kisahnya.
Langganan:
Postingan (Atom)