Pelajaran Sabar
KADANG-kadang kita emosi juga dalam menghadapi anak-anak sekarang yang BM (banyak maunya), tapi saya juga mencoba untuk sabar. Sabtu, 21 November 2009 anak saya nomor 3 Rayyani Qatrunada (kelas II SD) ketahuan jika gusinya bengkak dan tidak mau diajak ke dokter gigi. Hampir saja saya juga merajuk, ya terserah kalau dak mau ke dokter. Akhirnya saya berusaha untuk sabar dan mengajak Nada utuk bicara lagi, ternyata dia mau diajak ke dokter. Ternyata gusi Nada kena infeksi, akhirnya jadi rain gosok gigi dan mengingatkan untuk makan obat.
Lain lagi kejadian pada Minggu, 22 Nov 2009, saya mengajak anak-anak untuk ke salaon dan potong rambut. Saya menganggap rambut diotong pendek lebih cocok untuk anak-anak yang belum bisa merawat rambut sendiri. Alhamdulillah, akhirnya semua mau jalan ke salon. Cuma si Bungsu Affa yang tidak potong rambut, karena rambutnya sudah pendek. Pertama Nadra yang potong rambut, setelah itu Adis kemudian Assha, setelah itu Nada. Satu diantaranya Assha protes dan cemberut karena merasa rambutnya dipotong terlalu pendek. Saya hanya bilang tidak lama lagi juga akan panjang. Kami pun ke warung mie, di sana Assha ngotot tidak mau turun dari kendaraan. Katanya dia tidak mau. Tapi setelah saya jelaskan, nanti kepanasan dan walaupun tidak mau ya minum atau duduk saja. Tapi sementara anak-anak yang lain telah menikmati makanan pesanannya, saya tetap menawarkan ke Assah untk pesan makanan dan minum. Tetap Assha cemberut, sungguh saya tetap mengendalikan kemarahan. Akhirnya Assha mau pesan makanan, padahal anak yang lain udah kelar. Tapi dak apa-apa saya yang menunggu Assha makan. Alahmdulillah, piker saya biar dia juga kenyang. Ya akhirnya setelah maak mie, suasana jadi enakan lagi. Assha pun sepertinya sudah melupakan soal rambut.
Pelajaran kesabaran ketiga, pada Senin 23 Nov 2009, pagi-pagi, biasa urusan anak-anak mau k sekolah. Terkahir Nadra karena dia masih sekolah TK. Pagi itu biasa Nadra mandinya agak malas-malasan tapi tetap pada pukul 07.30 sudah siap dan selesai mengenakan seragam sekolah. Sayangnya, dia menemukan pensilnya rusak. Saya juga tidka tahu ada pensil itu. Nadra nangis-nangis dan tidak mau sekolah. Tapi teap saya tawari untuk sekolah, akhirnya setelah pukul 08.00 lebih barulah Nadra mau pergi sekolah dan saya yang mengantarnya ke sekolah. SABAR DEH AMAIN